Tapi apa yang didorong oleh algoritma bukanlah apa yang dibutuhkan oleh jiwa.
Dalam ilmu ekonomi, ada istilah eksternalitas --- biaya tersembunyi yang tidak tercermin dalam harga. Contohnya, sebuah barang bisa sangat murah, tapi dibuat di tempat yang mengeksploitasi buruh. Media sosial juga punya eksternalitasnya sendiri. Video viral mungkin terlihat lucu atau keren, tapi dampaknya bisa sangat dalam: menormalkan kekerasan, menumpulkan kepekaan terhadap keburukan, atau menjadikan sesuatu yang serius sebagai bahan candaan.
Sementara itu, mengabaikan konten edukatif dan bermakna punya biaya yang lebih besar: yaitu mematikan nurani kolektif.
Lalu, kamu pun bertanya --- bisakah arah ini dibalik?
Bagaimana Membuat Hikmah Menjadi Menarik?
Kenyataannya, kamu tidak bisa memaksa seseorang mencintai hikmah. Tapi kamu bisa membangkitkan kembali kebutuhan akan hikmah itu.
Setiap hati manusia sebenarnya merindukan kebenaran. Itulah hakikat fitrah --- bawaan suci yang Allah tanamkan dalam dirimu. Tapi, seperti lampu yang tertutup debu, hati yang tertutup oleh distraksi dan luka tidak mudah mengenali cahaya.
Konten edukatif dan bermakna tidak harus menjadi "trendi" atau viral dalam arti umum. Yang dibutuhkan adalah menjadikannya hidup. Konten itu harus berbicara --- bukan cuma kepada akal, tapi juga kepada hati.
Al-Qur'an mengajarkan kita melalui gaya penyampaian yang indah. Allah tidak cuma menyampaikan informasi. Dia bercerita. Tentang manusia yang bangkit dan jatuh, yang mencari dan yang berpaling. Setiap kisah menyentuh bukan cuma logika, tapi juga emosi, kenangan, dan rasa identitas.
Untuk membuat orang tertarik pada hikmah, bicara dengan kelembutan, bukan keangkuhan. Sentuh pergulatannya, bukan cuma pikirannya. Sampaikan dengan cara yang membuatnya merasa: "Kamu tidak sendiri."
Karena hikmah yang tidak dibalut cinta, mudah menjadi ceramah. Tapi hikmah yang dibalut kasih sayang, menjadi cahaya.
Rasulullah dijuluki: