Karena perhatian manusia telah dilatih untuk mengejar kebisingan. Dan kebisingan jauh lebih mudah dibuat daripada makna.
Apakah Ini Cerminan Masyarakat?
Ya. Tapi lebih dari itu.
Ini adalah cerminan dari kondisi batin kolektif. Apa yang dikonsumsi banyak orang sering kali mencerminkan apa yang mereka rasa kurang. Ketika sebuah masyarakat merasa bosan, tertekan, terasing, atau mati rasa, mereka cenderung mencari konten yang bisa mengalihkan atau menumpulkan perasaan itu --- bahkan kalau itu berarti menjauh dari hal-hal yang justru bisa menyembuhkan mereka.
Rasulullah bersabda:
"Manusia itu seperti tambang emas dan perak..."
(HR. Muslim)
Setiap hati manusia punya nilai yang dalam. Tapi untuk menggali nilai itu, dibutuhkan usaha, kesabaran, dan kesadaran. Masalahnya bukan karena orang-orang dangkal. Masalahnya adalah karena ritme hidup hari ini tidak memberi ruang bagi banyak orang untuk menggali kedalaman itu. Manusia bukan dengan sengaja mencari kebodohan --- mereka cuma kelelahan.
Psikologi menyebutnya cognitive overload --- kelelahan kognitif. Ketika otak kelelahan, ia akan memilih hal yang paling mudah, paling cepat, dan paling familiar. Dan tidak ada yang lebih cepat atau mudah daripada video 15 detik yang cuma bertujuan untuk menghibur.
Jadi, bukan karena masyarakat menyukai hal yang tak bermutu. Mereka cuma lelah.
Tapi dalam kelelahan itu, sesuatu yang berharga sedang hilang.
Ketika Keviralan Menjadi Fatamorgana
Apa yang menjadi viral tidak selalu yang bernilai. Bahkan, seringkali yang paling viral adalah yang memicu emosi yang kuat tapi dangkal --- tawa, kemarahan, keterkejutan. Sementara konten yang mengajak berpikir, merenung, dan memperdalam pemahaman justru memerlukan keterlibatan yang berbeda. Dan keterlibatan seperti itu tidak didorong oleh algoritma.