Mohon tunggu...
Diantika IE
Diantika IE Mohon Tunggu... Blogger

Penulis, Blogger, Alumnus Pascasarjana PAI UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saat Konten Positif Dibatasi, Haruskah Kita Ikut Gila Demi Algoritma?

14 September 2025   17:46 Diperbarui: 14 September 2025   18:31 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini, saya akhirnya mengeluh di media sosial. Sesuatu yang jarang sekali saya lakukan. Biasanya, akun saya hanya berisi tautan tulisan di Kompasiana, tulisan saya di ruangpena.id---web kecil yang saya kelola---atau artikel yang saya titipkan di website lain.

Namun kali ini, saya tidak tahan. Sebab postingan saya diturunkan, dianggap melanggar aturan. Padahal isinya sederhana: sebuah dakwah ringan yang mengajak orang mempertebal iman, memilih jalan yang benar, dan melawan bisikan setan yang senantiasa menggoda.

Saya bingung. Merasa tidak menulis hal yang salah, saya pun membaca ulang, mencermati setiap kata. Apakah ada diksi yang sensitif? Saya bahkan mengganti judul dan memperbaiki beberapa redaksi, tetapi hasilnya sama saja. Postingan tetap ditolak.

Akun saya sampai mendapatkan peringatan tiga kali. Kali ketiga, saya menyerah. Takut akun dibekukan. Bahkan ketika saya coba membagikan link itu di kolom komentar pun, tetap diblokir.

Karena penasaran, saya bertanya pada "Mbah Google." Apakah kata "setan" memang dilarang ditulis di Facebook? Jawaban yang saya temukan pun tidak jelas---hanya kemungkinan dianggap sebagai ujaran kebencian. Akhirnya saya ganti kata itu dengan istilah bahasa Arab: syaitan. Hasilnya, link bisa dibuka.

Ada Rasa yang Mengganjal

Meski sudah menemukan jalan keluar, hati saya masih mengganjal. Saya bertanya-tanya, mengapa untuk membagikan kebaikan terasa begitu sulit? Kenapa akun saya bisa sampai terancam dibatasi?

Sementara itu, di sisi lain, begitu banyak konten joget, cerita perselingkuhan, gosip murahan, bahkan hujatan terbuka antarakun masih bebas beredar. Ironisnya, konten semacam itu justru laris ditonton, dibagikan, bahkan membawa pengaruh hingga ke televisi. Bukankah aneh ketika orang yang berbuat salah justru semakin populer? Semua itu tentu tak lepas dari budaya gosip yang selalu digoreng agar terus FYP, sementara konten positif nyaris kehilangan panggung.

Senasib dengan Teman Penulis

Seorang teman penulis sempat menanggapi keluhan saya lewat WA. Ia pun mengalami hal serupa: tulisannya yang mendidik dan bermanfaat sepi pengunjung.

"Sedangkan orang yang copas video orang lain malah ramai dikunjungi," keluhnya.

Saya hanya bisa menimpali, "Ini soal algoritma. Kalau mau ramai, kita harus rela ikut gila."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun