Hari ini, saya akhirnya mengeluh di media sosial. Sesuatu yang jarang sekali saya lakukan. Biasanya, akun saya hanya berisi tautan tulisan di Kompasiana, tulisan saya di ruangpena.id---web kecil yang saya kelola---atau artikel yang saya titipkan di website lain.
Namun kali ini, saya tidak tahan. Sebab postingan saya diturunkan, dianggap melanggar aturan. Padahal isinya sederhana: sebuah dakwah ringan yang mengajak orang mempertebal iman, memilih jalan yang benar, dan melawan bisikan setan yang senantiasa menggoda.
Saya bingung. Merasa tidak menulis hal yang salah, saya pun membaca ulang, mencermati setiap kata. Apakah ada diksi yang sensitif? Saya bahkan mengganti judul dan memperbaiki beberapa redaksi, tetapi hasilnya sama saja. Postingan tetap ditolak.
Akun saya sampai mendapatkan peringatan tiga kali. Kali ketiga, saya menyerah. Takut akun dibekukan. Bahkan ketika saya coba membagikan link itu di kolom komentar pun, tetap diblokir.
Karena penasaran, saya bertanya pada "Mbah Google." Apakah kata "setan" memang dilarang ditulis di Facebook? Jawaban yang saya temukan pun tidak jelas---hanya kemungkinan dianggap sebagai ujaran kebencian. Akhirnya saya ganti kata itu dengan istilah bahasa Arab: syaitan. Hasilnya, link bisa dibuka.
Ada Rasa yang Mengganjal
Meski sudah menemukan jalan keluar, hati saya masih mengganjal. Saya bertanya-tanya, mengapa untuk membagikan kebaikan terasa begitu sulit? Kenapa akun saya bisa sampai terancam dibatasi?
Sementara itu, di sisi lain, begitu banyak konten joget, cerita perselingkuhan, gosip murahan, bahkan hujatan terbuka antarakun masih bebas beredar. Ironisnya, konten semacam itu justru laris ditonton, dibagikan, bahkan membawa pengaruh hingga ke televisi. Bukankah aneh ketika orang yang berbuat salah justru semakin populer? Semua itu tentu tak lepas dari budaya gosip yang selalu digoreng agar terus FYP, sementara konten positif nyaris kehilangan panggung.
Senasib dengan Teman Penulis
Seorang teman penulis sempat menanggapi keluhan saya lewat WA. Ia pun mengalami hal serupa: tulisannya yang mendidik dan bermanfaat sepi pengunjung.
"Sedangkan orang yang copas video orang lain malah ramai dikunjungi," keluhnya.
Saya hanya bisa menimpali, "Ini soal algoritma. Kalau mau ramai, kita harus rela ikut gila."
Percakapan itu membuat saya semakin yakin, memang benar, minat baca dan minat terhadap hal-hal baik mulai menurun. Orang lebih suka yang absurd, nyeleneh, lucu, tampan, cantik, seksi, atau heboh. Pertanyaannya, apakah orang-orang sudah bosan dengan kebenaran?
Tetap Menyebar Kebaikan
Terlepas dari semua itu, satu hal yang tidak boleh padam adalah semangat untuk terus menebarkan kebaikan. Saya percaya, tulisan yang lahir dari niat baik tetap punya makna, meskipun pembacanya sedikit.
Kalau bukan kita yang menyajikan fakta, membuka pikiran, dan memberikan pencerahan, siapa lagi? Walaupun algoritma media sosial terasa tidak adil, kita masih bisa menginspirasi orang-orang terdekat---anak-anak, keluarga, sahabat---dan itu sudah berarti besar.
Di luar sana, mungkin kebijakan media terlalu ketat, mungkin orang-orang lebih memilih hiburan kosong, tetapi setidaknya kita bisa membuktikan. Bahwa tetap positif, tetap semangat, dan tetap menularkan kebaikan adalah sikap langka yang perlu dilestarikan.
Tips Agar Postingan Tidak Diturunkan
Dari pengalaman ini, ada beberapa langkah kecil yang bisa kita lakukan agar pesan positif tetap sampai tanpa mudah diturunkan platform media sosial:
- Hindari kata-kata sensitif -- gunakan istilah alternatif yang lebih halus atau versi bahasa lain (misalnya "syaitan" alih-alih "setan").
- Perhatikan judul -- jangan menggunakan diksi yang bisa ditafsirkan sebagai ujaran kebencian, provokasi, atau menyinggung kelompok tertentu.
- Gunakan ilustrasi atau infografis -- letakkan link di kolom komentar agar algoritma tidak langsung menandai postingan sebagai spam.
- Tulis ringkasan singkat -- berikan pengantar yang menarik agar pembaca tetap memahami maksud tulisan, meski link sulit diakses.
- Sebarkan di berbagai platform -- jangan hanya bergantung pada satu media sosial. Blog pribadi, grup WhatsApp, Telegram, atau bahkan cetak sederhana masih bisa menjadi sarana berbagi kebaikan.
Bahan Renungan
Pada akhirnya, mungkin benar kata orang, "kebaikan sering kali tidak berisik". Ia berjalan pelan, bahkan terkadang tersembunyi di balik sepinya komentar dan like. Tapi percayalah, setiap kebaikan yang kita sebarkan tidak pernah sia-sia. Bisa jadi hanya satu orang yang membaca, tapi satu orang itu membawa perubahan besar dalam hidupnya.
Dan bukankah itu sudah lebih berharga daripada seribu penonton yang hanya menertawakan gosip dan sensasi sesaat?
Maka, jangan menyerah. Mari tetap menulis, tetap berbagi, tetap menebar kebaikan---meskipun kadang terasa sepi, meskipun algoritma tidak berpihak. Karena dunia tetap butuh suara-suara kecil yang berani menyuarakan kebenaran.
Semoga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI