Arga menatapnya sambil tersenyum lega. “Kau berhasil, Ra. Bayangan itu hanyalah ketakutanmu sendiri. Dan kau baru saja membebaskan Purworejo dari rahasia yang terikat sejak lama.”
Ketika mereka keluar dari lorong, malam sudah turun. Alun-alun Purworejo kembali ramai dengan pedagang dan anak-anak yang bermain, seakan tak terjadi apa-apa. Beringin Kembar berdiri tegak, tenang, seperti penjaga setia kota ini.
Dira duduk di bangku tempat ia sering merenung. Kali ini, wajahnya berbeda: tak ada lagi kebimbangan. Ia menatap Arga dengan mata berkaca-kaca. “Aku selalu berpikir harus meninggalkan Purworejo untuk menemukan diriku. Tapi sekarang aku sadar… pulang bukan berarti menyerah. Pulang adalah tentang menerima dan menjaga akar yang telah menumbuhkan kita.”
Arga tersenyum lembut, menyerahkan segelas dawet ireng hangat yang ia beli dari pedagang terdekat. “Dan mungkin, di kota kecil ini, mimpi justru bisa tumbuh lebih tulus daripada di tempat lain.”
Dira tertawa kecil sambil menatap senja yang kini benar-benar hilang, digantikan cahaya bulan. Hatinya damai, untuk pertama kalinya setelah sekian lama.
Malam itu, di bawah beringin kembar yang penuh misteri, Dira akhirnya menemukan jawabannya: masa depan bukanlah soal memilih kota besar atau kecil, melainkan tentang keberanian menghadapi bayangan masa lalu dan menjaga cahaya yang telah diwariskan.
Purworejo bukan sekadar kota tempat ia lahir. Purworejo adalah rumah, tempat segala cerita dimulai—dan tempat ia akan terus menulis babak baru hidupnya.
Di kejauhan, lonceng masjid menandai waktu isya. Suara adzan merdu mengalun, menyatukan seluruh isi kota dalam harmoni. Dan di hati Dira, hanya ada satu kata yang bergema: pulang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI