Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Parenting: Belajar Bertumbuh Bersama Remaja Lampaui Masa Pubertas

12 Agustus 2021   16:28 Diperbarui: 27 April 2022   05:33 916
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: puberty parenting|Via unsplash @ Eye for Ebony

Parents.... gimana kabarnya? Makin keren aja nih kayaknya. Hmm, lama ga nulis ternyata ada topil menarik nih. Sepertinya mimin lagi pengen kusayang....

Masa puber? Lingkungan saya banget. 

Memang saya bukan sedang berada di masa puber, saudara. Tapi bersentuhan dengan anak-anak usia remaja dengan segala perkembangan kognitif dan pertumbuhan fisik maupun psikis....jangan tanya, itu makanan saya sehari-hari.

Baca:Anak Remaja: Menentukan Pilihan Itu Ternyata (Tidak) Mudah
Depresi Remaja Kegelisahan Kita Semua
Belajar Jangan dan Hendaklah Untuk Menanggulangi Stres Pada Anak Usia Remaja

Sebenarnya artikel ini pada awalnya saya persiapkan untuk menjawab tantangan topil dari mimin soal "Cinta Segitiga". Tapi, keburu ada topil manis ini, kita bahas saja sekalian di sini.

Sebelum kita melangkah jauh pada urusan remaja dan permasalahannya, ada baiknya kita ketahui terlebih dahulu beberapa kategori remaja. 

Merujuk pada kategorisasi usia remaja menurut World Health Organization (WHO) remaja adalah penduduk dalam rentang usia antara 10-18 tahun. Sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI no. 25 Tahun 2014 remaja adalah penduduk dalam rentang usia 10-19 tahun.

Sedangkan beberapa ahli psikologi membagi rentang usia remaja dalam 3 kategori:

  1. Fase remaja awal (12-15 tahun)
  2. Fase remaja madya (15-18 tahun)
  3. Fase remaja akhir (18-21 tahun)

Apa sih pubertas itu?

Masa puber atau puberty merupakan suatu tahapan dalam pertumbuhan fisik maupun psikis individu, ditandai dengan kematangan seksual. 

Perkembangan organ-organ tubuh yang matang secara seksual menempatkan seorang remaja awal berada dalam titik kebingungan. 

Pertumbuhan fisik berupa perubahan organ tubuh, erat kaitannya dengan jenis kelamin mengakibatkan remaja yang secara psikologis mempunyai tugas menemukan jati dirinya sendiri, seakan berada di ujung tanduk. 

Berbarengan dengan perkembangan organ seksual, struktur otak pada usia remaja belum mengalami perkembangan sempurna seperti orang dewasa. Sehingga proses pengambilan keputusan masih berdasarkan pada sistim limbik, yaitu bagian otak yang berperan dalam pembentukan tingkah laku emosi. 

Apabila perasaan, ide, emosi, atau pikiran berjalan secara berlawanan, maka seorang remaja akan mengalami kebingungan. Di sinilah peran serta lingkungan, termasuk di dalamnya keluarga, sekolah, maupun teman sebaya sangat dibutuhkan.

Jean Piaget, salah satu empu di dunia psikologi anak mengemukakan bahwa masa remaja adalah suatu periode di mana seorang anak terintegrasi dalam masyarakat, sehingga anak tersebut merasa bukan lagi berada di bawah orang dewasa, melainkan mempunyai kedudukan yang sama; sejajar.

Menukil dari jurnal yang berjudul "Konsep Diri, Adversity Quotient dan Penyesuaian Diri pada Remaja", Hidayati dan rekan melakukan studi pada remaja di sebuah panti asuhan Ponorogo. Disebutkan terdapat fakta bahwa seorang remaja dengan konsep diri yang tinggi akan mempunyai coping, daya ketahanan terhadap stresor atau masalah yang tinggi. Sehingga pada saat menghadapi permasalahan, remaja tersebut akan dapat melaluinya dengan tenang.

Demikian pula bila remaja mempunyai konsep diri yang tidak matang, maka ia akan kesulitan untuk menghadapi stresor atau masalah yang sedang di hadapinya.

Lantas apa hubungannya dengan "Cinta Segitiga"?

Izinkan saya berbagi sebuah cerita yang mengalir dari bilik hati seorang remaja. Bertemu dengan anak ini mungkin bukanlah sebuah kebetulan. Bukankah segala sesuatu itu datang bagai guru kehidupan bagi kita?

Seorang anak, yang tidak akan saya sebut namanya, mengalami luka batin akibat father's wound. Ayahnya pergi meninggalkan keluarga karena kasus perselingkuhan. Cinta segitiga? Yap, saudara benar! 

Anak ini begitu kurang percaya diri, pendiam dan selalu menarik diri dari pergaulan dengan teman sebayanya. 

Setiap kali ada seorang kawan yang memberi sedikit perhatian, ia nampak begitu antusias! Namun naas, sikapnya inilah yang malah seringkali mendatangkan bully dari teman-temannya.

Kisah yang --mirisnya-- akrab di telinga kita, bukan?

Masih perlu lagikah saya ceritakan kisah perih remaja lain yang seringkali mendatangi saya begitu saja? 

Pada akhirnya, memang ada di antara anak-anak remaja tersebut mampu bertahan dan melampaui kerentanan psikis di usia remaja ke arah kematangan kedewasaan.

Namun, tidak jarang di antara mereka yang tidak mempunyai daya tahan yang kuat,kemudian lari pada drugs, seks bebas, self harm, minuman keras, merokok, dan tindakan penyimpangan sosial lainnya dengan tendensi rasa ingin coba-coba.

Broken Home Bukan Berarti Broken Hope

Dalam satu momen sharing bersama beberapa remaja usia SMA, saya sempat melontarkan pertanyaan tentang apa yang paling dibutuhkan oleh remaja dalam masa pertumbuhan mereka, selain materi. 

Tak lama kemudian, salah seorang remaja yang aktif beropini menjawab, "Mungkin, kami adalah anak broken home, tapi kami bukan anak broken hope".

Mungkin kita memang bukan orang tua yang sempurna. Kita adalah pembelajar. Dalam parenting, bukan soal seberapa jauh kita mengajar, tetapi bagaimana kita bersama-sama saling belajar.

Kepedulian kita pada pertumbuhan dan perkembangan anak usia pubertas sangat dibutuhkan. 

Sejauh yang saya tahu, anak-anak remaja seringkali memilih orang lain untuk menceritakan isi hati mereka. Mengapa? Ada yang berkata:

'Aku dah cerita tapi ga didengerin ko'

'Udah cerita ke ortu, tapi ga dipercaya' 

Seberapa jauhkah kita menyadari bahwa keberadaan kita di tengah mereka sebagai orang tua adalah teman yang mereka butuhkan saat mereka ingin didengarkan? Bukan hanya sambil lalu, melainkan benar-benar mendengarkan. 

Hingga saatnya nanti rasa percaya mereka akan tumbuh karena komitmen kita telah teruji berulangkali dengan mendengarkan apa yang mereka ingin sampaikan. 

Bila saatnya kita yang berbicara, maka mereka akan mendengarkan, karena tahu bahwa kita benar-benar mengerti apa yang ada dalam benak mereka.

"every child comes with the message that God is not yet discouraged of man" (Rabindranath Tagore)

Bila boleh saya terjemahkan, "setiap anak datang dengan pesan bahwa Tuhan belum berputus asa pada dunia". 

Saya sungguh tertarik dengan tokoh penerima Nobel yang satu ini. Apa yang membuat saya tertarik? Coba saja klik judul membiru di bawah ini.

Baca: Cegah Depresi Anak, Coba Belajar dari Duo Bapak Pendidik Bangsa

Begitu banyak filosofi yang beliau sumbangkan bagi dunia pendidikan, yang mana selaras dengan kebutuhan anak-anak untuk "diorangkan".

Inilah yang masih menjadi ironi dalam budaya parenting kita. Seringkali lingkungan menuntut supaya anak remaja cepat bertumbuh ke arah dewasa. 

Namun pada kenyataannya, lingkungan lebih sering menganggap anak-anak remaja ini terlalu kecil untuk ikut mengambil bagian dalam kegiatan kaum dewasa. 

Mari, selamat menikmati sesi pembelajaran bersama anak remaja kita. Sampai jumpa di konten parenting saya berikutnya....

See yaaaa....

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun