Langit sore itu memerah, seolah mengisyaratkan kepergian yang tak bisa dihindari. Di tepi pantai yang sepi, aku duduk sendirian, menyaksikan ombak yang datang bergulung-gulung sebelum pecah di bibir pantai. Udara sore terasa hangat, dengan aroma asin laut yang khas, namun dalam kehangatan itu terselip rasa dingin yang tak tertahankan di hatiku. Senja memang selalu indah, tetapi keindahannya selalu membawa pesan tentang akhir.
Aku sedang tenggelam dalam lamunan ketika dia datang. Langkahnya ringan, hampir tak terdengar di atas pasir, seperti bayangan yang muncul tanpa peringatan. Wajahnya diterangi cahaya senja yang keemasan, dan senyumnya---oh, senyum itu---mampu menggetarkan hatiku seperti pertama kali aku melihatnya bertahun-tahun lalu. Namun, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Senyumnya tetap indah, tetapi di balik keindahan itu, aku bisa merasakan kesedihan yang tak terucapkan. Seolah-olah dia adalah sebuah lukisan yang memukau, namun waktu telah meninggalkan goresan luka yang halus di kanvasnya.
"Lihatlah," katanya lembut, sambil menunjuk ke langit yang mengubah warnanya menjadi jingga kemerahan. "Seperti lukisan, bukan?"
Aku mengangguk, tak mampu berkata-kata. Matanya berbinar, memantulkan warna senja yang hangat, tetapi ada bayangan di dalamnya, bayangan yang tak pernah kulihat sebelumnya. Aku mengenal mata itu---mata yang dulu penuh harapan dan kebahagiaan. Namun kini, mereka seperti menyimpan rahasia yang terlalu berat untuk diungkapkan.
Kami mulai berbicara, seperti biasa, tentang hal-hal kecil yang pernah kami impikan bersama. Tentang perjalanan yang tak pernah kami lakukan, tentang rumah kecil di tepi bukit yang pernah kami rencanakan untuk ditinggali. Dia berbicara dengan nada yang sama seperti dulu---tenang, penuh kasih, dan penuh mimpi. Namun, setiap kalimat yang keluar dari bibirnya terasa seperti pisau yang perlahan mengiris hatiku. Aku tahu, ini bukan percakapan biasa. Ini adalah perpisahan yang disembunyikan di balik topeng kenangan.
"Aku selalu suka senja," katanya sambil tersenyum, meskipun matanya terlihat berkabut. "Senja mengingatkanku bahwa segala sesuatu yang indah tidak pernah abadi, tetapi itu tidak membuatnya kurang berharga."
Aku menatapnya, mencoba mencari kata-kata untuk menahan kebisuan yang mulai menyelimuti kami. Namun, aku terlalu takut untuk bertanya, terlalu takut untuk mendengar jawaban yang sudah kutahu di dalam hati. Senja terus merangkak menuju malam, dan aku merasa waktu semakin sempit, seperti pasir yang jatuh di jam pasir yang hampir habis.
"Kau tahu," aku akhirnya berkata, suaraku serak karena menahan emosi, "senja selalu menjadi favoritku. Tapi aku benci bagaimana ia selalu berakhir terlalu cepat."
Dia menoleh, matanya bertemu dengan mataku. Dalam sekejap, aku melihat semua yang dia sembunyikan---rasa sakit, kenangan, dan cinta yang tidak pernah benar-benar pudar. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya tersenyum kecil, senyum yang terasa seperti perpisahan yang tak terucapkan.
Waktu berjalan begitu cepat malam itu, dan sebelum aku menyadarinya, matahari telah tenggelam sepenuhnya. Sisa-sisa cahaya memudar di cakrawala, dan kegelapan mulai merayap masuk. Dia berdiri, menatapku untuk terakhir kalinya sebelum berbalik dan berjalan pergi. Aku ingin memanggilnya, ingin memintanya untuk tinggal, tetapi kata-kata itu terjebak di tenggorokanku.