Mohon tunggu...
Dessy Yasmita
Dessy Yasmita Mohon Tunggu... Desainer - valar morghulis

If you want to be a good author, study Game of Thrones.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Badai: Wisa 01

4 November 2019   16:13 Diperbarui: 5 November 2019   20:25 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak ada yang bisa kuingat tentang bagaimana aku bisa berada di Kota S. Kata orangtuaku, aku dibawa ketika baru berusia dua bulan ke sana. Kota kecil terisolir seperti hutan, bukan sebuah kota yang mudah untuk pasangan muda beranak satu seperti orangtuaku saat itu. Aku sungguh-sungguh tak punya kenangan tentang ketibaanku, hari-hari awalku, bahkan ulang-tahun pertamaku. Aku bahkan tak ingat, apa ingatan pertamaku.

Namun, kurasa aku ingat pertama kali pergi bermain dengan anak-anak yang lebih besar. Aku ingat samar-samar aku hanya mengamati mereka dan membiarkan mereka terus berbicara padaku. Kurasa, saat itu di kepalaku aku bertanya mengapa mereka memberi pertanyaan dan tanggapan-tanggapan bodoh terhadapku. Mungkin, begitulah aku memulai semuanya.

Kumpulan foto membuktikan bahwa aku pernah tinggal di rumah berbahan semi-permanen dengan AC di Kota S. Rumah itu tidak besar, tetapi halamannya cukup luas. Tetanggaku adalah orang-orang yang juga bekerja seperti Papa, di Pertambangan Batu Bara Srigoya.

Lalu kami pindah.

Aku tak ingat bagaimana kelakuanku di dalam kapal feri ketika menuju Pulau T. Pastinya itu perjalanan pertamaku dengan feri, yang kemudian akan selalu kugunakan untuk melintasi laut yang memisahkan pulau dari Dermaga Kota S. Dari cerita orang tuaku, aku hanya ternganga menatap air laut, langit-langit kapal, dan orang-orang yang tertawa dengan ketakjubanku. Mungkin saat itu, aku bertanya-tanya, apa gerangan benda yang tumbuh-tenggelam seperti kain yang ditiup angin? Mungkin aku bertanya mengapa warnanya biru. Mungkin aku bertanya kenapa baunya asin. Mungkin aku bertanya mengapa bising di kapal itu. Mungkin ada lebih banyak lagi pertanyaan yang saat itu tak mampu kusampaikan dengan kosa kata yang terbatas.

Aku pun tak punya ingatan tentang 'apartemen' kami yang terletak tinggi dan harus bersusah-payah melewati seratus anak tangga, dengan mamaku yang megap-megap menggendongku dan terpaksa bergantian membawaku dengan Papa. Anak tangga yang memaksa orang paling gemuk pun tak bisa lagi bertambah berat badan karena dengan cara apapun, jalan apapun, kau harus melewatinya -- si anak tangga setan, begitu kami menjulukinya. Jadi beruntunglah mereka yang tak perlu melewati keseratus anak tangganya. Blok-blok apartemen dibangun mengikuti kontur tanah sehingga ada yang terletak jauh tinggi dan yang rendah. Blok apartemenku harus melalui tujuh puluh lima anak tangga. Itu sudah cukup membunuh mamaku saat aku masih terlalu kecil untuk jalan sendiri.

Tentu saja, seperti bayi-bayi sinting lainnya, aku dengan riang gembira menaiki dan menuruni anak tangga, semampu-mampunya. Seringkali ketika Mama sedang berbicara dengan tetangga, aku dengan lihai lepas dari genggamannya lalu memulai kerianganku di antara anak tangga itu, kemudian Mama yang tersadar berteriak dan tergopoh-gopoh datang untuk menggendongku, mematikan semua keceriaan dan kemerdekaan yang tadinya kudapat. Tentunya, seperti ingatan-ingatan yang lain, kejadian-kejadian ini telah jauh dari ingatan pertamaku.

Yang kuingat adalah aku tinggal di atas sana, bisa melihat lautan dan seperintil kelap-kelip kota Sulungan bila malam. Bahwa bau asin masih terbawa hingga ke kamarku, matahari pagi tampak lebih cerah, dan sepeda roda tigaku diparkir dekat lift. Kurasa, ingatan ini adalah ingatanku ketika berusia lima tahun. Saat itu aku sudah memiliki kamar sendiri karena setelah aku, tidak ada siapa-siapa lagi. Aku anak tunggal.

Dari kamarku, aku bisa leluasa melihat blok-blok apartemen lain. Blok A paling depan. Blok F paling belakang, tak bisa kulihat. Anak-anak dari Blok B dan C, sebagian terlihat dari kamarku. Tak jarang kami bisa saling menyapa, teriakan gila di siang hari yang mengganggu jadwal tidurnya ibu-ibu kami. Tak jarang akhirnya kami dibentak dan disuruh tidur yang berakhir dengan raungan melolong-lolong dari kami yang dicubiti para ibu.

Sebenarnya pada usia empat tahun aku sudah mulai sekolah. Tak jauh dari area apartemen, ada dua taman kanak-kanak yang tampak mencolok dengan dinding bergambar komidi putar, beruang melayang, bunga-bunga berwajah, dan matahari yang bersemu. Taman kanak-kanan yang lain ada di dua lantai di dalam apartemen Blok F. Hanya dua sekolah ini yang ada di pulau. Selebihnya, kau harus menyeberang. Sekolah dasar sampai SMU ada di Kota S. Tak banyak yang bisa kuingat dari masa-masa usia empat tahun. Hanya ada satu kenangan: ketika anak-anak lain bertangisan penuh drama ditinggal orang tuanya, aku sendiri yang cuma duduk diam. Entah karena aku yang memang kurang cerdas melihat situasi atau memang aku anak yang pemberani.

Ketika berusia enam tahun, aku memulai petualangan pulang-pergi ke Kota S dengan feri. Dermaga Srigoya adalah dermaga khusus milik Srigoya. Di sini, ada gudang-gudang khusus yang bertingkat-tingkat untuk menyimpan mobil perusahaan dan mobil karyawan. Di Pulau T sendiri, mobil pribadi yang berkeliaran hanya milik manajer utama, wakilnya, dan empat kepala bidang. Selebihnya mobil kebakaran, truk pengangkut batu bara, dan mobil ambulance. Meski ada mini market, tentu tak memuaskan terutama ketika harus membeli persediaan bulanan. Mau tak mau setiap Sabtu dan Minggu, hampir semua orang pergi. Sebagian orang pergi di hari Senin bersama anak-anak yang berangkat sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun