“Apa salahku?”
“Kau tahu betapa kurang ajarnya mataku ini? Aku kembali menemukan tatapnya, senyumnya, wajahnya, segala hal yang kurindukan darinya yang kini ada padamu! Apa aku harus menjadi buta untuk menerimamu?”
***
Dan sejak saat itu Sabrina tak lagi ditemukan. Laki-laki paruh baya yang pernah berbagi kisah denganku, memilih untuk menutup warung kopinya, menutup kenangan anaknya. Sedangkan aku masih memangku harap, memandang keluar jendela menunggu mata itu.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!