Kataku palsu.
***
Sejak malam purnama itu, aku tak melihatnya lagi. Di toko buku, di seberang jalan, di warung kopi, senyum itu lenyap. Aku memilih untuk menunggunya di warung kopi di mana aku menemukan matanya untuk pertama kali.
Aku memandang ke arah jendela. Telusuri jejak matanya. Berharap temukan jawab keberadaan dirinya. Nihil. Bangku kayu pun kosong. Biasanya perempuan bermata biru telaga ada di sana.
“Kau merindukan Sabrina?”
Laki-laki paruh baya sodorkan kopi untuk ketiga kalinya. Ia melepas topi, meletakkannya di atas meja di sebelah cangkirku.
“Bolehkah aku duduk di sini?”
“Tentu saja.”
Tidak ada alasan untuk menolak permintaannya. Aku hanya pengunjung, bukan pemilik sepertinya.
“Kau lama-lama menyerupai dirinya.”
“Sabrina?”