“ Aneh,” guman dokter. “ Apa kamu memakan obat selain yang kami berikan ?” tanya dokter.
Aisa menggeleng. “ Tidak, dok. Tak ada uang untuk membeli obat,” kata Aisa jujur. Aisa tahu, di toko obat ada semacam obat mujarab bernama Pien Tze Huang, sangat manjur untuk mengobati luka terutama setelah operasi. Harganya sangat mahal.
“ Luka-lukamu belum sembuh, bahkan ada yang belum kering, namun kamu tidak merasa perih, sakit, atau kerih ? “ tanya dokter lagi.
Aisa menggeleng. Suster dan dokter bertatapan heran. Mereka geleng geleng kepala. Menulis entah apa di clipboard yang ada kertasnya. “ Sebetulnya kamu belum sembuh, belum boleh ke sekolah, belum diizinkan keluar rumah sakit, namun berhubung sedang ulangan, dan ini permintaan orang yang mengaku keluargamu, kami izinkan kamu bersekolah dengan syarat kamu harus kembali untuk rawat jalan.” Kata dokter.
Apapun akan diiyakan agar ia bisa cepat keluar dari sini, soal dilaksanakan atau tidak, itu nanti melihat sikon, pikir Aisa. Dokter dan perawat keluar. Aisa menatap jendela, berharap Prana cepat datang. Jam 6 tepat Prana tiba di rumah sakit bersama pak Sulaiman. Aisa serasa ingin jingkrak-jingkrak melihat kedatangan Prana.
“ Wajahmu gembira amat, apa lukamu sudah sembuh.” Tanya Prana. Aisa menyapa pak Sulaiman terlebih dahulu barulah menjawab omongan Prana.
“ Punggungku tidak sakit lagi. Mana seragam yang ingin kamu pinjamkan ?” Aisa menodongkan tangan.
“ Benar nih, tidak sakit ? “ tanya Prana tak percaya.
“ Gak percaya coba pegang.” Tantang Aisa.
Sulaiman tersenyum melihat keceriaan Aisa. Ia tak menyangka luka Aisa sembuh secepat itu. Prana ragu ragu, menatap ayahnya, ayahnya diam saja. Prana mengulurkan tangannya ke punggung Aisa, menyentuh pelan, takut Aisa menjerit kesakitan. Aisa malah tersenyum semakin lebar. Aisa tahu Prana takut ia meringis, takut ia kesakitan. Tangan Aisa diangkat ke belakang, meraba punggungnya, dari atas ke bawah.
Prana dan Sulaiman terheran-heran.