Mohon tunggu...
Deri Prabudianto
Deri Prabudianto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

no

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta Aisa 69: Cewe Seksi di Tengah Jalan

20 April 2017   06:30 Diperbarui: 20 April 2017   09:13 3210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ia berada di kamarnya yang indah. Meski kamar itu terbuat dari batu,  dekorasinya sangat memukau, satin dan sutra menutupi dindingnya, dua warna berbaur lembut, warna pink dan cream. Tangan Aisa memegang kain-kain itu, sutra bagai tak bisa dipegang, begitu lembut, begitu licin, lepas sendiri begitu ia memegangnya. Andai semua penutup dinding ini dibuat baju, ia punya 2 lemari baju baru. Belajar  menjahitnya baru sampai di tahap menjahit, belum bisa memotong pola. Alangkah lambatnya waktu berlalu.

Ratu Noor Laksmi memanjakannya. Ia dilarang bekerja. Semua pekerjaan dilakukan dayang. Ia hanya disuruh tidur, makan, bermain dan jalan-jalan di taman. Bahkan sebelum papanya di PHK, ia tidak merasakan hidupnya sesenang ini. Pintu membuka sendiri. Ratu Noor Laksmi tak pernah mengetuk pintu.

“ Selamat malam, anakku,” sapa wanita yang minta dipanggil Bunda.

“ Selamat malam, Bunda.”

“ Besok kamu akan kembali ke atas, aku ingin memberimu sesuatu.” Kata Ratu.

Atas ? Ohya, mungkin yang dimaksud Ratu di atas itu besok aku kembali bersekolah, atau kembali ke rumahku.  Kok Ratu tahu isi pembicaraanku dengan Prana ? Apa Ratu menyuruh Sendayu dan Sentani menguping pembicaraan kami?


“ Sudah banyak kenikmatan yang diberikan Bunda. Aisa ingin mengucapkan terima kasih. Jangan beri Aisa apa-apa lagi, Bunda. Aisa tak sanggup menerimanya. Ada ubi ada talas, ada budi ada balas, Aisa tak punya talas untuk membalas kebaikan bunda,”  Aisa terharu melihat kebaikan Ratu, ia tidak minta diberi apa-apa lagi.

“ Bunda tidak minta balasan, anakku. Dan yang ingin kuberikan ini hanya elusan. Bolehkah anakku membuka baju ?”

Setiap ia berada di goa ini, baju yang dipakai Aisa selalu berganti menjadi baju tradisional yang mirip kimono. Ia menatap Bunda, tatapan bunda begitu lembut, ia mengangguk tanpa disadarinya, ia membuka pakaiannya bagian atas. Bunda berjalan mendekatinya. Bunda mengulurkan tangannya. Bunda memegang bahunya, berputar ke belakang ke punggung. Aisa mengeluh dalam hati, punggungku pasti jelek akibat luka yang belum sembuh. Tangan Bunda begitu halus, membelai lukanya, tangan bunda terasa dingin, sejuk hingga ke jantung. Aisa serasa terbuai. Setelah mengelus punggungnya, Bunda mengambil pakaian yang tadi ditanggalkan Aisa, memakaikan kembali pakaian itu ke tubuh Aisa. Sentuhan jari-jari tangan Bunda terasa begitu lembut. Bunda berputar dan berada di hadapan Aisa.

“ Sudah saatnya aku naik ke atas menemuimu, “ kata Ratu Noor Laksmi.

“ Apa maksud Bunda ? “ tanya Aisa.

“ Nanti kamu akan mengerti sendiri. Sekarang tidurlah, anakku. Tidurlah, kamu pasti mengantuk.” Kata Bunda.

Bunga melati seakan  hujan yang turun dari langit memenuhi kamar, memenuhi lantai, ranjang, dan seluruh kamar. Aisa merasa matanya berat. Ia berjalan ke pembaringan. Bunda mengikutinya, menyelimutinya dengan selimut yang terbuat Satin. Mata Aisa menutup perlahan-lahan.

“ Selamat jalan, anakku. “ Suara Bunda terdengar sendu.

“ Selamat malam, Bunda…”  Aisa terlelap dengan nyenyaknya. Ia sama sekali tak menyadari apa itu mimpi atau hanya sekedar lamunannya.

 Kebiasaannya bangun jam 5 pagi tetap terbawa meski ia berada di rumah sakit. Pagi ini ia akan pulang, kembali bersekolah. Aisa menunggu kedatangan Prana. Tanpa sengaja ia tidur telentang entah sejak kapan. Beberapa perawat masuk, begitu juga dokter jaga, mereka memeriksa punggung Aisa. Mereka heran melihat Aisa sudah bisa berbaring telentang.

“ Tidak merasa sakit tidur telentang ?” tanya dokter.

“ Tidak, dok. Tidak sakit lagi. ” Aisa ikut heran. Pagi ini saat ia terbangun tidak ada rasa pedih, kerih, atau perih, bahkan ketika ia berjalan ke sana ini. Kenapa ia sembuh begitu cepat ? Dokter dan perawaat saling pandang. Dokter mengulurkan tanngannya, memegang punggung Aisa.

 “ Yang kusentuh ini tidak sakit ?” tanya dokter.

Aisa menggeleng. “ Tidak, dok.”

“ Disini ?” Dokter menyentuh tempat lain, di tempat yang lukanya paling dalam.

Aisa tetap menggeleng.

“ Aneh,” guman dokter. “ Apa kamu memakan obat selain yang kami berikan ?” tanya dokter.

Aisa menggeleng. “ Tidak, dok. Tak ada uang untuk membeli obat,” kata Aisa jujur. Aisa tahu, di toko obat ada semacam obat mujarab bernama Pien Tze Huang, sangat manjur untuk mengobati luka terutama setelah operasi. Harganya sangat mahal.

“ Luka-lukamu belum sembuh, bahkan ada yang belum kering, namun kamu tidak merasa perih, sakit, atau kerih ? “ tanya dokter lagi.

Aisa menggeleng. Suster dan dokter bertatapan heran. Mereka geleng geleng kepala. Menulis entah apa di clipboard yang ada kertasnya. “ Sebetulnya kamu belum sembuh, belum boleh ke sekolah, belum diizinkan keluar rumah sakit, namun berhubung sedang ulangan, dan ini permintaan orang yang mengaku keluargamu, kami izinkan kamu bersekolah dengan syarat kamu harus kembali untuk rawat jalan.” Kata dokter.

Apapun akan diiyakan agar ia bisa cepat keluar dari sini, soal dilaksanakan atau tidak, itu nanti melihat sikon, pikir Aisa. Dokter dan perawat keluar. Aisa menatap jendela, berharap Prana cepat datang. Jam 6 tepat Prana tiba di rumah sakit bersama pak Sulaiman. Aisa serasa ingin jingkrak-jingkrak melihat kedatangan Prana.

“ Wajahmu gembira amat, apa lukamu sudah sembuh.” Tanya Prana. Aisa menyapa pak Sulaiman terlebih dahulu barulah menjawab omongan Prana.

“ Punggungku tidak sakit lagi. Mana seragam yang ingin kamu pinjamkan ?” Aisa menodongkan tangan.

“ Benar nih, tidak sakit ? “ tanya Prana tak percaya.

“ Gak percaya coba pegang.” Tantang Aisa.

Sulaiman tersenyum melihat keceriaan Aisa. Ia tak menyangka luka Aisa sembuh secepat itu. Prana ragu ragu, menatap ayahnya, ayahnya diam saja. Prana mengulurkan tangannya ke punggung Aisa, menyentuh pelan, takut Aisa menjerit kesakitan. Aisa malah tersenyum semakin lebar. Aisa tahu Prana takut ia meringis, takut ia kesakitan. Tangan Aisa diangkat ke belakang, meraba punggungnya, dari atas ke bawah.

Prana dan Sulaiman terheran-heran.

“ Lalita membawakanmu obat, ya ?” tanya Prana.

Daripada terlambat akibat banyaknya pertanyaan Prana, lebih baik ia mengangguk.

“ Seragam pinjamannya mana ? “ Aisa menyodorkan tangan.

Prana terpaku sejenak, lalu mengambil plastik yang dipegang papanya. Disodorkan plastik itu ke Aisa. Aisa terbelakak. Baju itu bukan baju pinjaman, melainkan baru.

“ Gak usah dikembalikan. Tadi malam mama dan papa membelinya untukmu.” Kata Prana. 

“ Aduh, Aisa menyusahkan papa dan mamamu lagi, sungguh tak enak sakitku membuat banyak orang sibuk dan kuatir.” Kata Aisa, menerima baju itu, mengucapkan terima kasih pada Prana dan pak Sulaiman. Setelah itu, ia  berganti pakaian. Tak sampai 5 menit ia sudah kembali dengan memakai seragam.

“ Ayo berangkat, “ ajak Aisa ketika melihat Prana dan pak Sulaiman tertegun.

“ Benar nih tidak sakit ?” tanya Prana bimbang.

“ Benar kok. Lihat ini !” Aisa melompat ke atas, mendarat lagi tanpa meringis atau merintih, bahkan ketawa. Bukankah Prana senang melihatnya gembira? Sebelum terkena pukulan lebih hebat lagi, kenapa aku tidak bergembira sepuasku, kata Aisa dalam hati. Ia yakin begitu ibunya keluar dari rumah sakit, akan mencarinya untuk membuat perhitungan gara gara ia dirawat di rumah sakit Caltex.

“ Aku harus bertanya pada Lalita obat apa semujarab itu.” Kata Prana. Pak Sulaiman ketawa melihat rasa penasaran anaknya begitu tinggi.

Mereka pamit pada dokter jaga dan perawat jaga. Aisa tak menyangka ia bakal diantar dengan mobil pak Sulaiman. Kalau ketahuan ia pasti dpukuli lebih hebat lagi. Ia risih hingga tak berani ngomong selama di perjalanan. Bahkan ia duduk di kursi mobil dengan menyandarkan punggungnya, tidak terlihat meringis meski jalanan tidak rata. Prana terus menatap Aisa, masih belum bisa menerima kenyataan bahwa Aisa tidak meringis sama sekali. Atau, jangan jangan Aisa kesakitan, sengaja memperlihatkan wajah gembira untuk menyenangkan hatinya ?

Jam 6.30 Aisa sudah tiba di depan gerbang sekolah. Ia turun sendiri. Prana ingin membantu, tertegun melihat Aisa sudah selincah kelinci yang melompat turun sendiri.

“ Makasih, Pran. Makasih pak Sulaiman!” Aisa melambaikan tangan.

WA 0856 1273 502... versi cetak dapat... eh... bisa baca tanpa kata bersambung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun