Mohon tunggu...
Deni Saputra
Deni Saputra Mohon Tunggu... Guru - Seorang Guru dan Penggiat Literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Belajar menulis untuk memahami kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Ada Cinta di Balik Hidayah

28 November 2021   06:46 Diperbarui: 28 November 2021   06:48 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

(A. Deni Saputra)

Hidayahku

Assalamu'alaikum. Semoga Allah melimpahkan keselamatan pada kita semua. Seraya mengucapkan salam aku memasuki rumah.  Aku menemukan ibu yang sedang sibuk dengan masakannya. Siang hari ini waktu menunjukkan pukul empat sore. Ibu sedang mempersiapkan makan malam, untuk aku, ayah, dan ibu sendiri. Ayah sebentar lagi pulang dari kerjanya sebagai salah satu karyawan di sebuah perusahaan di Sukabumi.

Aku hidup dalam keluarga sederhana. Tetapi alhamdulillah, tidak berarti sederhana dalam cinta dan kasih saying keluarga. Ayahku bernama Firmansyah dan ibuku bernama Astuti. 

Aku sendiri bernama Akbar Intifadasyah. Sebuah nama yang agung yang diberikan orang tuaku. Sekarang aku berumur sembilan tahun dan duduk sebagai siswa kelas empat. 

Nama sekolahku adalah SDI Attaubah alias Sekolah Dasar Islam Attaubah yang berada di Cijeruk, salah satu daerah yang ada di pinggiran Sukabumi. Selain aku belajar di sekolah, aku juga masuk sebuah pesantren Al-istiqamah sebagai santri TPA. Pesantren Al-istiqamah sendiri letaknya tidak jauh dari rumahku sehingga tidak membuat badan lelah jika harus mengejar waktu dengan jalan kaki.

Orang tuaku sangat mendukung apa yang telah aku lakukan. Meski waktu bermain sangat kurang, tetapi tidak mengurangi kebahagiaanku semasa kecil. Aku bangga pada ayah dan ibuku. Ayah bekerja sedangkan ibu menjadi ibu rumah tangga yang baik, mengurus aku, ayah, serta rumah kami yang sederhana. Ibu yang memberikan motivasi untuk melakukan hal-hal yang baik. Mengenyam pendidikan untuk kebutuhan dunia serta akhirat.

***

Sejak aku umur empat tahun, aku terkenal dengan nakalnya di lingkungan rumahku. Selalu mengusili temannya, merebut mainan temannya, dan malas mengerjakan sesuatu di rumah. Orang tuaku sebenarnya selalu mengajarkan aku untuk bersikap baik sejak aku masih kecil. Tidak tahu mengapa aku tidak mengikuti ajaran orang tua. Aku dikenalkan dengan agama, diajarkan mengaji, diajarkan belajar membaca, menulis, dan lainnya. Tetapi kenyataannya aku memiliki watak yang keras.

Pernah suatu hari aku membuat salah satu temanku bermain bernama Rahmat keningnya berdarah. Peristiwa itu terjadi di saat aku bermain mobi-mobilan di depan rumahku. Aku menginginkan mobil-mobilan yang dibawa Rahmat.

"Pinjam mobil-mobilan punya kamu!"  ucapku dengan tegas sambil merebut dari tangannya Rahmat. Rahmat tidak mau memberikannya. Kami pun saling berebut. Aku kesal hingga aku memukul Rahmat memakai mobil-mobilan yang aku bawa. Rahmat menangis kesakitan dan mengadu pada ibunya. Aku dimarahi orang tua Rahmat dan tentunya ayahku.

"Dasar anak nakal!" teriak ibu Rahmat padaku.

Di saat aku kelas dua aku baru mengenal tentang kebaikan. Allah memberikan hidayah padaku ketika aku jatuh sakit. Musim hujan di daerahku mulai datang. Aku hampir setiap hari bermain hujan-hujanan. 

Akhirnya aku sakit demam. Setelah dibawa ke dokter, sakitku tidak sembuh-sembuh. Setiap hari, setiap malam aku mendengarkan orang tuaku berdoa memohon kesembuhanku. Satu minggu berlalu, aku mulai baikkan. Aku masuk sekolah dengan senang, bermain dengan damai, dan hati pun mulai berubah.

Setiap sore, aku melihat anak-anak seusiaku di lingkungan rumahku memakai peci dan berkerudung. Sudah lama aku memerhatikan mereka untuk pergi ke pengajian. Aku hanya bisa mengintip dari balik tirai jendela rumahku. Ibu memerhatikanku dengan senyum yang manis.

"Kenapa, Nak? Kamu mau seperti itu?" tanya ibu sambil ikut membuka tirai jendela rumahku.

Aku tertunduk. Ibu mengambilkan sebuah peci dan baju koko untukku. Sudah lama aku tidak pernah memakainya.

"Ini! Kamu pakai, nanti Ibu yang mengantarmu ke pesantren itu." Ucap ibu sambil menyodorkan peci dan baju koko yang berwarna seragam.

Aku hanya bisa tersenyum. Aku langsung lari ke kamar untuk mengambil handuk. Aku lekas pergi ke kamar mandi agar kelihatan rapi ketika aku masuk pesantren. Ibu tersenyum lebar sambil menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkahku. Lalu aku mendengar ibu berucap kata: "Alhamdulillah, terima kasih ya Allah." Sambil meneteskan airmata.

Aku segera memakai baju koko dan pecinya dibantu oleh ibu. Ibu juga mempersiapkan diri dengan mengenakan kerudung. Ibu kelihatan sangat cantik. Pantas saja ayah jatuh cinta sama ibu, ucapku dalam hati. 

Tiada tara gembiranya aku dan ibu berangkat ke pesantren Al-istiqamah. Aku berjalan kaki sambil memegang tangan ibu yang begitu hangat. Dalam perjalanan aku dan ibu hanya senyum-senyum. Melempar senyum kepada setiap orang yang aku temui di jalan. Orang-orang itu alias tetanggaku melihatku dengan rasa heran.

***

Aku mendengar dengan sayup-sayup teman-temanku sedang mengaji. Semuanya berteriak dengan membaca ayat suci. Aku telah sampai di sebuah pesantren yang tidak begitu jauh dari rumahku.

"Assalamu'alaikum." Ucap ibu sambil mengetuk pintu sebuah ruangan. Ruangan itu adalah madrasah, tempat mengaji anak-anak santri. Pesantren Al-istiqamah sangat besar. Banyak santri dari luar daerahku yang mengaji di pesantren itu. Mulai dari anak kecil yang masuk TKA, anak seusiaku yang sudah termasuk TPA, dan santri remaja atau dewasa. Biasanya santri dewasa menginap di kobong yaitu ruangan yang berbentuk kamar-kamar seperti asrama.

"Wa'alaikumsalam," ucap seorang ustadz diikuti anak-anak didikannya.

Kami dibawa ke sebuah rumah tempat pimpinan pesantren itu tinggal. Ustadz yang bernama Muchsin adalah salah satu pengajar TKA atau TPA di pesantren itu. Setelah ibu membicarakan maksud kedatangan kami, ustadz tersebut membawaku ke tempat yang pertama kali aku dan ibu datangi.

"Nah, teman-teman. Kalian pasti sudah mengenal teman yang satu ini. Dia bernama Akbar. Mulai hari ini dia akan belajar mengaji bersama kita di sini."

Aku tidak segan untuk mengikuti pengajian ini. Sebagian besar siswanya adalah teman bermainku. Rumahnya pun berdekatan dengan rumahku. Sebenarnya mereka selalu mengajak aku untuk mengaji dan belajar agama di tempat ini. Tetapi aku selalu menolaknya sehingga mereka bosan untuk mengajakku kembali. Dan mulai hari ini, aku akan menjadi bagian dari rombongan mereka setiap sore dan malam hari menuju tempat ini.

Aku dan teman-teman mengikuti apa yang diucapkan Ustadz Muchsin. Meskipun aku tidak setiap hari membaca ayat suci tetapi setidaknya aku sudah mengetahuinya. Ibu selalu setia mengajarkanku meskipun sikapku selalu acuh. Setiap huruf aku eja dengan terpaksa, tetapi ibu terus mengajarkannya padaku dengan lembut. Dengan hati riang aku kembali ke rumah setelah mengikuti pengajian itu.

"Assalamu'alaikum." Ucapku untuk pertama kali pulang ke rumah.

"Wa'alaikumsalam. Bagaimana hari pertama kamu mengaji?" sahut ibu langsung bertanya.

"Baik, Bu!" lanjutku sambil mencium telapak tangan ibu.

Ibu tersenyum dengan rasa haru dan gembira. Usaha ibu tidak akan sia-sia selama ini mengajarkanku dengan penuh kasih sayang. Tidak lama kemudian ayah pulang. Ibu menceritakannya. Ayah pun sangat bahagia sekali.

Ya, begitulah pertama kali aku masuk pesantren. Sebuah kenangan yang tidaka akan aku lupakan. Jika aku mengingatnya, aku selalu tersenyum sendiri. Alangkah bodohnya aku, pikirku ketika mengenang masa lalu. Untuk hari ini aku akan selalu menjadi anak kebanggan orang tuaku. Aku memiliki teman yang sangat baik. Mereka bernama Rahmat yang pernah aku buat menangis tetapi dia tidak memiliki rasa dendam kepadaku, Yaser, Nissa, dan Nurma.

Pak Haji

Aku mencintai alam ini. Hari Minggu yang mendung. Menunggu hujan turun untuk mengguyur polusi yang menyebar di jalan-jalan. Aku duduk di depan jendela kamarku. 

Pandangan kosong telah hinggap pada diriku dan menerbangkan kenangan ke masa lalu. Aku ingin sekali bermain air, berlari tertimpa butiran hujan dari langit, dan mengotori baju dengan lumpur. Tanah yang becek, got-got yang mengalirkan air bah-nya menjadi pemandangan ketika hujan turun.

"Akbar, ayo sarapan! Ayah sudah menunggu."  Suara ibu membangunkan aku dari lamunan.

"Ya, Bu."

"Kamu lagi mikirin apa? Apa ada masalah di sekolah atau di pesantren?" tanya ibu.

"Tidak apa-apa, Bu. Aku hanya melihat pemandangan di luar. Alam sudah mendung jadi aku tidak bisa ke mana-mana."

Ibu menggandengku keluar dari kamar tidurku menuju ruang makan.

"Ada apa Akbar? Tumben hari ini muka kamu sama seperti hari ini, mendung."

"Ah ayah, apa-apaan sih. Orang Akbar sedang bahagia seperti ini dibilang mendung."

"Iya, tadi bilang sama ibu. Akbar tidak bisa bermain hari ini karena di luar sedang mendung." Timpal ibu sambil menyodorkan piring kepada ayah.

"Kamu menyesal? Kita ambil hikmahnya saja, kan kita jadi bisa ngumpul dan bisa cerita-cerita bermain dengan ayah dan ibu." Lanjut ayah.

"Aku tidak menyesal ayah. Aku senang dan bangga pada ayah dan ibu." Seruku dengan terharu.

Kami sekeluarga sedang menyantap nasi goring buatan ibu. Sarapan di pagi ini membuat aku menambah tenaga untuk melakukan aktivitas hari ini. Karena hari ini hari Minggu, aku bisa santai dan berkumpul di ruang keluarga bersama ayah dan ibu. Akan tetapi, jadwal pengajian tetap berjalan setiap hari. Tidak ada hari libur kecuali ada hal penting yang membuat kita bisa libur untuk mengaji.

***

"Ayah, bagaimana masalah naik haji? Apa sudah mulai diurus." Tanya ibu di ruang keluarga.

"Ayah sudah menanyakan mengenai masalah naik haji. Dan alhamdulillah, tabungan kita cukup untuk naik haji sekeluarga."

"Memang ayah tahun ini mau naik haji?" tanyaku.

"Iya, nak! Tahun ini Allah memberikan izin buat ayah dan ibu untuk menunaikan rukun islam yang kelima."

"Ayah, Akbar mau ikut dong! Akbar ingin menjadi haji. Kalau tidak ikut nanti Akbar sendirian di rumah." ucapku sambil memelas.

"Nanti ayah cek dulu tabungannya, apa cukup atau tidak untuk mengajak kamu."

Cita-cita ayah untuk naik haji akan segera terlaksana. Ayah ingin sekali untuk menunaikan rukun islam yang kelima itu. Tentunya bersama ibu. Ayah sudah menabungkan sebagian rezekinya saat ayah dan ibu berniat untuk naik haji. Setelah aku menanyakan kepada ibu, ibu mengatakan kalau ayah mulai menabung setelah satu tahun menikah. Jadi sudah hampir sepuluh tahun. Saat ini waktunya untuk menuai hasil usaha dan doa ayah serta ibu.

Lekas berita ini tersebar di sekitar rumahku. Para tetangga menanyakan kebenarannya tentang keluargaku untuk naik haji. Mereka sangat bangga dan memuji keluargaku. Tetapi pujian tetap hanya untuk Allah semata. 

Apa lagi jika ada orang-orang yang selalu berpikiran buruk tentang orang lain. Ada yang berpendapat bahwa keluargaku mendapat hadiah atau bonus. 

Ada yang memberi cerita bahwa semua pembicaraan keluargaku akan naik haji adalah sebuah kebohongan. Ya, begitulah manusia. Setiap manusia memiliki sifat yang berbeda-beda.

Semua pendapat yang menyebar di luar dianggap angin lalu saja oleh orang tuaku.

"Kita tidak boleh memiliki dendam kepada siapa pun. Mereka mau bicara apa, biarkan saja. Toh kenyataannya kita tidak melakukan hal yang salah." Ucap ayah.

"Sumuhun. Iya." Ujar ibu dengan logat sundanya.

"Aduh, keluarga kita sudah seperti artis saja. Digosipin!" ucapku sambil bercanda.

***

"Akbar, katanya kamu mau ikut naik haji?" tanya Nurma ketika kami dalam perjalanan ke pesantren.

"Iya, kamu kan masih kecil?" ucap Rahmat.

"Insya Allah. Jika Allah mengizinkan aku akan ikut naik haji bersama orang tuaku."

Aku dan teman-teman sudah sampai di tempat pengajian. Ustadz Muchsin sudah ada di kelas TPA dengan memakai setelan koko dan sarung. Ditambah lagi dengan peci berwarna putih, sudah seperti Pak Haji saja. Untuk hari ini ustadz membahas mengenai rukun islam. Kami semuanya sudah mengetahui mengenai rukun islam. Tetapi Ustadz Muchsin menjelaskannya secara mendetail.

Pembelajaran pun sudah sampai pada rukun islam yang kelima, aku dan teman-teman banyak bertanya. Aku tidak ingin ketika nanti aku naik haji akan sia-sia atas segala tindakanku yang salah.

"Ustadz, apa naik haji itu hanya untuk orang kaya saja?" tanya salah satu teman pengajianku.

"Menunaikan ibadah haji bukan milik orang kaya saja, tetapi bagi orang-orang yang mampu."

"Mampu dalam hal apa, Ustadz?"

"Mampu dalam hal fisik, materi, pikiran, dan niat ibadah hajinya. Meskipun miskin tetapi sudah mampu untuk melakukan ibadah haji memiliki ongkos, kuat di perjalanan, dan tahu mengenai hal-hal tentang ibadah haji baik itu persyartannya, rukun hajinya, ataupun doa-doanya, maka sudah diwajibkan orang itu untuk beribadah haji. Karena di mata Allah bukan kaya atau miskin yang dinilainya tetapi amal ibadahnya."

"Terus kalau masih kecil, bagaimana Ustadz? Apa boleh? Apa bisa disebut Pak Haji?" tanyaku agar tidak penasaran.

"Boleh-boleh saja, asal menjalankan semua persyaratan ibadah haji dan mampu seperti yang dikatakan Ustadz tadi."

"Wah, sebentar lagi Akbar akan menjadi Pak Haji dong!" ejek Rahmat diikuti tawa teman-teman.

"Sudah, sudah, ada yang masih mau ditanyakan?" lanjut Ustadz Muchsin.

"Tidak, Ustadz."

Setelah tidak ada yang bertanya, ustadz Muchsin menutupnya dengan salam.

***

Uh, untuk hari ini aku merasa puas. Pertanyaan dalam hati sudah terjawab. Tidak ada lagi keraguan untuk aku ikut menunaikan ibadah haji bersama orang tuaku. Dan di malam hari kira-kira pukul setengah sembilan, aku menemukan ayah dan ibu sedang ada di ruang keluarga. Mereka membicarkan mengenai keberangkatan haji dengan serius.

"Bagaimana ayah, aku bisa untuk ikut naik haji?"

"Akbar, sebelumnya ayah dan ibu meminta maaf karena tabungan ayah tidak cukup untuk ongkos kamu naik haji." Ucap ayah seperti menyesal.

"Iya, Nak. Ibu juga minta maaf, mungkin untuk tahun ini biar ayah dan ibu yang berangkat duluan. Kamu kan masih kecil, masih banyak waktu untuk kamu melaksanakan keinginanmu naik haji." Ucap ibu sambil memelukku.

"Iya. Nanti setelah ayah pulang dari Mekah, ayah akan mulai menabung lagi untuk kamu nanti naik haji. Insya Allah, kamu akan mencapai cita-cita kamu."

"Aamiin." Ucap ibu diikuti aku.

"Ayah, Ibu, Akbar bahagia memiliki orang tua seperti kalian. Akbar bangga. Akbar juga akan terus berdoa agar bisa menunaikan ibadah haji. Mulai sekarang Akbar akan lebih rajin lagi untuk menabung." Ujarku dengan membuang kekecewaan.

"Kami juga bangga mempunyai anak seperti kamu." Ucap ayah sambil memeluk aku dan ibu.

Sebentar lagi ayah dan ibu akan meninggalkanku. Aku akan tinggal bersama nenek yang datang dari Bandung. Orang tua dari ayah berasal dari kota kembang, Bandung. Ayah dan ibu akan mengunjungi ka'bah. Berangkat ke Mekah untuk melengkapi ibadah rukun islam yang terakhir. Meskipun aku sedikit kecewa karena tidak bisa ikut sekarang menunaikan ibadah haji, tetapi aku bahagi dengan keadaan keluargaku saat ini. Aku pun lepas dengan panggilan Pak Haji dari teman-teman. Aku berdoa, beberapa tahun kemudian aku akan menjadi Pak Haji sungguhan. Amin.

Muslim Sejati

Pohon-pohon telah tumbuh besar. Dedaunannya telah mulai berguguran. Suasana hatiku mulai merengkuh hari dengan doa-doa yang tertuju pada Allah. Aku sudah dua minggu ditinggal ayah dan ibu. Mereka pergi untuk menemui rumah Allah di Mekah. 

Aku sekarang tinggal bersama nenek. Tetapi yang tinggal di rumahku bukan hanya kami berdua. Ada seorang perempuan muda yang bernama Ranti yang dibawa nenek ke Sukabumi. Dia adalah saudara sepupu yang tinggal di Bandung. Nenek pun tidak berani tinggal berdua di rumahku, makanya mengajak Ranti untuk ikut dan mengurusi semua pekerjaan rumah.

Seperti biasanya, pukul dua siang aku berangkat ke pesantren bersama teman-teman. Teman-temanku kadang menginap di rumahku. Kadang aku yang menginap di rumah mereka. Tetapi hanya teman laki-laki yaitu Rahmat dan Yaser. Kami bertiga menjadi akrab setelah kami bersama-sama mengaji di pesantren. Senda gurau yang penuh kenangan tidak membuat aku kesepian ditinggal orang tua.

"Akbar, nanti aku menginap di rumahmu lagi ya?" ucap Yaser.

"Aku juga." lanjut Rahmat.

"Ya, sudah. Aku senang kalian mau menemaniku di rumah. Meskipun ada nenek dan Kak Ranti tetapi aku sering merasa kesepian."

"Memangnya kamu tidak dekat dengan mereka?" tanya Nisa.

"Aku dekat dengan mereka. Maksud aku, aku tidak ada teman bermain. Aku sering bercerita dan bercanda tetapi tetap saja suasana hati merasa kesepian."

"Oh, itu karena kamu sudah terbiasa dengan orang tuamu. Sekarang kan suasananya berbeda di rumahmu." kata Nurma.

"Mungkin." Lanjutku.

Tidak terasa kita sudah sampai di pesantren. Aku mendapatkan ustadz Muchsin begitu ceria. Ustadz tersenyum lebar ketika melihatku. Aku dan teman-teman heran dengan keadaan ustadz Muchsin saat ini.

"Akbar, ada apa dengan ustadz Muchsin hari ini?" bisik Rahmat sambil menyikutku.

"Tidak tahu. Mungkin saja mendapat kebahagiaan yang berlimpah di hari ini." Jawabku.

Setelah memberi salam dan mencium tangan Ustadz Muchsin kami langsung duduk dengan rapi. Pengajian dimulai dengan membaca doa belajar. Meskipun ayah dan ibu tidak ada, tetapi aku berusaha tidak melakukan kesalahan untuk aktivitasku setiap hari. Aku melaksanakannya seperti biasa dan tidak pernah absen. Untuk saat ini Ustadz Muchsin menerangkan tentang Idul Adha atau disebut juga lebaran haji yang sebentar lagi akan segera diperingati oleh umat islam di seluruh dunia.

Oleh sebab itu, ayah dan ibu berangkat ke Mekah bersama umat islam yang lainnya untuk menunaikan ibadah haji agar merasakan berlebaran haji di tanah suci. Aku merindukan ayah dan ibu.

"Nah, kalian pasti sudah mengetahui sejarah adanya Idul Qurban atau lebaran haji? Mengenai cerita nabi Ismail dan ayahnya yaitu nabi Ibrahim, siapa yang bisa menjelaskannya?" tanya ustadz Muchsin.

"Aku." Sahutku sambil menunjuk tangan ke atas.

"Ya, Akbar. Coba ceritakan!"

Aku menjelaskan panjang lebar bahwa sejarah Idul Qurban adalah ketika nabi Ismail yang akan disembelih oleh ayahnya yaitu nabi Ibrahim. Karena nabi Ibrahim bermimpi mendapat perintah dari Allah agar menyembelih anaknya. Nabi Ismail adalah anak yang shaleh sehingga menyanggupi apa yang telah diceritakan ayahnya karena beliau tahu kalau semua itu adalah perintah Allah yang tidak boleh dilanggar. Sebelum nabi Ismail disembelih, Allah menggantinya dengan hewan sebangsa domba.

"Bagus, Akbar. Kalian mau menjadi seperti Nabi Ismail? Anak shaleh akan selalu disayang oleh Allah dan semua orang. Kalian harus menuruti perintah Allah, jangan sampai meninggalkannya."

"Mau Ustadz." Jawab aku dan teman-teman semua.

Diakhiri dengan salam, kami pun dibubarkan.

"Akbar, aku titip salam buat Kak Ranti." Ucap Ustadz Muchsin.

Sekarang aku baru mengerti mengapa Ustadz Muchsin begitu sangat bahagia hari ini. Aku pun menyampaikan salam pada Kak Ranti.

***

Setelah pulang dari pengajian untuk jam malam, Rahmat dan Yaser langsung menuju rumahku. Mereka akan menginap di rumahku. Mereka sudah minta izin kepada orang tua masing-masing. Kami bertiga belajar bersama, saling cerita dan bersenda gurau. Sebelum tidur, kami menemui nenekku agar mau bercerita atau mendongeng tentang masa lalu. Nenekku pun sudah menjadi hajjah sehingga aku pun meminta nenek menceritakan di saat nenek pergi ke tanah suci.

Aku menjadi antusias untuk ingin cepat-cepat pergi ke Mekah setelah mendengar cerita dari nenek. Untuk menunaikan ibadah haji, aku harus menyiapkan segalanya sebelum waktunya tiba. Aku dan kedua temanku segera menuju kamar tidur untuk sekadar membaringkan tubuh. Yaser memimpin doa sebelum tidur.

"Yaser, nanti jangan lupa bangun pukul dua." Ucapku mengingatkannya.

"Iya, aku sudah pasang alarm agar tidak telat."

Pukul dua malam kami bertiga terbangun dari tidur. Kami melaksanakan shalat malam untuk menemui Allah dan memohon doa kepada-Nya. Aku pun tidak lupa untuk mendoakan ayah dan ibu agar selamat sampai di rumah ini menjadi haji yang mabrur. Tidak terasa butiran air berlinang di pelupuk mataku. Begitu pun dengan Rahmat dan Yaser. Mereka begitu khusyu berdoa kepada Allah.

Ayam sudah mulai berkokok. Jam dinding sudah menunjukkan pukul lima. Aku melaksanakan lari pagi bersama teman-teman mengintai jalan di waktu pagi. Aku  mengajak Nisa dan Nurma untuk ikut bersama kami. Kami berlima sudah seperti keluarga. Kekokohan cinta kami sudah terbangun sehingga satu orang ada yang sakit maka yang lainnya juga akan merasakannya.

***

Satu bulan telah berlalu, aku menunggu saat-saat kebahagiaan tiba ketika mendengar ayah dan ibu akan segera pulang. Tetapi aku tidak mau larut dalam angan-angan, maka aku melaksanakan aktivitas seperti biasa. Ditambah lagi Ustadz Muchsin sering mengantarku pulang. Aku tahu niat Ustadz Muchsin hanya untuk menemui Kak Ranti. Aku menyetujui hubungan Ustadz Muchsin dengan kak Ranti. Kak Ranti meskipun hidup di Bandung dengan dunia gemerlap tetapi dia tidak pernah tergoda. Dia adalah perempuan cantik yang selalu mengenakan jilbab.

Untuk pertama kali mengenal Ustadz Muchsin, aku sudah menganggap seperti kakakku sendiri. Aku mendapatkan pelajaran tambahan dari Ustadz Muchsin karena sekarang aku sering berdua dengan ustadz. Kami tidak akan mengganggu waktu mengaji dan insya Allah tidak akan melanggar aturan-aturan Islam.

"Ustadz, Ustadz benar-benar mencintai Kak Ranti?" tanyaku.

"Insya Allah. Kamu ragu?"

"Bukan begitu Ustadz. Itu berarti Ustadz harus segera menikahi Kak Ranti. Ustadz pernah bilang kalau pacaran tidak baik lebih baik langsung menikah saja." Ujarku sambil tertawa.

"Insya Allah, dalam waktu dekat ini aku akan melamar Kak Ranti."

Ucap syukur tiada terkira. Kebahagiaan keluargaku bertambah lagi. Sebentar lagi Ustadz Muchsin akan menjadi bagian keluarga besarku. Lamaran akan dilaksanakan setelah ayah dan ibu kembali. 

Beberapa lama kemudian, ayah dan ibu kembali ke tanah air tepatnya di rumah. Ayah dan ibu banyak membawakan oleh-oleh untukku. Salah satunya adalah oleh-oleh cerita mengenai keadaan di kota suci. Alangkah bahagianya ayah dan ibu bisa menjadi muslim sejati. Sudah melaksanakan semua rukun islam.

Aku pun semakin semangat untuk segera mengunjungi rumah Allah. Sudah lengkaplah kebahagiaanku dan sekeluarga. Setelah aku dan orang tuaku berkumpul kembali, ustadz Muchsin akan menikah dengan kak Ranti. Tetapi kebahagiaanku tidak ingin aku rasakan sendiri. Aku, Rahmat, Yaser, Nissa, dan Nurma, berbagi kebahagiaan dan ingin menjadi muslim sejati. Aamiin.

--- Selesai---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun