Mohon tunggu...
Delisa Indah sari
Delisa Indah sari Mohon Tunggu... Mahasiswa

Main bola voli

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Langit Jingga di Ujung Jalan

7 Juli 2025   14:33 Diperbarui: 7 Juli 2025   14:33 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Input/Foto : Langit Jingga (Sumber:/Kredit Google)

Langit sore menjingga ketika Dara melangkah perlahan menyusuri jalan sempit yang dulu selalu ia lewati setiap pulang sekolah. Sepeda tua di tangan kanannya berderit pelan, sementara angin meniup rambutnya yang kini telah diikat sederhana. Sudah sepuluh tahun ia tak menjejak tanah ini---desa kecil tempat ia tumbuh bersama suara jangkrik dan aroma tanah basah.

Rumah-rumah kayu masih berdiri dengan cat yang mulai pudar. Beberapa wajah tua yang dikenalnya dahulu menyapa dengan senyum ramah, meski nama mereka kini sulit ia ingat. Hanya satu hal yang ia cari sore itu: rumah kayu dengan jendela biru di ujung jalan. Tempat kenangannya terkubur rapi bersama seseorang yang dulu ia sebut sahabat sejati---Rega.

Dulu, setiap sore mereka akan duduk di bangku kayu depan rumah Rega, membicarakan impian dan rencana besar, meski keduanya baru berusia dua belas. Rega ingin menjadi pelukis, dan Dara ingin menulis buku tentang petualangan mereka. Tapi kehidupan punya caranya sendiri membelokkan jalan.

Saat Dara pindah ke kota untuk sekolah, surat-surat dari Rega datang setiap bulan. Lalu perlahan berhenti. Dara sibuk dengan ujian dan kesibukan remaja kota. Hingga suatu hari, kabar buruk itu datang. Rega jatuh sakit dan tak lama kemudian meninggal dunia.

Dara tak sempat datang ke pemakamannya. Ia terlalu takut, terlalu sedih, terlalu... merasa bersalah.

Kini, berdiri di depan rumah jendela biru itu, Dara merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Rumah itu kosong. Catnya terkelupas, tanaman merambat menutupi dinding, dan bangku kayu itu masih ada---meski lapuk.

Ia duduk perlahan. Udara sore mulai dingin. Matanya menyapu pemandangan yang dulu selalu ia lihat bersama Rega. Langit jingga yang sama, tapi terasa berbeda.

Tiba-tiba, sesuatu berkilau di bawah bangku. Dara membungkuk, menarik sebuah kotak kayu kecil. Di dalamnya, terdapat buku catatan lusuh dengan tulisan tangan yang sangat dikenalnya: milik Rega.

Dengan jari bergetar, Dara membuka halaman pertama:

"Kalau kamu membaca ini, berarti kamu pulang. Terima kasih sudah kembali. Aku tidak pernah menyalahkanmu karena pergi. Aku tahu suatu hari kamu akan kembali menulis. Dan ketika kamu menulis, ceritakan juga tentang kita. Tentang sore di bangku ini, dan langit jingga yang tidak pernah berubah."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun