Langit sore menjingga ketika Dara melangkah perlahan menyusuri jalan sempit yang dulu selalu ia lewati setiap pulang sekolah. Sepeda tua di tangan kanannya berderit pelan, sementara angin meniup rambutnya yang kini telah diikat sederhana. Sudah sepuluh tahun ia tak menjejak tanah ini---desa kecil tempat ia tumbuh bersama suara jangkrik dan aroma tanah basah.
Rumah-rumah kayu masih berdiri dengan cat yang mulai pudar. Beberapa wajah tua yang dikenalnya dahulu menyapa dengan senyum ramah, meski nama mereka kini sulit ia ingat. Hanya satu hal yang ia cari sore itu: rumah kayu dengan jendela biru di ujung jalan. Tempat kenangannya terkubur rapi bersama seseorang yang dulu ia sebut sahabat sejati---Rega.
Dulu, setiap sore mereka akan duduk di bangku kayu depan rumah Rega, membicarakan impian dan rencana besar, meski keduanya baru berusia dua belas. Rega ingin menjadi pelukis, dan Dara ingin menulis buku tentang petualangan mereka. Tapi kehidupan punya caranya sendiri membelokkan jalan.
Saat Dara pindah ke kota untuk sekolah, surat-surat dari Rega datang setiap bulan. Lalu perlahan berhenti. Dara sibuk dengan ujian dan kesibukan remaja kota. Hingga suatu hari, kabar buruk itu datang. Rega jatuh sakit dan tak lama kemudian meninggal dunia.
Dara tak sempat datang ke pemakamannya. Ia terlalu takut, terlalu sedih, terlalu... merasa bersalah.
Kini, berdiri di depan rumah jendela biru itu, Dara merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Rumah itu kosong. Catnya terkelupas, tanaman merambat menutupi dinding, dan bangku kayu itu masih ada---meski lapuk.
Ia duduk perlahan. Udara sore mulai dingin. Matanya menyapu pemandangan yang dulu selalu ia lihat bersama Rega. Langit jingga yang sama, tapi terasa berbeda.
Tiba-tiba, sesuatu berkilau di bawah bangku. Dara membungkuk, menarik sebuah kotak kayu kecil. Di dalamnya, terdapat buku catatan lusuh dengan tulisan tangan yang sangat dikenalnya: milik Rega.
Dengan jari bergetar, Dara membuka halaman pertama:
"Kalau kamu membaca ini, berarti kamu pulang. Terima kasih sudah kembali. Aku tidak pernah menyalahkanmu karena pergi. Aku tahu suatu hari kamu akan kembali menulis. Dan ketika kamu menulis, ceritakan juga tentang kita. Tentang sore di bangku ini, dan langit jingga yang tidak pernah berubah."
Dara menahan air matanya. Di halaman berikutnya ada puluhan gambar---sketsa dirinya, sepeda mereka, langit sore, dan bangku itu. Gambar yang tak pernah sempat dikirimkan.
Sore itu, Dara duduk lebih lama. Membuka setiap halaman, mengenang setiap cerita. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tidak lagi merasa bersalah. Ia merasa damai.
Malam mulai turun. Dara berdiri, menggenggam buku itu erat. Ia tahu, sepulang dari sini, ia akan menulis. Bukan hanya untuk Rega, tapi untuk semua kenangan yang sempat terlupakan.
Karena ternyata, beberapa kenangan memang tak harus dihindari. Mereka hanya menunggu waktu untuk dikenang kembali---di bawah langit jingga, di ujung jalan kecil yang penuh cerita.
Kesimpulan:
Cerpen ini mengajak pembaca merenung tentang pentingnya mengenang masa lalu dan berdamai dengan kehilangan. Kenangan, meski pahit, bisa menjadi jembatan menuju kedamaian jika kita berani menatapnya kembali.