Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Semarak Pameran Kolonial di Bondowoso Tahun 1898

14 Agustus 2022   20:35 Diperbarui: 7 Oktober 2022   20:20 2738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kios teh Soember Sari. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries

Pada tahun 1898, diselenggarakan Koloniale Tentoonstelling, pameran kolonial, di Bondowoso. Pada masa abad ke-19, Bondowoso merupakan bagian dari Karesidenan Besoeki. 

Di wilayah ini sudah berkembang pesat perkebunan kopi, karet, kakao dan tanaman komersial lainnya. Sebagai kota yang didesain untuk aktivitas berbasis perkebunan dan pertanian, posisi Bondowoso sangat strategis, sebelum mulai ramainya perkebunan di kawasan Jember. 

Pameran kolonial merupakan tradisi yang dibuat di kawasan Hindia Belanda yang mengadopsi Pemeran Raya (Great Exhibition) di Inggris tahun 1851 yang cukup terkenal.

Dalam pameran berskala dunia tersebut, selain bermacam anjungan yang menunjukkan keberhasilan pengetahuan, teknologi, dan usaha ekonomi, juga ditampilkan capaian-capaian di negara jajahan. 

Sebelum pameran di Bondowoso, di Batavia sudah terlebih dahulu dilakukan pameran, tetapi difokuskan pada bidang pengetahuan dan teknologi. 

Menurut Rizkinta (2022), pada tahun 1853, sekelompok orang yang berasal dari Eropa mengusulkan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk menyelenggarakan Nijverheidstentoonstelling (pameran industri). 

Pemerintah pun menyetujuinya. Promosi pameran ini berlangsung secara massif di kota-kota besar, seperti Semarang, Surabaya, Surakarta, Makasar, dan yang lain. 

Pameran di Eropa ataupun di negeri jajahan dianggap sebagai cara beradab negara-negara untuk besar untuk berkompetisi, tidak lagi menggunakan peperangan yang menghancurkan dan menimbulkan banyak kematian. 

Dari kacamata pemerintah kolonial, penyelenggaraan pameran industri di Batavia merupakan usaha untuk menyebarluaskan gagasan kemakmuran dengan mendorong bermacam industri berbasis teknologi di banyak wilayah.  

Bisa jadi karena potensi Karesidenan Besoeki adalah perkebunan, pertanian, dan kelautan, maka pameran di Bondowoso tidak dilabeli industri. Meskipun demikian, pada pameran yang diselenggarakan di Alun-alun Bondowoso tersebut, terdapat bermacam anjungan dan atraksi. 

Dari sumber foto-foto yang tersedia di Digital Collection Leiden University Libraries, kita bisa menjumpai anjungan dari wilayah-wilayah yang termasuk Karesidenan Besoeki, seperti Bondowoso, Panaroekan (Panarukan) dan Banjoewangi (Banyuwangi). 

Selain itu, terdapat juga anjungan (paviliun) perkebunan dan perusahaan di Jawa Timur dan miniatur rumah adat serta lomba karapan sapi, balapan kerbau, permainan rakyat, dan yang lain. 

MENILIK PINTU GERBANG ANJUNGAN

Bagian gapura atau pintu gerbang masuk ke lokasi pameran dan setiap anjungan menjadi penanda artistik yang menunjukkan keseriusan dalam pengerjaan. 

Artinya, tidak sekedar membuat pintu gerbang, para kreatornya juga berusaha menghadirkan ciri khas masing-masing wilayah, perkebunan, ataupun perusahaan yang berpartisipasi. Ini menegaskan bahwa tampilan muka benar-benar harus diperhatikan.

Pintu gerbang pameran. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries
Pintu gerbang pameran. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries

Pintu gerbang utama Pameran Kolonial di Bondowoso memang tampak sederhana. Namun, kita bisa menangkap kesan gagah dan kokoh. Bentuk tersebut menghadirkan makna kekuatan Bondowoso sebagai salah satu pusat pemerintahan Karesidenan Besoeki. 

Bendera dan panji pemerintah juga dipasang di gapura menegaskan posisi penting Bondowoso dalam tata kelola pemerintahan kolonial yang membawahi banyak kawasan perkebunan dan pertanian.

Pintu gerbang berukir. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries
Pintu gerbang berukir. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries

Mari perhatikan pintu gerbang pameran yang diukir dengan sangat indah di atas. Kita memang tidak tahu siapa dan dari mana tukang ukir yang membuat pintu gerbang tersebut. Tidak ada informasi dari pemerintah atau instansi mana pintu gerbang tersebut. Namun, dari rumitnya ukiran tersebut, bisa dipastikan yang mengerjakan adalah tukang ukir atau kriyawan yang mumpuni. 

Penggunaan ucapan "slametnja sekalian dajoh" menandakan bahwa penguasa Belanda memosisikan bahasa Jawa sebagai bahasa umum di tengah-tengah masyarakat. Meskipun banyak warga Bondowoso berasal dari Madura, pilihan bahasa tersebut tentu tidak lepas dari penghormatan terhadap para ningrat Jawa yang mendapatkan posisi strategis di pemerintahan atau menjadi pejabat birokrasi kolonial (amtenar) di Karesidenan Besoeki. 

Kalau diperhatikan lebih jauh lagi, "selamatnya semua tamu," merupakan doa kebaikan untuk kesalamatan orang-orang yang kita sapa. Bisa jadi, pilihan bahasa Jawa dan doa kebaikan ini merupakan strategi kultural penyelenggara agar bisa menjadikan para pengunjung merasa familiar dan nyaman. 

Pintu gerbang Afdeeling Panaroekan. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries
Pintu gerbang Afdeeling Panaroekan. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries

Pemerintah Afdeeling Panaroekan membuat pintu gerbang yang kokoh menggambarkan gapura untuk masuk ke kawasan pelabuhan. Ini tentu tidak bisa dipisahkan dari aspek historis di mana Panaroekan memiliki pelabuhan komersial yang sudah beroperasi lama. 

Menurut catatan Aprianto (2019), setidaknya sejak zaman Majapahit (1300-an), Pelabuhan Panaroekan sudah tumbuh menjadi penghubung antara wilayah pedalaman Jawa bagian timur dengan Madura, serta wilayah-wilayah lain. Banyak pelaut dari pulau-pulau dan negara lain berusaha mendapatkan rezeki ekonomi dari aktivitas pelabuhan Panaroekan. 

Pada abad ke-16, Pelabuhan Panaroekan sudah ramai dikunjungi para pelaut internasional. Pembukaan kawasan perkebunan di Bondowoso, Situbondo, dan Jember menjadikan pelabuhan Panaroekan semakin ramai, khususnya untuk aktivitas menyimban, menimbun, dan memberangkatkan hasil panen tanaman komersial seperti kopi, kakao, karet, dan tembakau ke pasar Eropa. 

Tidak mengherankan kalau sejak di pintu gerbang atau gapura buatan, pemerintah Afedeling Panaroekan ingin menampakkan kehebatan pelabuhannnya di mata pemerintah afdeling lain serta para pengunjung pameran. Bagaimanapun roda ekonomi pemerintah kolonial di Hindia-Belanda dan dampak kesejahteraan bagi warga Belanda di seberang lautan, tidak bisa dipisahkan dari keberadaan pelabuhan Panaroekan. 

Belum lagi kalau dikaitkan dengan proyek Jalan Anyer-Panaroekan di masa pemerintahan Gubernur Jendral Daendels (1808-1811). Maka, semakin penting posisi kawasan Panaroekan dalam mekanisme kekuasaan kolonial, khususnya terkait persoalan ekonomi berbasis perkebunan dan maritim yang menjadi kekuatan pemerintah Hindia-Belanda.

Pintu gerbang Afdeeling Banjoewangi. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries
Pintu gerbang Afdeeling Banjoewangi. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries

Sementara, ajungan yang dibuat oleh pemerintah Afdeling Banjoewangi lebih sederhana. Hanya saja, di bagian atas pintu gerbang tampak dekorasi yang seperti menandakan sinar matahari. Bisa jadi itu menggambarkan posisi Banjoewangi sebagai kawasan di ujung timur Jawa, di mana matahari muncul untuk pertama kali di Pulau Jawa.

ANJUNGAN PERUSAHAAN ATAU PERKEBUNAN

Kepentingan untuk menunjukkan keberhasilan usaha-usaha pemerintah dan pengusaha swasta Eropa dalam mengelola wilayah dan potensinya masing-masing, bisa jadi menjadi alasan hadirnya anjungan perusahaan perkebunan dan perusahaan komersial lainnya di Pameran Bondowoso. 

Sebagaimana kita ketahui, penerapan ekonomi politik liberal oleh pemerintah Hindia Belanda mendorong banyaknya investasi yang dilakukan para pemodal swasta di sektor perkebunan dan pertanian. Tingginya permintaan internasional terhadap produk-produk perkebunan seperti teh, kopi, kakao, dan karet mendorong para pengusaha swasta Eropa untuk mendapatkan keuntungan dari wilayah Hindia Belanda, termasuk Jawa Timur.

Maka, mengikuti Pameran Bondowoso 1898 merupakan salah satu cara untuk menunjukkan ke publik luas tentang keberhasilan para pengusaha tersebut, selain memperluas pasar untuk produk-produk mereka. Pada masing-masing anjungan, kita bisa melihat produk-produk unggulan yang dipajang. 

Selain untuk menunjukkan keberhasilan dari usaha komersial yang dijalani keberadaan produk tersebut juga menjadi penanda kekhususan usaha perusahaan atau perkebunan. Tentu, tujuan yang tidak kalah penting adalah menawarkan produk-produk tersebut kepada para pengunjung pameran. 

Anjungan hasil pertanian dan perkebunan buah. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries
Anjungan hasil pertanian dan perkebunan buah. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries

Foto di atas adalah sebuah ajungan yang memamerkan hasil-hasil pertanian dan perkebunan buah. Meskipun tidak ada keterangan terkait nama perusahannya, tatanan buah dan hasil pertanian disiapkan dengan baik dan rapi. Adanya ruang untuk pengunjung berlalu-lalang diharapkan bisa memberikan mereka rasa nyaman. 

Kehadiran anjungan ini menjadi penanda bahwa tanah Hindia Belanda, memiliki kesuburan yang memungkinkan untuk membudidayakan tanaman pertanian dan perkebunan dengan baik serta bisa memberikan keuntungan kepada para pengusaha kolonial dan pemerintah kerajaan Belanda.

Anjungan Perkebunan Swaroe Boeloerotto Blitar. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries
Anjungan Perkebunan Swaroe Boeloerotto Blitar. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries
Tanaman perkebunan lain yang laku keras di pasar internasional adalah teh. Di Jawa Timur, salah satu perkebunan teh yang cukup terkenal di era itu adalah Swaroe Boeloerotto, Blitar. Adapun varietas teh yang ditanam adalah "assam" yang ditemukan oleh R. Bruce pada tahun 1823 dan tidak lama setelah itu mulai masuk ke Indonesia. 

Di pameran Bondowoso, perusahaan perkebunan teh tersebut membuat anjungan untuk memamerkan produk-produk olahan dari teh yang dipanen di kawasan Blitar. Selain mengabarkan kepada pemerintah kolonial dan warga masyarakat tentang keberhasilan perkebunan teh Swaroe Boeloerotto, juga untuk menjual produk-produk olahan tersebut kepada para pengunjung.  

Kios teh Soember Sari. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries
Kios teh Soember Sari. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries

Anjungan lain yang memamerkan produk teh adalah Soember Sari. Karena ketiadaan informasi yang memadai, saya tidak tahu dari mana perusahaan teh Soember Sari berasal. Dari lacakan di Google, saya hanya menemukan nama perkebunan teh Sumber Sari Bumi Pakuan (SSBP) di kawasan Cisarua, Puncak.

Apakah perkebunan SSBP adalah kelanjutan dari perkebunan Soember Sari yang ikut berpameran di Bondowoso pada tahun 1898, belum ada informasi lebih lanjut. 

Kehadiran dua perusahaan yang bergerak dalam perkebunan teh di pameran Bondowoso secara gamblang menandakan betapa populernya tradisi minum kopi di masyarakat Hindia Belanda. Selain itu, komoditas teh juga sangat laku di pasar internasional, sehingga dengan mengikuti pameran diharapkan semakin banyak investor yang tertarik untuk membuka perkebunan teh. Tidak hanya di kawasan Jawa Barat, tetapi juga di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Anjungan Maurice Wolf. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries
Anjungan Maurice Wolf. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries

Tidak hanya perusahaan yang bergerak di bidang pertanian dan perkebunan yang berpartisipasi dalam Pameran Kolonial di Bondowoso. Perusahaan importir perhiasan yang cukup terkenal dari Surabaya, Maurice Wolf, ikut membuat anjungan untuk memamerkan perhiasan yang diimpor dari Eropa. 

Ajang pameran menjadi kesempatan bagus bagi Maurice Wolf untuk mempromosikan perhiasan yang mereka impor kepada kalangan elit kolonial, penguasaha Eropa dan keluarga, dan kalangan ningrat pribumi. Merekalah yang punya banyak uang tentu diharapkan tertarik untuk membeli perhiasan-perhiasan berkelas. 

Memiliki perhiasan mewah dari Eropa bisa meningkatkan derajat sosial para pemiliknya. Hanya orang-orang kaya yang bisa membeli, memiliki, dan mengenakan perhiasan berupa kalung, cincin, anting, ataupun arloji dari Swiss. 

Kepemilikan tersebut sekaligus menjadi tanda pembeda mereka dengan warga elit lain di tanah jajahan. Meskipun sama-sama berasal dari keluarga Eropa, mewahnya perhiasan yang dipakai bisa membedakan derajat dan citra diri mereka dibandingkan warga elit lainnya. 

Food court J.W. Hellendoorn. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries
Food court J.W. Hellendoorn. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries

Pengusaha restoran mewah yang biasa dikunjungi kalangan elit tidak ketinggalan untuk berpartisipasi dalam pameran di Bondowoso. J.W. Hellendoorn merupaka restoran berkelas di Surabaya yang ikut mempromosikan keunikan dan keistimewaan kuliner mereka. Bisa diasumsikan J.W. Hellendoorn ingin menyasar elit-elit perkebunan, pelabuan, kaum ningrat, dan birokrat kolonial. Mereka yang ada urusan ke Surabaya diharapkan akan teringat restoran mewah tersebut dan, pada akhirnya, akan mampir untuk makan. 

Jelas sekali, kehadiran restoran J.W. Hellendoorn merupakan bukti bahwa dalam hal makanan dan minuman kita bisa menemukan pengerasan perbedaan sosial antarmanusia. Mereka yang berasal dari kelas atas sudah sepatutnya bisa menyantap dan menikamti makanan mewah dan berkelas. Itu akan membedakan mereka dengan kelompok-kelompok elit lainnya. 

Selera terhadap makanan merupakan penanda kultural bahwa ada perbedaan orientasi dan kegemaran kuliner antara kelompok elit dengan kelompok manusia biasa atau dalam rangka pembauran.

RAMAINYA PENGUNJUNG DAN MERIAHNYA BUDAYA LOKAL 

Karena pertama kali diselenggarakan di Bondowoso, warga pun berbondong-bondong menuju kawasan pameran. Rasa penasaran dan ingin tahu tentang apa-apa yang dipamerkan dan disuguhkan di Alun-alun Bondowoso mendorong warga masyarakat rela berdesak-desakan. Pameran menjadi medium yang menjadikan warga masyarakat mengetahui perkembangan usaha-usaha kolonial. 

Ramaianya pengunjung pameran. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries
Ramaianya pengunjung pameran. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries

Banyak pengunjung yang datang berjalan kaki menuju tempat pelaksanaan pameran. Namun, banyak pula yang naik kuda, khususnya mereka yang secara ekonomi mampu. Kuda-kuda pun ditempatkan di pinggir jalan karena tidak diperkenankan di bawah masuk ke lokasi pameran. 

Mayoritas pengunjung pribumi mengenakan pakaian adat yang berbeda dengan warga Eropa. Meskipun sama-sama pribumi, pengunjung yang berasal dari kalangan ningrat memiliki pakaian yang lebih bagus dibandingkan dengan warga biasa. Pakaian pengunjung, dengan demikian, menjadi penanda dan pembeda status sosial dan kebangsaan para pengunjung. 

Pengunjung yang berjalan kaki dan membawa kuda. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries
Pengunjung yang berjalan kaki dan membawa kuda. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries

Apa yang tidak bisa dipungkiri bisa membuat pameran semakin meriah adalah kehadiran bermacam atraksi budaya lokal. Banyaknya pengunjung yang datang ke Alun alun Bondowoso, perlu diberikan suguhan yang unik dan membuat mereka betah. Itu semua bisa didapatkan dari menyaksikan menyaksikan karapan sapi, balapan kerbau, dan atraksi akrobatik. 

Sapi merupakan binatang ternak yang sangat populer bagi warga Madura. Bukan hanya untuk dijual, tetapi juga untuk dikutsertakan dalam karapan sapi, tradisi aduan kecepatan sapi yang berasal dari Pulau Madura. Dari foto yang tersedia, karapan juga dilangsungkan. Dari foto di atas, kita bisa melihat joki karapan sapi sedang istirahat atau menunggu giliran untuk balapan. 

Sapi-sapi menunggu giliran lomba atau mungkin sedang istirahat bersama joki. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries
Sapi-sapi menunggu giliran lomba atau mungkin sedang istirahat bersama joki. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries

Tidak hanya karapan sapi, di pameran juga diselenggarakan aduan atau balapan kerbau. Arena tempat balapan pun dibuat berlumpur dan berair, sesuai dengan kegemaran kerbau. Tradisi yang berasal dari kebiasaan membajak sawah dengan tenaga kerbau ini sudah tidak ada lagi di kawasan Bondowoso. Begitu pula karapan sapi. 

Balapan kerbau. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries
Balapan kerbau. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries

Panitia pameran rupa-rupanya memikili kesadaran kultural terkait masyarakat Madura di kawasan Bondowoso dan karesidenan Besoeki. Karapan sapi merupakan tradisi populer yang digemari masyarakat. Pilihan untuk menggelarnya dalam pameran tentu mengundang antusiasme masyarakat sehingga mereka berkenan hadir. 

Bagi para pemilik sapi, ketika sapi mereka menjadi pemenang balapan, akan ada keuntungan ekonomis dan sosial. Secara ekonomis, harga jual sapi mereka menjadi tinggi karena diperebutkan oleh banyak pembeli. Secara sosial, mereka akan mendapatkan pujian yang bisa meninggikan derajat sosial mereka di tengah-tengah masyarakat.

Adu cambuk yang berasal dari ritual Ojung. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries
Adu cambuk yang berasal dari ritual Ojung. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries

Tidak hanya karapan sapi dan balapan kerbau, panitia pameran juga menghadirkan pertunjukan adu cambuk yang biasanya dilakukan dalam ritual Ojung, ritual masyarakat di kawasan karesidenan Besoeki dan sekitarnya untuk memohon hujan kepada Tuhan. Cambuk pendek yang digunakan biasanya berasal dari rotan. 

Dalam ritual, biasanya ada yang sampai berdarah terkena cambukan. Bagi penggiat anti kekerasan, tradisi ini bisa dijadi dianggap memamerkan dan melestarian nilai dan praktik kekerasan yang berbahaya bagi anak-anak dan masyarakat. 

Namun, bagi masyarakat yang meyakininya, darah dan luka yang dikarenakan cambuk adalah sesuatu yang sakral karena menunjukkan pengorbanan manusia agar Tuhan menurunkan hujan di tengah kemarau panjang.

Pengunjung berjubel menonton adu cambuk. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries
Pengunjung berjubel menonton adu cambuk. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries

Dihadirkannya ritual Ojung dalam pameran bisa dibaca sebagai usaha panitia untuk menarik kehadiran pengunjung. Ini juga memberikan informasi bahwa sejak zaman kolonial bukanlah hal yang aneh menghadirkan tradisi sakral yang tidak masuk akal dalam nalar modern ke dalam even-even besar yang menguntungkan pemerintah dan pengusaha Eropa. 

Selain adu cambuk, panitia juga menggelar atraksi akrobatik yang dilakukan oleh warga Tionghoa. Dalam keterangan foto dikatakan seorang Tionghoa fakir yang memaikan adegan tersebut. Saya tidak tahu persis apa yang dilakukan si aktor. 

Seorang Tionghoa memainkan akrobat. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries
Seorang Tionghoa memainkan akrobat. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries

Namun, dari keterangan foto kita bisa mengetahui bahwa untuk bisa survive di tengah-tengah praktik kolonial, warga Tionghoa miskin bisa melakukan aktivitas yang mungkin oleh nalar umum dianggap berbahaya. 

Tentu saja, kita juga bisa membacanya dengan perspektif kreativitas. Bahwa warga Tionghoa memiliki kemampuan kreatif yang berasal dari latihan dengan disiplin tinggi. Tidak mengherankan, mereka bisa melakukan banyak hal, bahkan yang dianggap berbahaya. Kemampuan kreatif itulah yang membuat mereka bisa bertahan di negeri asing. 

Hiburan berupa kesenian tradisional tidak ketinggalan dihadirkan. Adalah kesenian gandrung Banjoewangi yang meramaikan suasana pameran. Para penari lincah dan musik rancak cukup menyuguhkan hiburan bagi pengunjung. Apa yang tidak saya dapatkan informasi adalah jenis kelamin para penarinya. 

Pertunjukan gandrung. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries
Pertunjukan gandrung. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries

Menurut informasi para budawayan Banyuwangi, gandrung di era kolonial dimainkan oleh penari laki-laki yang mengenakan kostum perempuan. Namun, kemudian lambat laun berubah menjadi penari laki-laki. Apakah penari pada foto di atas laki-laki atau perempuan, saya tidak bisa memastikan. 

Pemikiran pragmatis merupakan penyebab utama panitia pameran menghadirkan bermacam budaya lokal dan banyak atraksi ke dalam even yang kapitalistik. Mereka ingin pameran ramai, sehingga budaya lokal yang sangat populer pun disajikan demi meramaikan pameran sehingga panitia akan mendapatkan apresiasi yang sangat positif. 

WARUNG DI PAMERAN

Foto-foto tentang pameran di Bondowoso semuanya dijepret pada siang hari ketika pengunjung cukup banyak. Saya tidak mendapatkan informasi apakah pada malam hari pameran masih berlangsung atau tidak.

Pengunjung berpakaian adat berteduh dengan payung. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries
Pengunjung berpakaian adat berteduh dengan payung. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries

Karena suasana siang yang cukup terik di Bondowoso, banyak pengunjung memilih duduk di bawah pohon sambil berpayung, seperti yang tampak pada foto di atas. Dari pakaian yang dikenakan, bisa jadi mereka adalah amtenar (pegawai pemerintah dari kalangan pribumi) atau mungkin kalangan ningrat, tidak informasi tambahan yang tersedia untuk itu. Yang pasti, para pengunjung itu duduk secara tertib. 

Bagi pengunjung dari warga biasa, untuk mengisi waktu istirahat di tengah-tengah kelelahan mengunjungi pameran dan banyak atraksi yang ditawarkan, mereka memilih untuk menikmati makanan dan minuman di banyak warung di pinggir arena pameran. Sambil bersantai mereka bisa leyeh-leyeh sambil cangkrukan, berbincang santai sembari menikmati aneka makanan dan minuman.

Warung di pameran. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries
Warung di pameran. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries

Dari keberadaan warung di pameran kita bisa mendapatkan informasi bawah pedagang kaki lima sudah berusia lama di bumi Indonesia. Mereka akan hadir dalam even-even yang mengundang keramaian massa. Hal itu pun berlangsung hingga saat ini. Ketika ada pameran di kota atau pertunjukan di desa, warung dan pedagang kaki lima akan selalu hadir mengais rezeki.

Warung menjadi penanda usaha warga pribumi untuk menggerakkan ekonomi kecil di tengah-tengah usaha besar pemerintah dan pengusaha kolonial untuk melakukan usaha komersial di bidang pertanian, perkebunan, pertambangan, dan pelabuhan. Dorongan untuk bertahan hidup menjadikan para pemilik warung selalu berusaha untuk mengumpulkan sedikit demi sedikit rezeki. 

Pedagang kaki lima di bawah pohon. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries
Pedagang kaki lima di bawah pohon. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries

Bagi warga biasa, warung juga menjadi penanda kelenturan dalam menjalani kehidupan. Harga yang relatif murah memungkinkan warga untuk bisa menikmati makanan dan minuman. Meskipun tidak senikmat yang ditawarkan restoran mewah, setidaknya mereka bisa bersantai sembari bercengkrama dengan kawan atau warga lain.

Memang, warung sekaligus menjadi pembeda kultural antara warga pribumi biasa dengan warga Eropa. Para tuan kolonial terbiasa menikmati makanan-makanan Eropa di restoran mewah ketika mereka berkunjung ke kota-kota besar. Makanan dan tempat menikmati makanan, dengan demikian menjadi pembeda kultural yang sekaligus membedakan status ekonomi dan kebangsaan.

MINIATUR RUMAH WARGA

Apa yang cukup unik dari pameran kolonial di Bondowoso 1898 adalah keberadaan miniatur rumah warga pribumi. Miniatur tersebut ditata sedemikian rupa. Dan, jumlahnya cukup banyak. Kita bisa bertanya, apa kiranya kepentingan dari pameran miniatur rumah tradisional pribumi tersebut. 

Miniatur rumah pribumi. Sumber: Digital Collection Leiden University  Libraries
Miniatur rumah pribumi. Sumber: Digital Collection Leiden University  Libraries

Menurut saya, terdapat beberapa asumsi tentang kepentingan penghadiran miniatur rumah tersebut. Pertama, panitia ingin mengetahui bentuk rumah pribumi. Dari itu mereka bisa mempelajari bahan-bahan yang dibutuhkan sekaligus teknik pembuatannya. Hal ini dilakukan untuk mengumpulkan pengetahuan dan teknologi tradisional. Ke depannya, mereka bisa lebih mudah ketika ingin membuat kebijakan terkait perumahan di tanah jajahan. 

Kedua, panitia ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa rumah mereka tergolong sederhana dan tidak sebanding dengan rumah para aparat pemerintah dan penguasaha perkebunan. Dengan demikian, warga Eropa tetap memiliki posisi superior, tidak hanya dalam hal ekonomi, tetapi juga dalam hal bangunan rumah yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. 

Warga Eropa berpose di miniatur rumah pribumi. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries
Warga Eropa berpose di miniatur rumah pribumi. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries

Menjadi wajar kalau warga Eropa menjadi kekuatan dominan di Jawa, meskipun mereka bukan pemilik dari tanah ini. Para pengusaha dan aparat pemerintah dengan kekuatan modal dan politik mereka bisa melakukan banyak aktivitas untuk mengekploitasi kekayaan Jawa dan Hindia Belanda. Foto warga Eropa yang berpose di miniatur rumah pribumi bisa dibaca betapa berkuasanya mereka atas tanah, manusia, dan budaya di negeri jajahan.

PAMERAN KOLONIAL: KEPENTINGAN EKONOMI, POLITIK, DAN BUDAYA

Dari pembacaan sederhana terdapat foto-foto tentang pameran kolonial di Bondowoso, saya membuat beberapa catatan simpulan yang masih bersifat hipotetik terkait kepentingan dari penyelenggarannya. 

(Mengapa hipotetik? Karena saya belum menemukan sumber lain selain foto terkait pameran tersebut. Jadi, ketika ada sumber-sumber tertulis terkait pameran kolonial di Bondowoso tahun 1898, tulisan dan catatan simpulan saya sangat mungkin akan berubah, baik bertambah ataupun berkurang)

Pohon beringin di lokasi pameran tempat berteduh. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries
Pohon beringin di lokasi pameran tempat berteduh. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries

Pertama-tama, pameran kolonial di Bondowoso merupakan upaya konsolidasi untuk memperkuat usaha-usaha kapitalistik dalam sektor pertanian, perkebunan, pelabuhan, dan yang lain. Panitia dan pemerintah ingin memperkuat relasi antarpengusaha agar bisa terhubung satu sama lain dalam relasi bisnis yang saling menguntungkan. 

Para penguasaha perkebunan bisa bertemu dengan pengusaha bidang pelabuhan, sehingga mereka bisa bekerjasama untuk kepentingan perdagangan internasional. Pengusaha pertanian dan perkebunan juga bisa bekerjasama dengan pengusaha restoran tentang kemungkinan untuk memasok kebutuhan restoran. 

Pengunjung berkerumun di sebuah arena. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries
Pengunjung berkerumun di sebuah arena. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries

Kedua, para pengusaha bisa memamerkan usaha mereka ke masyarakat yang lebih luas. Harapannya, mereka bisa mendapatkan banyak pelanggan atau pembeli baru yang akan berdampak secara ekonomi kepada usaha mereka. Aparat pemerintahan, pengusaha perkebunan, dan kalangan ningrat merupakan target yang cukup bagus untuk memperluas usaha mereka. 

Ketiga, keberhasilan pameran akan menjadi berita gembira yang bisa dikirimkan ke Belanda dan Eropa. Kehadiran bermacam jenis usaha menunjukkan keberhasilan pengusaha Eropa untuk mengelola dan mengumpulkan keuntungan modal. Ini tentu penting dikabarkan kepada para pengusaha di Belanda dan Eropa agar mereka mau menanamkan modal mereka di Hindia Belanda. 

Sapi-sapi gemuk di pameran. Sumber: Digital Collection Leiden University  Libraries
Sapi-sapi gemuk di pameran. Sumber: Digital Collection Leiden University  Libraries

Keempat, pameran kolonial di Bondowoso ingin memobilisasi dukungan warga pribumi dengan cara menunjukkan pengetahuan dan teknologi kolonial yang berhasil mengelola sumberdaya alam secara maksimal dan memberikan keuntungan kepada tenaga kerja dan masyarakat pribumi. 

Dengan pameran, warga masyarakat diajak membayangkan sebuah keberhasilan proses kolonialisasi yang dilakukan pemerintah Belanda dan segenap usaha swasta yang menguntungkan Belanda sekaligus memberikan rezeki kepada kaum pribumi. Bahwa kolonialisme menghadirkan modernitas dan peradaban yang baik bagi warga pribumi yang pada awalnya hidup dalam ketradisionalan. 

Pengunjung berjubel, antri untuk masuk ke anjungan Afdeeling Panaroekan. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries
Pengunjung berjubel, antri untuk masuk ke anjungan Afdeeling Panaroekan. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries

Kelima, panitia pameran memiliki kepedulian terhadap aneka budaya lokal di kawasan Bondowoso dan Karesidenan Besoeki. Namun demikian, itu semua dimaksudkan untuk meramaikan pameran dengan kedatangan semakin banyak pengunjung. Strategi seperti itu pun masih berlangsung hingga saat ini. 

Dalam banyak pameran atau acara-acara resmi yang diselenggarakan pemerintah atau swasta, kesenian rakyat atau kesenian populer masih diundang agar banyak pengunjung yang datang. Semakin banyaknya pengunjung, klaim keberhasilan pameran bisa semakin kuat. Jadi, menggelar ragam budaya lokal memiliki kepentingan ekonomis.

Anjungan di pameran. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries
Anjungan di pameran. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries

Apa yang tidak boleh kita lupakan adalah tradisi menggelar pameran untuk memamerkan hasil usaha ditiru secara massif oleh pemerintah Republik Indonesia. Saya masih ingat pada era 1990-an ketika masih SMP dan SMA, pemerintah menggalakkan pameran pembangunan di tingkat kabupaten dan kecamatan. 

Bermacam hasil pembangunan ditambilkan di stand-stand. Bermacam usaha swasta menawarkan produknya. Demikian pula instansi pemerintah. Semua itu ingin mengabarkan bahwa pemerintah berhasil membangun bangsa dan negara dengan sebaik-baiknya. Saya dan kawan-kawan pun membayangkan banyak keindahan dengan keberhasilan pembangunan itu. 

Proses penjajahan memang sudah berakhir, tetapi bukan berarti kekaguman terhadap capaian-capaian hebat bangsa penjajah bisa begitu saja hilang. Pameran adalah salah satu warisan penjajah yang masih dilanjutkan di banyak negara pascakolonial dengan beragam modifikasinya. Begitulah ambivalensi pascakolonial.

RUJUKAN

Aprianto, Tri Chandra. Panarukan: Pelabuhan "Internasional" yang Terlupakan. Historia, vol. 1(2): 138-153.

Digital Collection Leiden University Libraries.

Rizkinta, Byrna. Pengaruh Pameran Dunia di Tanah Koloni: Pameran Sains, Industri, dan Seni di Batavia 1853. Dalam Sejarah dan Budaya, vol. 16 (1): 182-199. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun