Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menonton dan Memroduksi Teater Mahasiswa di Jember: Sebuah Ingatan

18 Desember 2021   10:23 Diperbarui: 18 Desember 2021   13:53 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sehabis pertunjukan Yang Bergumam Dalam Tabung. Dok. DKK UNEJ

Gaya komedi segar bersama sajian opera yang mereka hadirkan mampu membawa penonton ke dalam suasana konyol ruang persidangan. Persoalan pengadilan dan keadilan diolah secara renyah oleh kawan-kawan Tiang, sehingga penonton yang sebagian besar berasal dari mahasiswa umum bisa mengikuti alur dan pesan cerita dengan suasana gembira. 

Teater Tiang memang memiliki kesepahaman dengan DKK terkait perluasan penonton teater di Jember. Diskusi intens sambil menikmati kopi dan mie instan di Warung Cak Kumis Sardan merupakan medium untuk mengerucutkan gagasan tentang pembentukan penonton termasuk kesepakatan untuk menjual tiket dalam selisih harga yang tidak jauh berbeda. Tidak mengherankan kalau pagelaran-pagelaran Tiang di PKM UNEJ selalu dipenuhi penonton. 

Maksimalisasi 'sayap utara' (FKIP, Pertanian, FMIPA, Kedokteran Gigi, Kedokteran) oleh Tiang bisa memperluas wacana-wacana yang mereka hadirkan dalam pertunjukan selain bisa menambah pemasukan untuk tambahan biaya produksi yang sudah pasti tidak bisa ter-cover oleh penjualan tiket.   

Penjelajahan gaya pertunjukan, pengayaan wacana, pembentukan penonton, dan ticketing menjadi karakteristik perkembangan teater Jember pada masa Reformasi, khususnya 1999-2000. Pilihan yang dipelopori DKK dan Tiang ini memang memunculkan implikasi positif dan negatif. 

Positifnya, jagat teater Jember mulai memikirkan secara serius manajemen produksi, kreativitas pertunjukan, dan pengayaan wacana untuk menarik minat calon penonton. Negatifnya, berkembang isu komersialisasi teater. Tentu saja, isu itu dengan mudah ditepis karena hasil penjualan tiket itu tidak akan pernah bisa menutupi biaya produksi. 

Lagi pula, kalau penonton sudah terbiasa membayar, mereka akan terikat dengan pertunjukan sehingga eman kalau tidak datang menonton. Pembentukan penonton menjadi tradisi baru yang digarap secara serius oleh tim produksi, termasuk bertanggung jawab untuk menjadikan calon penonton penasaran dan akhirnya mau membeli tiket. 

Meskipun tidak seperti manajemennya Teater Koma, paling tidak, para penggiat teater di Jember sudah mulai berpikir bahwa ada tugas kebudayaan yang mereka emban untuk memperkaya pertunjukan dan wacana, sekaligus mentradisikan penonton non-teater untuk menikmati banyak 'kenakalan' yang dihadirkan dalam pertunjukan. Fondasi inilah yang terus dijaga pada tahun-tahun berikutnya.

MENGHADIRKAN TEATER ABSURD, MENAWARKAN RAGAM GAYA PERTUNJUKAN  

Ketakutan bahwa para pegiat teater Jember akan terjebak kepada 'selera pasar', nyatanya, tidak terbukti. Pada awal 2000-an, beberapa penggiat mulai bersemangat membaca referensi-referensi yang relatif baru dalam jagat teater. Buku-buku teater, baik yang ditulis penulis Indonesia maupun luar negeri menjadi bahan bacaan yang didiskusikan secara serius. 

Gatot "Kuplek" Wijanarko, misalnya, mulai menyebarkan virus teater absurd ke anggota DKK, meskipun itu tidak lepas dari proyek pribadinya; mengerjakan skripsi dengan objek material Waiting for Godot, karya Samuel Becket. Gatot pun memperkenalkan anggota DKK buku karya Esslin Theatre of The Absurd (1961) dan Absurd Drama (1965). 

Uniknya, ada sebagian penggiat teater di Jember yang salah memahami teater absurd sebagai teater gerak atau teater mini-kata ala Rendra. Teater absurd tetap mengedepankan dialog layaknya teater realis, tetapi tokoh-tokohnya tidak berada dalam alur dan struktur yang logis tetapi berada dalam sebuah atmosfer dunia yang tidak bisa dipahami secara komprehensif dan nalar modern. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun