Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menonton dan Memroduksi Teater Mahasiswa di Jember: Sebuah Ingatan

18 Desember 2021   10:23 Diperbarui: 18 Desember 2021   13:53 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sehabis pertunjukan Yang Bergumam Dalam Tabung. Dok. DKK UNEJ

Demi memberikan penjelasan yang memadai terkait kompleksitas dan keunikan teater absurd, pada 20 Mei 2000 dengan fasilitasi dari Pusat Kebudayaan Perancis Surabaya, Gatot mengajak anggota DKK untuk menonton pertunjukan Teater Garasi Yogyakarta, Sketsa Rumah-rumah Terbakar (terjemahan dari Les Paravents, karya Jean Genet, sutradara Yudi Ahmad Tajudin), di Auditorium Universitas Widya Mandala Surabaya. 

Proses menonton, lagi-lagi, menjadi media untuk belajar pengetahuan teater yang memang belum kami kuasai sepenuhnya. Meskipun harus urunan untuk nyarter mobil, toh, kami bahagia karena bisa belajar dari Teater Garasi yang pada waktu itu namanya mulai populer dalam jagat perteateran di Indonesia.  

Nyatanya, efek menonton dan kegemaran bersdiskusi secara ajeg, mendorong Husnul Anis, menggeluti secara serius naskah The Zoo Story (Edward Albee 1958) sebagai objek material skripsinya. Bahkan, kawan-kawan di DKK menjulukinya "manusia absdurd". Untuk membuktikan kecintaannya kepada teater absurd, Anis meminta saya untuk menerjemahkan The Zoo Story ke dalam bahasa Indonesi. Saya menerjemahkannya menjadi "Cerita Kebun Binatang". 

Anis mementaskannya bersama Nanda Sukmana sebelum menjalani sidang skripsi pada tahun 2001. Ini adalah salah satu bentuk totalitas dalam menekuni konsep teater baru yang harus diperjuangkan melalui proses belajar, termasuk menonton pertunjukan dari kelompok yang sudah terlbih dahulu mementaskannya. 

Pertunjukan yang dihadirkan di Aula Falkultas Sastra UNEJ menghadirkan setting Alun-alun New York (dalam bentuk lukisan backdrop) dengan dua tokoh yang mencoba saling berkomunikasi tetapi mengalami kegagalan dan ketidakjelasan. Salah satu tokoh akhirnya memutuskan bunuh diri. 

Sementara, Mulyana dan seorang anggota perempuan Teater Tiang, juga menggeluti teater absurd melalui naskah terjemahan Kereta Kencana (Eugene Ionesco). Mereka mementaskannya di PKM UNEJ. Sama dengan naskah-naskah absurd lainnya, pertunjukan Kereta Kencana memberikan satu petunjuk bahwa kehidupan manusia sudah benar-benar memasuki ketidakbermaknaan. 

Bahkan, kereta kencana yang selalu didambakan itu juga tidak pernah datang menjemput sepasang manusia renta itu. Mulyana dan partnernya dengan apik bisa memainkan tokoh masing-masing, sehingga saya menemukan atmosfer mencekam tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. 

Bagi saya pribadi, Cerita Kebun Binatang dan Kereta Kencana, memberikan bukti bahwa para penggiat teater di Jember memiliki komitmen untuk memberikan sajian-sajian baru, meskipun itu berasal dari penerjemahan dari teks-teks Eropa dan Amerika Serikat; sebuah orientasi kosmopolitan. 

Paling tidak, para penggagas teater absurd di Jember mewariskan sesuatu untuk diingat dan dikembangkan oleh generasi berikutnya: sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia pasca Perang Dunia hingga saat ini yang masih saja tidak menentu dan tidak jelas di mana perang masih saja menjadi 'idola' manusia-manusia rakus berwajah monster tetapi menyatakan diri beragama; sesuatu yang didapatkan tidak dengan mudah, tetapi melalui proses belajar, menonton, berdiskusi dan berlatih secara serius.

Dalam semangat menghadirkan pertunjukan teater yang segar, Teater Sepuluh yang digawangi Mamad (penggiat di UKM Kesenian UNEJ dan Jantung Teater) dan beberapa penggiat lintas fakultas di UNEJ dan Poltek juga menyuguhkan karya yang patut diapresiasi. Adaptasi dari naskah-naskah Anton Chekhov, sastrawan Rusia, seperti Pinangan dan Penagih Hutang, digarap dengan warna lokal yang cukup mengena dan relatif mudah diikuti oleh penonton awam. 

Saya sendiri sangat menikmati ketika mereka menggelar pertunjukan di Aula Fakultas Sastra UNEJ, 2001. Warna lokal Jawa dilengkapi dengan celetukan-celetukan lucu yang hampir menyerupai gaya Srimulat. Hal itu pula yang menjadi bahan kritik. Namun, terlepas dari kritik, penghadiran karya-karya Chekov memberikan sentuhan baru yang bisa memperkaya referensi permainan dramatik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun