Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menonton dan Memroduksi Teater Mahasiswa di Jember: Sebuah Ingatan

18 Desember 2021   10:23 Diperbarui: 18 Desember 2021   13:53 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sehabis pertunjukan Yang Bergumam Dalam Tabung. Dok. DKK UNEJ

Di sisi lain, ada ketakutan akan hilangnya sosok "musuh bersama" atau "bapak yang selalu tersenyum" dalam kanca gerakan intelektual dan kultural di Indonesia. Dalam beberapa kali diskusi aktivis dan penggiat seni yang saya ikuti, baik formal maupun informal, tema hilangnya musuh bersama mengemuka ketika kehidupan kampus kembali 'normal' karena tidak ada lagi sosok yang harus dikritik dan digulingkan. 

Bagi para penggiat teater implikasi kekhawatiran tersebut adalah kurang gregetnya pertunjukan karena kehilangan idiom ataupun metafor perlawanan yang sebelumnya menjadi kekuatan kreatif mereka. Nyatanya, kekhawatiran tersebut juga berlangsung secara nasional, di mana banyak kritikus yang khawatir akan masa depan teater Indonesia ketika sudah tidak ada lagi pengekangan, pembatasan, dan penindasan yang dilakukan oleh rezim negara represif (Winet 2010: 198-199).

Namun, saya melihat jagat teater di Jember memiliki respons yang cukup lentur dan dinamis dalam menyikap persoalan tersebut. Ada satu kerangka berpikir yang dikembangkan para penggiat teater bahwa Reformasi bukan berarti menghilangkan permasalahan-permasalahan sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang dihadapi oleh warga negara, termasuk mahasiswa di dalamnya. 

Dari beberapa pertunjukan yang saya tonton, ada kecenderungan untuk mengembangkan pertunjukan dengan tema yang lebih mikro terkait permasalahan-permasalahan yang lebih luas dalam masyarakat. Beberapa pertunjukan yang digelar oleh Teater Tiang FKIP UNEJ, Kurusetra FE, Wismagita FISIP, UKM Kesenian UNEJ, Kotak Poltek, UKM Dinding IKIP PGRI, DKK, dan  komunitas lainnya mengindikasikan hal tersebut. 

Apa yang juga menarik dicermati adalah mulai dieksplorasinya gaya pertunjukan yang menjadikan pementasan di Jember pasca Reformasi semakin berwarna. Mulai ada komunitas teater yang menggali persoalan kekuasaan dalam level mikro dengan sentuhan gaya realis (Genderang Satu Terompet, DKK, 2000), persoalan keadilan dan pengadilan dalam warna komedi (Eksekusi, Teater Tiang, 2000), dan keterancaman posisi negara karena kekuatan asing dalam terma futuristik (Wabah, DKK, 1999).

Menarik kiranya untuk melihat alasan (selain tetap menjaga kekritisan dalam berteater) mengapa beberapa komunitas teater di Jember mulai membuka peluang menggelar pertunjukan dengan gaya berbeda dari masa sebelumnya. Salah satu alasannya adalah kondisi  dan karakteristik penonton pada era sebelum Reformasi 1998. Sekali lagi, mayoritas penonton teater adalah penggiat teater kampus. 

Kondisi ini tentu saja bersifat problematis. Di satu sisi, para penggiat bisa merasakan keasyikan dalam proses kreatif tanpa harus pusing memikirkan penonton umum datang atau tidak karen, toh, para anggota komunitas seni lain akan datang menikmati pertunjukan mereka. 

Bahkan, berkembang ungkapan, "gak onok penonton gak masalah", tidak ada penonton tidak masalah, pertunjukan jalan terus. Selain itu berkembang pula ungkapan, "penonton teater harus cerdas dong". Tentu saja, ungkapan tersebut sah-sah saja, karena pada dasarnya dunia teater adala dunia peran yang dimainkan oleh para aktor dan aktris, bukan dunia penonton. 

Ketidaktergantungan kepada penonton diposisikan sebagai kekuatan dan kemerdekaan kreatif karena mereka bisa bebas menghasilkan karya sesuai dengan idealisasi dan preferensi, tanpa harus risau dengan tanggapan penonton umum. Masalahnya adalah ketika pertunjukan teater dimaksudkan untuk menyampaikan pesan tertentu kepada publik, maka spesifikasi penonton yang terbatas pada para penggiat teater menjadikan misi tersebut hanya menjadi praktik konsumsi kultural yang sangat terbatas.

Itulah yang mendorong penggiat teater DKK melakukan 'diskusi intens' di di warung kopi,kantin kampus, warung Bu No (timur Fakultas Sastra UNEJ), ataupun di depan Sekretariat untuk  menggarap naskah yang tidak terlalu sulit dipahami oleh penonton, tetapi juga punya misi untuk memberikan wacana kritis kepada penonton. 

Proses "menonton" dan "mengamati penonton", dengan demikian, menghasilkan cara pandang transformatif. Artinya, muncul keinginan untuk mengubah jenis penonton dengan mengubah gaya pertunjukan yang tidak terlalu sulit untuk dipahami oleh penonton. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun