Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Polemik Tara Basro Karena Kita Sering Cepat Menilai?

7 Maret 2020   10:12 Diperbarui: 7 Maret 2020   10:46 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tara Basro dalam rangka promosi film Gundala beberapa waktu lalu. | Gambar: Kompas.com

Pada 2017 lalu, penulis pernah membuat catatan pribadi---di buku catatan---tentang mata dan kepala (baca: otak). Isinya kurang lebih tentang perbedaan fungsi antara mata dan kepala.

Mata ditujukan untuk melihat saja, sedangkan untuk memikirkan apa yang dilihat oleh mata itu adalah fungsi kepala. Mata seharusnya tidak mengontrol kepala, karena kepalalah yang seharusnya mengontrol mata.

Intinya begitu, karena menurut pengamatan pribadi yang sederhana, penulis berpikir bahwa selama ini kita seringkali tertipu oleh apa yang kita lihat. Mengapa?

Karena tidak jarang kita sudah merasa puas dengan apa yang kita lihat dan langsung dapat menghasilkan penilaian terhadap apa yang kita lihat itu. Padahal penilaian biasanya merupakan hasil dari kerja kepala bukan hanya mengandalkan kerja mata. Inilah yang patut dicermati.

Halaman kedua dari catatan yang dimaksud. | Gambar: Dokpri/DeddyHS_15
Halaman kedua dari catatan yang dimaksud. | Gambar: Dokpri/DeddyHS_15

Menariknya, saat itu penyebab dari pembuatan catatan tersebut juga berawal dari fenomena unggahan (feed) di sebuah media sosial yang kini sangat familiar bagi kita, Instagram. Saat itu penulis masih memiliki akun Instagram dan seringkali memperoleh unggahan terbaru setiap hari dari "yang diikuti" oleh penulis.


Siapa pun. Dari figur publik, akun-akun media massa, teman sekelas hingga teman seorganisasi di kampus. Lalu, apa yang membuat penulis memiliki catatan itu?

Tidak lebih karena penulis selalu mendapati setiap unggahan di IG adalah cerita terbaik yang mereka (dan kita) miliki. Entah dari yang inspiring hingga yang annoying, semua ada.

Awalnya penulis merasa hal itu biasa saja. Ada kalanya memang kita sangat menggandrungi sebuah media yang dapat menjadi tempat bercurah kata tentang kehidupan terkini yang dialami. Penulis pun menjadi bagian dari itu.

Namun, yang menjadi pemikiran selanjutnya adalah ketika penulis mulai menyadari bahwa setiap unggahan itu pada akhirnya tidak sepenuhnya mewakili apa yang sedang terjadi. Ataupun yang paling mengkhawatirkan adalah ketika unggahan-unggahan itu tidak mewakili karakter maupun keseharian dari orang tersebut.

Bagi yang tidak "berburu" teman, kalimat kedua dari paragraf di atas akan jarang terpikirkan. Namun bagaimana jika ada yang sedang berburu teman dan hanya berpatokan pada feeds di akun medsos tersebut?

Contoh paling viral yang bisa kita singgung adalah pelaku kejahatan seksual di Inggris (RS). Siapa yang sanggup berpikir bahwa orang yang biasanya mengunggah feeds yang menarik, ternyata memiliki perbedaan orientasi hingga melakukan tindakan kriminal seksual seperti itu?

Situasi semacam itu sebenarnya juga dapat terjadi pada aktivitas di dunia nyata. Seperti ketika kita asal komen terhadap kehidupan tetangga kita hanya berdasarkan tingkat keaktifannya di agenda kemasyarakatan (PKK, Karang Taruna, dll). Padahal bisa saja di luar itu si tetangga memiliki banyak "cerita".

Karena asal menilai berdasarkan apa yang dilihat tanpa ada upaya memikirkannya terlebih dahulu, alih-alih berani melakukan cross-check, membuat kita cenderung nyablak. Padahal apa fungsi kepala kita, jika apa yang kita ungkap tidak pernah melalui proses berpikir.

Setidaknya kita sudah mampu berandai-andai, namun 45% sudah berani didasari oleh penilaian secara objektif. Bagaimana cara melihatnya?

Lihatlah bagaimana seseorang berargumentasi, jika kita benar-benar menghadapi "sesi penilaian" secara langsung. Apabila orang tersebut berani menyinggung persepsi orang lain, maka dia juga telah melakukan pertimbangan---baik pro maupun kontra. Pertimbangan ini adalah salah satu bukti dari upaya berpikir.

Jika penilaian itu berbentuk tidak langsung, maka kita bisa melihatnya dengan referensi. Jika memang secara tertulis, maka referensinya pasti akan tertera dalam bentuk tulisan maupun tautan. Begitu pula jika itu berbentuk non-tulisan, pasti akan ada sematan referensi ataupun credit title terhadap apa yang sudah dihasilkan (penilaian).

Pengakuan adalah bentuk selanjutnya dari adanya proses berpikir. Jika kita bisa mengakui kehebatan orang lain pasti kita sudah memikirkannya terlebih dahulu. Namun, bagaimana jika kita hanya berdasarkan dari penglihatan?

Itulah mengapa muncul perbandingan. Perbandingan berfungsi sebagai upaya memikirkan mana yang lebih tepat dan mana yang belum tepat.

Memang proses ini masih 50-50. Namun, semakin kita dapat menunjukkan referensi maupun kedalaman argumentasi atau opini, disitulah akan muncul bukti-bukti bahwa kita telah melakukan proses berpikir.

Lalu bagaimana dengan kasus unggahan Tara Basro di akun Instagram-nya (dan Twitter)? Apakah pihak Kominfo telah lolos dalam proses berpikir terhadap unggahan tersebut?

Tribun Bali
Tribun Bali

Di sinilah yang menjadi pertanyaan yang sulit dijawab, kecuali oleh pihak Kominfo sendiri---toh sudah ditanggapi. Karena, kita tentu perlu mengetahui langsung apa pertimbangannya dan bagaimana penyampaiannya terlebih dahulu.

Dua hal ini penting untuk menilai seberapa kadar kapasitas mereka dalam berpikir sebelum menilai apa yang diunggah oleh Tara Basro. Jangan sampai mereka terjebak hanya pada gambar yang diunggah (gestur dan lainnya), bukan pada caption.

Padahal, fungsi dari caption biasanya untuk memperjelas apa yang diunggah dalam gambar tersebut. Perlu diingat pula, bahwa proses membaca pasti akan melibatkan kepala untuk memikirkan hingga mengingat tentang apa yang dibaca. Bahkan, dalam proses membaca itu kita juga akan menggali informasi sebelumnya yang terkoneksi pada apa yang sedang kita baca.

Unggahan Tara Basro di akun medsosnya mendapatkan pembelaan dari Safenet. | Gambar: IG/safenetvoice
Unggahan Tara Basro di akun medsosnya mendapatkan pembelaan dari Safenet. | Gambar: IG/safenetvoice

Namun, jika (pesan dalam) caption itu ternyata masih tidak dapat tersampaikan ke kepala kita, berarti mata kita sudah lebih kuat dalam mempengaruhi proses menilai kita dibandingkan kepala kita terhadap feed tersebut.

Atau, bisa saja caption yang ditulis tidak mudah dipahami karena kita kurang update terhadap situasi terkini, akibat fokus dengan penjualan masker dan hand sanitizer? Jika hal itu yang terjadi, maka pemandangannya sangat menyedihkan. Karena, hari ini apa fungsi Google yang selalu buka 24 jam---meski ada virus corona, jika tidak digunakan untuk cross-check terkait unggahan Tara Basro---di IG dan di Twitter yang telah dihapus, bukan?

Malang, 6-7 Maret 2020
Deddy Husein S.

Tambahan:
Secara pribadi penulis lebih mendukung apa yang diunggah Tara Basro di Instagram dibandingkan di Twitter. Namun, itu bukan karena terkait pornografinya (versi Kominfo: ketelanjangan), melainkan terkait mindset masyarakat dan pihak-pihak tertentu dalam hal menyikapi sebuah unggahan tanpa memahami apa yang sedang terjadi, alias sulit berpikir jernih.

Meski demikian, menurut penulis jika tidak ada kehebohan ini---sebenarnya karena unggahan di Twitter, tidak akan ada "studi nasional" terhadap bagaimana cara menilai sesuatu yang ditangkap oleh mata, khususnya dalam hal melihat gambar yang diunggah di akun medsos.

Tetap semangat untuk cerdas, Indonesia! Salam.

Berita terkait:

BBC.com, Detik.com 1, Detik.com 2, Liputan6.com 1, Liputan6.com 2.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun