Mohon tunggu...
ANDI FIRMANSYAH
ANDI FIRMANSYAH Mohon Tunggu... Guru - Guru yang Belum Tentu Digugu dan Ditiru

Hanya Seorang Marhaen yang menyenangi bidang Geopolitik, Sejarah dan Ekonomi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pemulung... Jasamu Tiada Tara

15 Mei 2024   19:49 Diperbarui: 15 Mei 2024   20:17 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sosoknya sangat familiar di kalangan lingkungan rumah saya. Posturnya yang tinggi dan kelihatan kekar, banyak yang mengira dia laki-laki pada pandangan pertama. Seminggu sekali, tanpa terpengaruh panas atau hujan, ia berkelana dari satu tong sampah ke tong sampah yang lain bagai lebah dari satu bunga ke bunga lainnya. 

Sambil menyodok sampah dengan tongkatnya, ia mencari dan memilah sisa-sisa sampah yang bisa ia jual ke pelapak rongsokan. Mengacak-acak tempat sampah adalah cara dia bertahan hidup. Seperti kata pepatah, sampah seseorang adalah harta bagi orang lain.

Suatu kali seorang tetangga memarahi dan membentaknya dengan nada marah agar tidak mengacak-acak sampah mereka. Saya bertanya-tanya apa yang ada di sampah mereka sehingga dia tidak ingin dimata-matai.

Tetangga yang sama, yang kebetulan adalah istri seorang pelaut, menolak memberikan minuman kepada pemulung yang lain ketika mereka memintanya, padahal saat itu mereka sedang membuang banyak karung berisi sampah dari rumah besar mereka yang tertutup.

Hal yang mengejutkan dari para pemulung tersebut adalah, bahkan setelah perlakuan buruk itu, mereka masih dengan patuh terus memungut sampah tetangga kami yang menyebalkan itu.

Daripada diusir atau dijauhi, mereka harusnya diberikan rasa terima kasih. Lebih dari sekedar air minum dan roti, mengapa kita tidak memberikan mereka pakaian bekas, tas, sepatu atau benda-benda yang tidak kita perlukan namun pasti dibutuhkan oleh anak-anak mereka?


Sejujurnya, pemulung harus diberi gaji yang setara dengan gaji prajurit, seperti tentara yang dikirim ke zona perang berbahaya. Sebab mereka adalah "tentara" yang mempertaruhkan kesehatan mereka. Mereka melakukan pekerjaan mereka tanpa sarung tangan atau alat pelindung diri yang sering kali menimbulkan ancaman keselamatan serius bagi kehidupan mereka, namun mereka tidak punya pilihan selain terus melakukan pekerjaan mereka, tanpa masker dan menggunakan tangan kosong.

Mereka adalah pejuang lingkungan yang sebenarnya, bukan pejuang lingkungan seperti kita yang duduk di kantor ber-AC dan melontarkan kata-kata hampa tentang perubahan iklim, aksi iklim, target nol karbon dan sebagainya. Merekalah yang melakukan pekerjaan berat demi kelangsungan hidup kita sebagai penghuni planet bumi.

Sebagian besar sampah kita terdiri dari bahan-bahan yang tidak dapat terurai secara hayati seperti plastik. Menurut Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), "lebih dari 400 juta ton plastik diproduksi setiap tahun di seluruh dunia, setengahnya dirancang untuk digunakan hanya sekali."

Masalah yang akan terjadi adalah kita kehabisan tempat pembuangan sampah (TPA) untuk membuang sampah dan limbah yang jumlahnya terus meningkat.

Solusinya, jangan mencari lagi lahan kosong untuk diubah menjadi tempat pembuangan sampah. Solusi yang lebih baik adalah dengan mengalihkan limbah non-biodegradable sebelum mencapai tempat pembuangan sampah. Belum lagi sampah di sungai, danau dan lautan yang diperkirakan menghasilkan 19-23 juta ton plastik sekali pakai setiap tahunnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun