Aldo dan Elzan duduk termenung di bangku panjang tempat mereka biasa nongkrong. Muka mereka kelihatan murung. Hal itu karena beberapa menit yang lalu, lima teman mereka memutuskan pulang dari begadang dan membatalkan aksi mereka hari itu untuk keliling membangunkan warga sahur. Padahal, sebuah beduk dan gerobak sudah disiapkan demi melancarkan aksi tersebut. Namun, agenda itu buyar hanya gara-gara kelima teman mereka tak kuat menahan dinginnya malam dan ganasnya serangan nyamuk yang menyerbu pori-pori kulit. Jadilah kini hanya tersisa Aldo dan Elzan yang tak tahu harus apa dengan beduk dan gerobak tersebut.
"Apa kita pulang aja, ya, Do?" usul Elzan kepada Aldo sambil menepuki lengannya yang digigit nyamuk.
"Tanggung," jawab Aldo. "Ini udah jam setengah dua. Udah dikit lagi waktunya orang bangun sahur. Masa kita udah capek-capek begadang, bangunin sahurnya nggak jadi? Sayang, kan, pahalanya."
"Tapi, Do, setahu gue, nih, ya, dalam agama, tuh, niat baik udah dapet pahala. Jadi, sekalipun kita nggak jadi bangunin sahur hari ini, kita udah dapet pahala niatnya."
"Ya, tapi sayang, Zan, dapet pahala niat doang. Kalo kita sanggup, kenapa nggak digas aja?"
"Ya, bukannya gue nggak mau, sih. Tapi, emangnya lu kuat dorong gerobak sama beduk segede kingkong itu berdua sama gue? Kita, kan, masih bocil. Badan kita juga sama-sama kurus. Terus, andai kita sanggup, nih, dorong, tuh, gerobak, siapa coba yang mau nabuh beduknya?"
"Iya, juga, ya?" Aldo baru ngeh.
Hening merambat di antara mereka. Sementara Aldo berpikir mencari solusi, Elzan masih saja sibuk dengan nyamuk-nyamuk yang menggerogoti badannya.
"Gue tahu!" seru Aldo tiba-tiba memecah keheningan.
Elzan kaget. Ekspresi kagetnya persis seperti maling kutang kepergok warga.
"Gimana kalo kita bangunin sahurnya pake alat seadanya aja?" usul Aldo.
"Alat seadanya? Apa, tuh?"
"Ya, bisa ember, panci, galon. Pokoknya yang bisa ditabok, lah."
"Termasuk perut bapak gue?"
"Kok, perut bapak lo, Zan?"
"Kan, kata lu yang bisa ditabok. Perut bapak gue, kan, bisa ditabok."
"Ya, nggak perut bapak lo juga kali. Bisa, sih, ditabok. Tapi dia ntar nabok balik. Lu mau abis itu pipi lu memar-memar?"
"Ya, nggak, sih."
"Ya, udah, yuk, ke rumah gue! Kita ambil ember, galon, atau apapun itu yang bisa buat bangunin orang sahur."
Beberapa menit kemudian, mereka sudah siap dengan galon dan panci yang berhasil digasak Aldo dari dapur rumahnya. Tadinya baik galon dan panci itu sama-sama terisi. Di galon ada setengah air. Sementara di panci ada sisa sayur asem yang dimasak emaknya Aldo tadi sore. Tanpa pikir panjang Aldo membuang semuanya. Elzan sempat protes ke Aldo.
"Kok, isinya lu buang semua, Do? Ntar kalo emak lu ngomel gimana?"
"Sans," jawab Aldo, kalem. "Bilang aja dimakan kucing."
"Tapi, kan, kucing nggak minum dari galon sama nggak doyan sayur asem?"
"Dih, katro lu! Kucing zaman sekarang udah open minded kali. Orang Minggu lalu aja gue ngelihat ada kucing minum es doger. Kurang aneh apa coba?"
"Masa, sih? Kok, gue nggak pernah liat, ya?"
"Makanya, Zan, banyakin bergaul. Dunia ini nggak selebar ketek bapak lo."
Dan, ketika pukul dua tepat, mereka pun keliling sambil menabuh galon dan panci untuk membangunkan warga sahur. Mereka berteriak keras, "SAHUUUR! SAHUUUUUR!" Berusaha membangunkan siapapun yang masih tertidur lelap. Langkah membawa mereka kemudian ke gang tempat Haji Husni tinggal. Saat sekitar sepuluh meter melewati rumah Haji Husni, suara keras mereka terhenti oleh suara keras lain yang tiba-tiba berteriak, "WOI, BOCIL! SINI LU BERDUA!"
Ternyata itu adalah Haji Husni. Ia keluar dengan hanya mengenakan sarung dan singlet putih. Mata mereka bersitatap. Sementara Haji Husni berusaha mendekati mereka, Aldo merasakan ada yang tak beres dari raut muka Haji Husni. Ia lalu bertanya ke Elzan.
"Kok, Haji Husni kayak kelihatan marah gitu, ya, Zan?"
"Kalah push rank kali, Do," jawab Elzan, asal.
"Yeee, ngaco! Mana ngerti boomer maen mobile legend!"
"Terus kenapa dong?"
"Kek-nya dia marah, dah, gara-gara kita bangunin sahur."
"Kok, gitu?"
"Ya, menurut lo? Dengan tampang sangar kek gitu, masa iya dia lagi mau ngasih sedekah?"
"Iya, juga, sih."
"Kalo kek gini cuma satu hal yang bisa kita lakuin, Zan."
"Apa, Do?"
"KABOOOOOR!!!" teriak Aldo, lari, diikuti kemudian oleh Elzan.
Haji Husni reflek berteriak, "WOI! JANGAN LARI LU BERDUA!"
Tak disangka, bapak-bapak berperut setara dengan orok godzila itu mengejar mereka dengan kecepatan yang di luar nalar. Larinya bahkan lebih cepat dari maling ember diudak warga. Aldo dan Elzan berlari dengan asal. Mereka masuk ke dalam gang menghindar dari kejaran Haji Husni yang teramat binal. Langkah membawa mereka ada di pertigaan gang. Tanpa pikir panjang, mereka berlari ke kanan dan tiba akhirnya di sebuah tempat pemakaman umum.
"Berhenti, Zan!" ucap Aldo di tengah-tengah TPU. Ia kelelahan dan langsung merebahkan diri di tanah.
"Kenapa berhenti, Do?" tanya Elzan yang ikut berhenti dan langsung duduk di atas tanah.
"Capek, bego! Lu nggak liat tadi Haji Husni larinya kayak apa? Cepet banget anjir! Dulunya atlet lari kali dia, ya?"
Elzan setengah ngos-ngosan menanggapi ucapan Aldo. "Kalo kata bapak gue, Do, waktu muda itu Haji Husni suka dikejar-kejar. Mungkin itu yang ngebuatnya bisa lari cepet."
"Bisa jadi, tuh. Emang waktu muda dia suka dikejar apaan?"
"Utang."
Aldo langsung terbangun menatap Elzan. Wajahnya bercampur antara kesal dan lelah. Dalam hati, jika ia tidak dalam kondisi kelelahan, pasti ia akan beranjak mendekati Elzan untuk menabok mukanya pakai galon yang dia bawa. Ia lalu teringat akan satu hal. Galon yang dibawanya sudah nggak ada. Menyadari itu, ia pun panik bukan kepalang.
"Galon gue mana?! Kok, nggak ada?!"
"Kan, tadi lu buang." sahut Elzan.
"Lah, panci gue yang sama lu mana?"
"Gue buang juga."
"Kenapa lu buang?!"
"Kan, gue ngikutin elu. Gue pikir, itu ide yang bagus buat nambah kecepatan lari."
"Hadeeeh... mati gue! Bisa ngamuk ini kalo emak gue tau," gerutu Aldo.
Belum selesai ia dari panik, bahaya lain mendekat. Haji Husni ternyata juga sampai di TPU tersebut. Napasnya tersengal-sengal. Sarung yang dipakainya lepas dan terpampang lah kolor Haji Husni yang ternyata memiliki gambar wajah salah satu member JKT48 idolanya, Freya. Dengan kedua tangan yang bertumpu pada lutut, ia berkata ke mereka berdua, "Akhirnye. Kekejar juga lu berdua."
Aldo dan Elzan menyerah. Mereka sudah tak punya tenaga lagi buat kabur.
"Ampun, Pak Haji," kata mereka bersamaan.
"Lu berdua kenape lari, sih?"
"Kan, gara-gara dikejar Pak Haji," jawab Aldo. "Pak Haji kenapa ngejar kami?"
"Gue ngejar lu karena lu berdua lari."
"Lah, kami lari karena Pak Haji ngejar."
"Lah, gue ngejar karena lu berdua lari."
"Lah?"
"Lah?"
"Lah??"
"Lah?!"
"Stop, stop!" sergah Elzan. "Hentikan percakapan tolol ini! Pak Haji sebenarnya kenapa ngejar kami? Salah kami apa?"
"Salah? Lu berdua nggak salah ape-ape, Cil. Gue ngejar lu pengen ngasih lu ini!" jawab Haji Husni sambil menyodorkan uang pecahan seratus ribu.
Aldo dan Elzan melongo. Mereka bertukar pandang.
"Ini duit, Pak Haji?" tanya Elzan.
"Ye, duit, lah! Masa tisu bekas ingus! Gue, tuh, ngasih lu ini, sebagai tanda terima kasih karena udah bangunin gue sama bini gue sahur. Abisnye gue sebel banget! Dari hari pertama Ramadan sampai kemaren malem, nggak ada gue sama bini gue bangun sahur. Bablas terus! Gue heran. Padahal alarm udeh gue setel bejibun. Tapi nggak ada, tuh, yang bunyi sekalipun. Ape karena gue nggak punya pulsa kali, ye?"
"Pak Haji nyetel alarmnya di hp?" tanya Aldo.
"Ho'oh."
"Kek-nya hp Pak Haji di-setting mode silent, deh. Makanya alarmnya nggak ada yang bunyi."
"Gitu, ye? Berarti harus dibawa ke tukang servis dong?"
"Nggak perlu Pak Haji. Tinggal ubah aja mode silent-nya ke mode dering. Caranya, usap layar dari atas ke bawah, terus---"
"Ah, udeh-udeh!" potong Haji Husni. "Mumet gue kalo soal teknologi. Ntar, dah, gue minta tolong sama anak gue yang lagi kuliah di luar kota. Biar dia aje yang nolongin. Ya, udah, gue pamit dulu. Pake yang bener, tuh, duit! Bagi dua. Jangan serakah! Sama jangan buat beli petasan!
"Terima kasih, Pak Haji," balas Aldo dan Elzan bersamaan.
"Sama-sama. Assalamualaikum."
"Walaikumsalam."
"Zan," sapa Aldo ke Elzan ketika Haji Husni pergi. "Kalo tau mau dikasih duit gini, kenapa kita lari, ya?"
"Ya, mana tau kalo kita mau dikasih duit. Lagian Haji Husni mau ngasih orang duit mukanya kayak mau buntungin tit*t orang. Wajarlah kita lari," balas Elzan.
"Iya, sih. Tapi ternyata dia baik, ya?"
"Iya, Do. Gue juga nggak nyangka. Ternyata bener kata emak gue, kita, tuh, nggak boleh nilai orang dari kolornya."
"Maksud lu cover kali?"
"Ah, perasaan kolor, dah."
"Ya, serah lu, dah. Terus mau kita beliin apaan, nih, duit?"
"Kita beli nasi Padang aja buat sahur, gimana?"
"Gas!"
Mereka pun melangkah menuju warung Padang terdekat. Wajah lelah mereka berubah jadi raut bahagia yang tak henti-henti.
Selesai.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI