Pendahuluan
Perkembangan ilmu akuntansi tidak dapat dilepaskan dari dinamika filsafat ilmu pengetahuan yang melandasinya. Sejak awal kemunculannya, akuntansi diposisikan sebagai suatu disiplin yang berfungsi untuk mencatat, mengukur, dan melaporkan aktivitas ekonomi dalam bentuk angka-angka yang dianggap objektif. Dalam paradigma klasik, akuntansi identik dengan positivisme --- suatu pandangan yang meyakini bahwa kebenaran ilmiah hanya dapat diperoleh melalui observasi empiris dan pengukuran yang terukur. Paradigma ini mengandaikan bahwa realitas ekonomi bersifat netral, dapat diukur secara pasti, dan terlepas dari pengaruh nilai-nilai subjektif manusia.
Namun, seiring berkembangnya pemikiran sosial dan kemanusiaan, muncul kesadaran baru bahwa akuntansi tidak semata-mata bersifat teknis atau mekanis. Akuntansi tidak hanya merekam realitas ekonomi, tetapi juga membentuk dan menafsirkan realitas tersebut melalui proses sosial, politik, dan budaya. Laporan keuangan, misalnya, bukan sekadar kumpulan data numerik, tetapi merupakan hasil konstruksi sosial yang mencerminkan nilai-nilai, ideologi, serta kepentingan para pelakunya. Dalam konteks inilah muncul kebutuhan untuk memahami akuntansi melalui pendekatan interpretatif, salah satunya melalui kerangka hermeneutik. Â
Teori akuntansi berkembang seiring perubahan paradigma ilmu pengetahuan dan dinamika sosial masyarakat. Jika pada masa awal akuntansi lebih banyak dipandang sebagai ilmu positif yang menekankan objektivitas, pengukuran, dan keterandalan data numerik, maka dalam perkembangan berikutnya muncul berbagai pendekatan interpretatif yang melihat akuntansi sebagai fenomena sosial yang sarat makna. Salah satu pendekatan yang memberi warna baru dalam kajian teori akuntansi adalah hermeneutika, terutama sebagaimana dikembangkan oleh Wilhelm Dilthey, filsuf Jerman yang menekankan pemahaman (verstehen) terhadap tindakan manusia dalam konteks kehidupan sosial dan historisnya.Â
Pendekatan hermeneutik Dilthey memandang bahwa untuk memahami gejala sosial, termasuk akuntansi, tidak cukup hanya dengan menjelaskan (erklren) hubungan sebab-akibat sebagaimana dalam ilmu alam, melainkan harus memahami makna di balik tindakan manusia. Dengan demikian, akuntansi tidak lagi dipandang sekadar sebagai teknik pencatatan transaksi ekonomi, tetapi sebagai bahasa sosial yang merepresentasikan nilai, budaya, dan interaksi manusia di dalam organisasi.Â
Tulisan ini akan membahas teori akuntansi dalam perspektif hermeneutik Wilhelm Dilthey melalui pendekatan 2W1H (What, Why, How). Pembahasan mencakup pengertian dasar (what), urgensi dan relevansi penerapan pendekatan ini dalam teori akuntansi (why), serta cara penerapannya dalam memahami praktik dan penelitian akuntansi (how).Â
What: Pengertian dan Konsep Hermeneutik Wilhelm Dilthey dalam Teori Akuntansi
1. Hermeneutik sebagai Landasan Pemahaman Ilmu Sosial
Hermeneutik, secara sederhana, adalah seni dan metode menafsirkan makna dari ekspresi manusia. Dalam perkembangannya, hermeneutik bukan hanya digunakan untuk menafsirkan teks suci atau karya sastra, tetapi juga diterapkan dalam memahami tindakan manusia dan realitas sosial.
Wilhelm Dilthey (1833--1911) dianggap sebagai tokoh kunci yang membawa hermeneutik dari sekadar metode penafsiran teks menuju metodologi ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften). Dalam karyanya Einleitung in die Geisteswissenschaften atau Introduction to the Human Sciences, Dilthey menegaskan bahwa realitas sosial dan perilaku manusia tidak bisa dijelaskan dengan hukum kausalitas sebagaimana dalam ilmu alam, tetapi harus dipahami melalui pengalaman hidup dan makna yang terkandung di dalamnya.
Secara etimologis, hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan atau menjelaskan. Dalam tradisi filsafat, hermeneutik awalnya berkembang sebagai metode penafsiran teks-teks suci, kemudian berkembang menjadi metode pemahaman terhadap berbagai ekspresi kehidupan manusia. Wilhelm Dilthey (1833--1911) merupakan tokoh penting dalam perkembangan hermeneutik modern yang berupaya menegaskan perbedaan antara ilmu alam (Naturwissenschaften) dan ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften). Â
Menurut Dilthey, ilmu alam berusaha menjelaskan fenomena melalui hukum-hukum sebab-akibat, sedangkan ilmu kemanusiaan berusaha memahami kehidupan batin dan makna tindakan manusia. Oleh karena itu, ilmu sosial tidak dapat dipahami dengan metode kuantitatif semata, tetapi harus melalui pendekatan interpretatif yang menempatkan manusia sebagai subjek yang memiliki kesadaran, nilai, dan pengalaman historis.Â
Dalam pandangan Dilthey, manusia mengekspresikan kehidupan batinnya melalui berbagai bentuk "objektivasi kehidupan" (objectifications of life), seperti tindakan sosial, karya seni, tulisan, dan lembaga. Semua ekspresi ini dapat ditafsirkan karena mengandung makna yang bersumber dari kesadaran manusia. Dengan kata lain, setiap tindakan manusia adalah teks yang dapat ditafsirkan.