Mohon tunggu...
Deni I. Dahlan
Deni I. Dahlan Mohon Tunggu... Penulis - WNI

Warga Negara Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Pohon Mandrake yang Dicaci

14 Mei 2021   02:57 Diperbarui: 14 Mei 2021   03:02 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tanaman mandrake. (Sumber Ilustrasi: Pixabay)

Dunia itu dulunya dipenuhi bunga. Banyak bunga berwarna -- warni yang tinggal disana. Mereka hidup damai. Bangun di pagi hari. Berjalan -- jalan, melompat dan beterbangan saat siang hari. Lalu berdiam saat malam tiba.

Kehidupan mereka sempurna, sampai suatu malam muncullah tanaman mandrake. Umbi -- umbinya yang kekar, dan sulur -- sulurnya yang panjang, datang saat para bunga tidur. Mereka melilitnya dengan sulur, menebasnya dengan badan kokoh mereka, hingga jumlah bunga berkurang.

Mandrake itu datang dari daerah seberang. Mereka tumbuh subur di sebuah kastil kuno. Dan ada seorang nona yang merawat mereka.

Nona itu awalnya ingin membangun desanya dengan tanaman yang hijau dan rimbun. Tapi niat mulianya dimanfaatkan oleh tanaman mandrake. Sampai akhirnya, nona tahu itu dan kasihan melihat nasib bunga -- bunga.

"Oh tidak! Kenapa? Kenapa kalian tega berbuat begitu?" kata si nona sambil menutup mulutnya, tak percaya akan yang dilihatnya.


"Itu harga yang harus dibayar mereka." kata si mandrake.

"Kalian sesama tumbuhan. Kenapa kalian tega?"

"Dengar. Bukan kami yang memulai."

"Apa maksudmu?"

"Bunga -- bunga itulah yang memulai perang ini. Dulu kami diejek oleh mereka."

"Diejek?"

"Ya. Suatu hari, kami lewat di depan mereka. Ada beberapa bunga disana, dan mereka membicarakan kehebatan mereka sendiri."

Si mandrake meneruskan.

"Ada bunga melati. Dia bangga akan harum dan wanginya. Di sebelahnya ada teratai. Dia senang karena hanya dia yang bisa terapung di atas air. Lalu ada si mawar. Banyak yang terpesona oleh keindahannya."

"Lalu saat kami lewat di depan mereka, mereka bilang, "Hei! Coba lihat si sulur itu! Kita disukai oleh banyak orang. Tapi si sulur itu, tak ada yang mau dekat dengannya!"

"Mereka pun tertawa dan terus mencela kami. Mereka bilang "Tanaman sampah!", "Jelek!" dan sebagainya. Tapi kami sadar, kami cuma hidup di tanah, sedangkan mereka ada di puncak atas. Kami tahu, kami kalah dari awal."

Si nona masih mendengarkan.

"Tapi mereka tak melihat, kalau di dalam tanah, timbul rasa tak nyaman, marah, dan keinginan untuk membalas perbuatan mereka. Rasa itu terus tumbuh, berkembang dan menjadi umbi yang padat di dalam tanah."

"Kami terus menumpuk rasa itu. Mereka tidak tahu, ejekan mereka membuat tubuh kami setebal ini, penuh dengan tulang dendam beserta daging amarah."

"Sejak itulah, kami memutuskan untuk menyerang mereka, bagaimanapun caranya."

Si mandrake mendenguskan hidungnya. Sementara si nona membatu, mencerna masa lalu mandrake yang kelam.

"Tega.." kata si nona pelan.

"Kalian tega, membunuh bunga lain hanya untuk membalas dendam."

"Benar -- benar tega.." Si nona menangis sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

Si mandrake pun berkata lagi.

"Bagaimana rasanya saat pasukan itu merusak kebunmu?"

Si nona berhenti menangis.

"Kau sedih, kan?"

Si nona tak menjawab.

"Marah, kan? Persis seperti itulah yang kami rasakan saat bunga -- bunga itu mengejek kami jelek."

Si nona menjawab.

"Tapi.. Tidak seharusnya kalian berbuat seperti itu! Hanya karena mereka berbuat jahat kepada kalian, bukan berarti kalian harus membalasnya!"

"Lalu apa yang harus kami lakukan? Diam saja dan memaafkan mereka?"

Si nona berhenti berucap.

"Setelah memaafkan mereka, tak ada yang bisa menjamin mereka tidak mengejek kami lagi!"

Si nona menunduk.

"Benar. Tapi itu pilihanmu."

"Apa maksudmua?"

"Kalau dulu aku tahu jadinya bakal begini, aku memilih untuk tidak ikut kalian kesini dan merusak mereka!"

Si nona melanjutkan.

"Melihat kebunku dibakar sudah cukup. Aku tak ingin ada makhluk selain diriku yang menderita."

Mandrake tak menjawab. Lalu ia perlahan mendekati si nona.

"Niatmu sungguh mulia, Nona. Tapi meski kau tak berbuat usil kepada mereka, apakah kau bisa menjamin keselamatan mereka dari godaan selain dirimu?"

Mandrake itu menatap kedua mata si nona.

"Bisakah?" tanyanya, membuat si nona kehabisan kata.

"Hentikan! Pokoknya aku tak mau kalian menyerang bunga -- bunga itu lagi!"

"Tapi kau sudah berjalan sejauh ini. Lihatlah! Separuh wilayah di dunia bunga ini sudah kita kuasai! Tidakkah kau senang dengan pencapaian ini? Bukankah ini yang kau inginkan?"

Ia pun bingung, apa yang harus dilakukan. Lalu ia ingat mimpi saat ia kecil dulu. Ia mengenang dirinya yang duduk dengan seorang pemuda.

"Tempat ini sungguh indah, kan." kata si nona.

"Ya. Aku suka tempat ini. Banyak tumbuhan dan setiap pagi aku bisa mendengar suara burung emprit berkicau." Kata si pemuda, lalu ia bersiul menirukan kicauan burung itu.

"Ngomong -- ngomong, apa keinginanmu nanti?" Tanya si nona.

"Keinginan? Aku ingin makan yang banyak dan enak. Mungkin aku akan menanam kacang, lalu merebusnya dan menjualnya. Kalau ada yang beli, aku jual. Kalau tidak, ya sudah aku makan sendiri."

"Tapi dengan begitu, kau tidak bisa makan banyak dan enak."

"Bisa saja. Asal aku menanam banyak kacang dan merebusnya dengan bumbu yang paling enak."

Si nona meninju perutnya.

"Jangan makan banyak -- banyak. Nanti perutmu jadi buncit dan tak ada wanita yang mau denganmu."

Sambil meringis kesakitan, "Perut buncit lambang kemakmuran, tahu!"

"Kalau kau bagaimana, jangan -- jangan kau ingin menjadi pacar penjual kacang berperut buncit."

Si nona menyikut lagi. si pemuda mengaduh lagi.

"Enak saja. Aku punya cita -- cita yang lebih tinggi!"

"Oh ya? Menjadi istri penjual kacang berperut buncit?"

Kali ini si pemuda berhasil menangkisnya.

"Aku suka tinggal disini. Mungkin aku akan membuat sesuatu yang berguna untuk kampung ini. Aku ingin membangun tempat ini biar lebih baik."

Si pemuda menatapnya sambil bengong.

"Kenapa?"

"Ah, enggak. Aku pikir itu cocok untuk gadis yang suka melamun sepertimu."

"Dasar kau!"

Mereka kembali kejar -- kejaran sambil tertawa riang. Dan bayangan itu perlahan sirna dari kepala si nona. Kini dia hanya bisa meremas kedua pipinya dan berkata dalam hati, "Andai saja dia ada disini.. Pasti aku akan minta sarannya."

Sementara si mandrake, masih berdiri di depan si nona.

"Saat aku lahir, aku tak punya keinginan apapun.." kata si mandrake.

"..itu tidak menarik, tapi membuatku tetap aman.. sampai akhirnya, mereka mengejek kami dan keinginan itu pun timbul.."

"..demi para mandrake.. kami akan menghancurkan mereka.."

"..dan menjadikan dunia ini hijau oleh sulur dan umbi kami.."

"..jadi kumohon, hijaukan tempat ini dengan tangan ajaibmu, Nona."

Kata si mandrake kepada si nona. Si nona yang masih merasa campur aduk, hanya diam tak menjawab, namun tangan kanannya mulai menyentuh sulur -- sulur hijau itu, dan menghidupkan para mandrake untuk pergi ke seberang, melanjutkan untuk meraih cita -- cita yang mereka perjuangkan.

Tamat

Cerita sebelumnya:
Sulur - sulur Pendusta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun