Mohon tunggu...
Darno Latif
Darno Latif Mohon Tunggu... Guru - Guru

Membaca itu bukan hobi tapi kebutuhan pokok

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pelayaran Terakhirku

31 Oktober 2022   09:53 Diperbarui: 31 Oktober 2022   09:59 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tahun 2004 silam, masih teringat di dalam memori. Itulah saat-saat menentukan dalam hidupku. Apakah menjadi seorang pelaut ataukah melanjutkan sekolah dengan meraih gelar sarjana? Tuntutan ekonomi keluarga dan desakan pemilik kapal. Ia telah berhasil membujuk Ibu agar saya ikut berlayar lagi kali ini.

Demi mengepulkan asap dapur. Dimana Ayah sudah tidak mampu lagi bekerja seperti dulu. Dilihat dari usia, saya sudah layak untuk membantu orang tua. Tapi dilihat dari fisik dan tenaga, saya tidak terbiasa bekerja berat. Inilah takdir hidup yang harus saya jalani.

Saat menikah usia Ayah dan Ibu terlampau jauh. Namun saya tidak bisa menolaknya karena Ayah saya sangat mencintai Ibu saya. Mereka berdua pun berjodoh. Itulah takdirnya. Saya seringkali bertanya kepada Ayah perihal itu. Pertanyaan tersebut membuat Ayah saya sedikit emosi. Sejak kecil saya memang anak yang suka bertanya. Kadang orang-orang bingung dengan pertanyaan saya.

Saya selalu berpikir dalam hati, "Bagaimana nasibku kelak?", apakah nanti sama seperti Ayah yang hanya menjadi seorang petani mengharapkan air hujan. "Namun seberat apa pun cobaan hidup saya adalah seorang laki-laki, kelak, In Syaa Allah, saya harus sukses", hiburku dalam hati.

Namun sejujurnya pekerjaan itu sangat saya tidak sukai. Sedikit tergores rasa kesal kepada pemilik kapal. Dengan bujukannya, akhirnya Ibu saya terpaksa merelakan kepergian kami. Tujuan kami kali ini adalah pelabuhan gorontalo.

Dengan tenaga yang terbatas, Saya mengangkat jangkar kapal pertama kalinya. Tali yang digunakan cukup besar. Sedikit ada goresan di telapak tangan karena tali itu. Kakak saya menghampiri dan membantu menambatkan tali jangkar di bagian buritan kapal.

Kakak mengajari saya bagaimana cara melilitkan tali jangkar saat jangkar terangkat. Tapi dasar bodohnya saya, sampai saat ini saya belum mahir menambatkannya. Lalu saya dihadiahi sebuah kata-kata bodoh. Begitulah suasana sesama awak buah kapal. Kata para pelaut itu hal yang lumrah. Namun saya yang masih pemula saat itu merasa ini bukan metode yang tepat untuk mengajari orang.

Kapal berlayar dengan pelan, melewati sela-sela tiang yang tertancap. Sang Kapten atau pemilik kapal dengan hati-hati keluar dari kampung tua yang telah kosong penduduknya karena bencana gempa bumi tahun 2000.

Setelah melewati lautan dangkal, kapal berlayar ke arah pelabuhan Bolonan untuk mengangkut muatan kacang. Tidak ada jembatan, kapal kami berlabuh di depan kampung. Muatan kapal kali ini berupa kacang yang diangkut para buruh pelabuhan. Mereka membawanya dengan menggunakan perahu rakit.

Hari itu adalah hari yang sangat menyakitkan. Tak terhitung kata-kata bodoh dilontarkan kepada saya. Saya berpikir dalam hati, "Yaa Allah, beginikah hidup ini?". Sebenarnya saya bukan orang yang cepat tersinggung. Pada dasarnya, saya memang tidak menyukai pekerjaan ini. "Saya akan mendaftar SMA lalu melanjutkan ke perguruan tinggi kalau saya punya kesempatan," kataku dalam hati.

Setelah semuanya selesai, saya menyempatkan shalat zhuhur di dalam kapal. Ayah berpesan kepada saya agar tidak meninggalkan shalat. Malam hari cahaya bulan sangat terang, lautan teduh. Saya mulai menikmati berlayar dengan kapal. Layar dibentangkan. Kapal kami melaju seperti kapal dalam film The Pirates Of The Carribean.  Indahnya pemandangan laut di malam hari. Tiba-tiba kapal berhenti karena kata kapten kapal, baling-baling tersangkut tali jadi harus ada satu orang yang turun ke laut untuk melepaskan tali yang terlilit pada baling-baling.

Kakak saya dengan percaya diri mengambil kacamata renang lalu terjun ke laut di malam hari. Sebenarnya ada rasa khawatir dalam hati. "Jangan nanti ada ikan hiu", gumamku dalam hati. Bagaimana pun dia adalah saudara saya. Kami lahir dari rahim yang sama. Saya juga tidak suka kalau kakak saya hanya diperalat pemilik kapal. Saya mencoba menenangkan perasaan. Setelah beberapa menit kakak saya muncul dari dalam air. "Sudah selesai", katanya kepada kapten kapal.

Mesin pun dihidupkan dan kapal kembali berlayar. Ada kerinduan yang amat dalam saat melihat pemandangan indah. Kerinduan berkumpul dengan keluarga. Kadang teringat masa kecil bagaimana kasih sayang Ayah dan Ibu.

 Tatapanku kadang kosong, karena selalu memikirkan masa depan. "Saya tidak harus seperti ini,"kataku dalam hati. Selalu ada gejolak batin setiap saat. Saya kerap kali menghibur diri dengan berkata, "saya tidak boleh meratapi keadaan, inilah takdir hidup yang harus saya jalani". Kapal semakin mendekat ke tempat tujuan. Di kejauhan terlihat gunung memanjang kehijauan. Sangat indah, sehingga dapat menghilangkan rasa sedih itu. Kapten kapal berkata: "Kita hampir sampai pelabuhan gorontalo."

Ketika kapal hendak sandar ke pelabuhan. Suasana dalam kapal mulai gaduh. Dengan cekatan, saya berlari ke bagian belakang kapal menahan tali jangkar agar kapal tidak menabrak kapal lainnya. Ada beberapa kapal yang sandar. Para ABK kapal saling membantu, akhirnya kapal sandar di pelabuhan gorontalo dengan selamat.

Buruh bongkar muat pun masuk ke dalam kapal. Ada beberapa orang yang memanggil saya dengan panggilan Daeng. Mungkin karena kapal kami mirip perahu pinisi buatan orang makassar. Pemilik kapal pun disambut oleh kawan lamanya. Ia terkenal dari usia muda sebagai seorang pelaut. Banyak pelayaran yang dilakukannya dan orang-orang yang datang banyak mengenalinya. Setelah para buruh selesai membongkar muatan kapal. Saya sangat letih. Lalu saya mencari tempat di dalam kapal untuk tidur melepaskan rasa lelah.

Setelah menemukan tempat tidur di sisi lambung kapal, saya pun tertidur sangat pulas, sampai-sampai saya tidak tahu berapa lama saya telah tertidur. Setalah bangun pemilik kapal menjanjikan saya untuk membeli baju di pasar gorontalo keesokan harinya. Setelah kemudian hari baru saya tahu ternyata upah yang diberikan kepada Ibu saya tidak sesuai dengan perjanjian.

Ayah dan Ibu saya adalah orang yang sangat baik. Kadang mereka berdua mengorbankan hartanya untuk menolong orang lain. Pernah suatu hari, Orang Tasik di daerah jawa kehabisan bekal di jalan. Saat itu dia sedang menjual alat-alat kosmetik sambil berkeliling. Dagangannya tidak laku. Lalu Ibu saya menyuruhnya untuk tinggal bersama kami di rumah. Padahal rumah kami sempit dan terbuat dari kayu.

Esok harinya, di pagi hari saya pun berangkat bersama pemilik kapal ke pasar. Membeli dua buah baju kemeja. Sebenarnya saya tidak suka. Tapi saya menghargai pemberian beliau. Setelah tiga hari di gorontalo, saatnya kami akan balik ke Banggai. Muatan kapal pun dinaikkan. Kapal penuh dengan barang.

Melihat muatan kapal yang begitu banyak, saya yang masih pelaut muda, sangat khawatir. Jangkar pun ditarik kemudian mesin dinyalakan. Kami meninggalkan pelabuhan gorontalo di sore hari. Di kejauhan terlihat awan pekat gelap seperti azab yang akan ditimpakan kepada kaum 'Ad. Saya pun mulai gentar. Yaa Allah inikah akhir kehidupanku.

Apakah saya akan menjadi santapan ikan hiu. Banyak pertanyaan yang muncul. Malam hari pun tiba, ombak menghantam buritan kapal dan kapal berjoget bak ayunan. Saya mulai merasakan kepala pening. "Mungkin ini mabuk laut," pikir saya dalam hati. Beberapa kali saya muntah sambil berpegangan disisi kapal. Saya berjalan terhuyung-huyung karena kuatnya ombak malam itu.

Petir dan hujan saling bersahutan. Seolah menggambarkan ganasnya kehidupan laut. Suara deru ombak semakin kencang. Saya hanyut dalam lamunan. "Seandainya saya tidak ikut berlayar", kataku dengan penyesalan.

Kakak saya turun ke palka kapal memeriksa papan kapal. Karena air terlalu cepat naik sampai ke roda gila mesin. Kakak saya menyampaikan kabar bahwa papan kapal sedikit terbuka sehingga air cepat masuk ke lunas kapal. Kakak saya berusaha menyumbatnya semacam serabut khusus untuk kapal.

Adapun kapal yang kami tumpangi adalah kapal dari kayu. Jumlah kami hanya bertiga. Dalam keadaan lapar, haus, capek, takut. Saya memaksakan diri untuk memompa air dari dalam kapal selama 8 jam. Karena kapal memang tidak memiliki mesin pompa air.

Tangan saya mulai terasa sakit karena 8 jam memompa air. Saya pun berdoa kepada Allah. "Yaa Allah selamatkanlah pelayaran kami". Setibanya di pelabuhan Banggai saya berjanji tidak akan bekerja lagi sebagai ABK.

Bersambung.........

(Kisah nyata)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun