Mohon tunggu...
Darno Latif
Darno Latif Mohon Tunggu... Guru - Guru

Membaca itu bukan hobi tapi kebutuhan pokok

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pelayaran Terakhirku

31 Oktober 2022   09:53 Diperbarui: 31 Oktober 2022   09:59 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kakak saya dengan percaya diri mengambil kacamata renang lalu terjun ke laut di malam hari. Sebenarnya ada rasa khawatir dalam hati. "Jangan nanti ada ikan hiu", gumamku dalam hati. Bagaimana pun dia adalah saudara saya. Kami lahir dari rahim yang sama. Saya juga tidak suka kalau kakak saya hanya diperalat pemilik kapal. Saya mencoba menenangkan perasaan. Setelah beberapa menit kakak saya muncul dari dalam air. "Sudah selesai", katanya kepada kapten kapal.

Mesin pun dihidupkan dan kapal kembali berlayar. Ada kerinduan yang amat dalam saat melihat pemandangan indah. Kerinduan berkumpul dengan keluarga. Kadang teringat masa kecil bagaimana kasih sayang Ayah dan Ibu.

 Tatapanku kadang kosong, karena selalu memikirkan masa depan. "Saya tidak harus seperti ini,"kataku dalam hati. Selalu ada gejolak batin setiap saat. Saya kerap kali menghibur diri dengan berkata, "saya tidak boleh meratapi keadaan, inilah takdir hidup yang harus saya jalani". Kapal semakin mendekat ke tempat tujuan. Di kejauhan terlihat gunung memanjang kehijauan. Sangat indah, sehingga dapat menghilangkan rasa sedih itu. Kapten kapal berkata: "Kita hampir sampai pelabuhan gorontalo."

Ketika kapal hendak sandar ke pelabuhan. Suasana dalam kapal mulai gaduh. Dengan cekatan, saya berlari ke bagian belakang kapal menahan tali jangkar agar kapal tidak menabrak kapal lainnya. Ada beberapa kapal yang sandar. Para ABK kapal saling membantu, akhirnya kapal sandar di pelabuhan gorontalo dengan selamat.

Buruh bongkar muat pun masuk ke dalam kapal. Ada beberapa orang yang memanggil saya dengan panggilan Daeng. Mungkin karena kapal kami mirip perahu pinisi buatan orang makassar. Pemilik kapal pun disambut oleh kawan lamanya. Ia terkenal dari usia muda sebagai seorang pelaut. Banyak pelayaran yang dilakukannya dan orang-orang yang datang banyak mengenalinya. Setelah para buruh selesai membongkar muatan kapal. Saya sangat letih. Lalu saya mencari tempat di dalam kapal untuk tidur melepaskan rasa lelah.

Setelah menemukan tempat tidur di sisi lambung kapal, saya pun tertidur sangat pulas, sampai-sampai saya tidak tahu berapa lama saya telah tertidur. Setalah bangun pemilik kapal menjanjikan saya untuk membeli baju di pasar gorontalo keesokan harinya. Setelah kemudian hari baru saya tahu ternyata upah yang diberikan kepada Ibu saya tidak sesuai dengan perjanjian.

Ayah dan Ibu saya adalah orang yang sangat baik. Kadang mereka berdua mengorbankan hartanya untuk menolong orang lain. Pernah suatu hari, Orang Tasik di daerah jawa kehabisan bekal di jalan. Saat itu dia sedang menjual alat-alat kosmetik sambil berkeliling. Dagangannya tidak laku. Lalu Ibu saya menyuruhnya untuk tinggal bersama kami di rumah. Padahal rumah kami sempit dan terbuat dari kayu.

Esok harinya, di pagi hari saya pun berangkat bersama pemilik kapal ke pasar. Membeli dua buah baju kemeja. Sebenarnya saya tidak suka. Tapi saya menghargai pemberian beliau. Setelah tiga hari di gorontalo, saatnya kami akan balik ke Banggai. Muatan kapal pun dinaikkan. Kapal penuh dengan barang.

Melihat muatan kapal yang begitu banyak, saya yang masih pelaut muda, sangat khawatir. Jangkar pun ditarik kemudian mesin dinyalakan. Kami meninggalkan pelabuhan gorontalo di sore hari. Di kejauhan terlihat awan pekat gelap seperti azab yang akan ditimpakan kepada kaum 'Ad. Saya pun mulai gentar. Yaa Allah inikah akhir kehidupanku.

Apakah saya akan menjadi santapan ikan hiu. Banyak pertanyaan yang muncul. Malam hari pun tiba, ombak menghantam buritan kapal dan kapal berjoget bak ayunan. Saya mulai merasakan kepala pening. "Mungkin ini mabuk laut," pikir saya dalam hati. Beberapa kali saya muntah sambil berpegangan disisi kapal. Saya berjalan terhuyung-huyung karena kuatnya ombak malam itu.

Petir dan hujan saling bersahutan. Seolah menggambarkan ganasnya kehidupan laut. Suara deru ombak semakin kencang. Saya hanyut dalam lamunan. "Seandainya saya tidak ikut berlayar", kataku dengan penyesalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun