Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Akhirnya, Presiden Jokowi Sadar bahwa Wacana Penundaan Pemilu Itu Tak Berguna

9 April 2022   11:53 Diperbarui: 9 April 2022   11:56 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Supriyanto (Kompas.id)

Setelah berbulan-bulan gaduh dan semakin gaduh tentang wacana penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden, Presiden Jokowi untuk kesekian kalinya angkat bicara. Kali ini ia lebih tegas. Sebelumnya bebebarapa kali pernyataan-pernyataan sikapnya untuk menghentikan wacana seperti itu tak pernah berhasil.

Kali ini, Presiden Jokowi  perintahkan para menterinya agar berhenti mewacanakan penundaan pemilu 2024 dan perpanjangan  masa jabatan presiden. Karena memang sumber wacana tersebut justru dari beberapa menterinya. Sehingga beberapa pihak pun curiga bahwa sesungguhnya wacana tersebut justru diskenariokan dari Istana Negara.

Perintah untuk tidak lagi menyuarakan penundaan Pemilu 2024 atau perpanjangan masa jabatan ini disampaikan Presiden Jokowi dalam pidato pengantar sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, Selasa (5/4/2022). Yang baru dipublikasikan pada Rabu (6/4/2022). Jokowi bilang, ia tak ingin ada lagi menteri yang bicara soal presiden 3 periode maupun pemilu ditunda.

"Jangan sampai ada lagi yang menyuarakan lagi mengenai urusan penundaan, urusan perpanjangan, nggak," kata Jokowi dalam tayangan YouTube Sekretariat Presiden, Rabu (6/4/2022).

Jokowi pun meminta jajarannya fokus bekerja menuntaskan berbagai persoalan yang dihadapi negara. "Jangan menimbulkan polemik di masyarakat, fokus pada bekerja dalam penanganan kesulitan-kesulitan yang kita hadapi," ucapnya.

Sebelum menyinggung isu tersebut, Jokowi menyampaikan soal pentingnya memiliki sense of crisis. Di tengah sulitnya situasi rakyat akibat kenaikan harga sejumlah kebutuhan pokok. Para menteri, katanya, harusnya bisa menyampaikan pernyataan yang lebih berempati. "Sikap-sikap kita, kebijakan-kebijakan kita, pernyataan-pernyataan kita harus memiliki sense of crisis, harus sensitif terhadap kesulitan-kesulitan rakyat."

Padahal, sebelumnya, pada 4 Maret 2022, atas nama demokrasi Presiden Jokowi justru menoleransi wacana penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden itu yang disebarkan antara lain oleh Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, dan -- diduga sebagai otak utamanya: Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dengan klaim "big data"-nya.

Selain itu ada Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang juga Wakil Ketua DPR Abdul Muhaimin Iskandar, dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) sekaligus Wakil Ketua MPR Zulkifli Hasan yang juga ikut menyebarkan wacana tersebut.

Ketika itu Jokowi menyatakan, wacana seperti penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden tidak bisa dilarang, karena hal itu bagian dari demokrasi. Namun, semua pihak, termasuk dirinya, harus tunduk, taat, dan patuh pada konstitusi.

"Siapa pun boleh-boleh saja mengusulkan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan (masa jabatan presiden), menteri atau partai politik, karena ini kan demokrasi. Bebas saja berpendapat. Tetapi, kalau sudah pada pelaksanaan, semuanya harus tunduk dan taat pada konstitusi," ujar Jokowi kepada wartawan Kompas di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat (4/3/2022).

Tulisan saya di Kompasiana, 18 Maret 2022, berjudul "Jokowi Digoda Wacana Penundaan Pemilu 2024"  mengkritisi pernyataan Jokowi tersebut.

Di artikel itu saya mempertanyakan alasan "demi demokrasi" yang disampaikan Jokowi untuk menoleransi wacana penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden tersebut. Yang justru dilakukan oleh antara lain tiga orang menterinya.

Saya mempertanyakan, meskipun dengan alasan demi demokrasi, apakah wacana tersebut pantas, penting dan etis untuk diwacanakan? Karena wacana itu sesungguhnya tak berguna selain hanya membuat kegaduhan, saling curiga di antara sesama anak bangsa. Bahkan sekarang mulai memanasi suhu politik dengan bermunculannya aksi mendukung dan aksi menolak wacana tersebut. Di berbagai daerah aksi-aksi unjuk rasa mahasiswa menolak wacana penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden itu mulai marak. Beberapa di antaranya berujung pada kericuhan. 

Untuk apa wacana tersebut diutarakan mereka, kalau bukan tekadnya memang untuk dilaksanakan? Di balik wacana tersebut diduga adalah rancangan untuk mengadakan amendemen UUD 1945 untuk melegalkan pelaksanaan wacana tersebut.

Apakah kita layak percaya usul tersebut hanya semata-mata sekadar wacana berdasarkan demokrasi? Tanpa motivasi, maksud dan tujuan apapun?

Pada hakikatnya wacana tersebut jika dilaksanakan bertentangan dan melawan konstitusi, yaitu UUD 1945. Untuk apa suatu wacana dilakukan kalau wacana tersebut bertentangan dengan konstisusi? Sedangkan Jokowi sendiri bilang, kita semua, termasuk dirinya harus taat, patuh dan tunduk pada  konstitusi.

Melakukan amendemen terhadap UUD 1945 untuk melegalkan pelaksanaan wacana tersebut pun lebih jahat daripada wacana itu sendiri. Betapa tidak demi kepentingan politik sesaat, demi ambisi dan keserakahan kekuasaan, para elit politik itu sampai melakukan amendemen konstitusi. Amendemen hanya demi kepentingan mereka! Ironisnya, amendemen itu justru akan dilakukan untuk mengubah kembali konstitusi yang membatasi kekuasaan.

Syukurlah, setidaknya yang kasat mata sampai saat ini, kita tidak melihat ada gerakan-gerakan signifikan upaya di MPR untuk melakukan amendemen UUD 1945, apalagi amendemen untuk penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden, atau mengubah masa jabatan presiden menjadi tiga periode.

Wacana penundaan Pemilu 2024 dan memperpanjang masa jabatan presiden yang semula ditoleransi Jokowi atas nama demokrasi itu pun justru menjadi bumerang baginya.

Berbagai hasil survei dari beberapa lembaga survei terpercaya menyatakan mayoritas rakyat, termasuk mayoritas pendukung Jokowi menolak wacana tersebut.

Wacana tersebut juga justru menggerus tingkat kepercayaan rakyat terhadap demokrasi di era Presiden Jokowi saat ini. Mereka menilai di era Jokowi saat ini bangsa ini justru mulai bergerak ke arah yang salah. 

Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) merilis survei terkait efek negatif dari wacana penundaan pemilu. Mulai dari arah perjalanan bangsa, kinerja demokrasi, dan kepuasan atas kinerja Jokowi sebagai Presiden. 

Dalam setahun terakhir, SMRC mencatat jumlah warga yang menilai bangsa bergerak ke arah yang benar menurun proporsinya dari 80% pada survei Maret 2021 menjadi 68% dalam survei Maret 2022. Sebaliknya, yang menilai bangsa bergerak ke arah yang salah naik dari 14% menjadi 23% pada periode yang sama.

Kepuasan warga terhadap pelaksanaan demokrasi juga merosot dari 71,9% pada survei Maret 2021 menjadi 61,7% dalam survei Maret 2022. Sementara yang tidak puas naik dari 25,7% menjadi 33,5%.

Tingkat kepuasan warga atas kinerja Jokowi sebagai Presiden turun dari 77% pada survei Maret 2021 menjadi 64,6% pada survei terakhir Maret 2022. Sebaliknya proporsi yang tidak puas naik dari 22,2% menjadi 32,2%

H Wiranto, Ketua Dewan Pertimbangan Presiden, di artikelnya yang berjudul "Bersitegang Mempersoalkan Peristiwa yang Tidak Mungkin Terjadi",  dimuat di koran Kompas, Jumat, 8/4/2022, menyatakan, polemik yang semakin ramai, bersitegang sampai mulai melakukan unjuk rasa di berbagai daerah menolak wacana penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden merupakan kegiatan yang sia-sia. Sebab, hal itu sesuatu yang tidak akan mungkin dan tidak akan pernah terjadi.

Wiranto punya empat argumen untuk mendukung pernyataannya itu. Ia menulis:

Pertama, untuk mewujudkan isu tersebut, perlu perubahan padal UUD 1945 (amendemen). Sedangkan untuk melakukan perubahan itu perlu  dukungan mayoritas anggota MPR. Faktanya, rasio yang mendukung ternyata lebih kecil, hanya tiga partai politik, yakni Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Golkar, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Adapun yang menolak terdiri atas enam partai politik, yakni PDI-P (PDI-P), Partai Nasdem, Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), ditambah Dewan Pertimbangan Daerah (DPD).

Kedua, sampai sejauh ini tidak tampak kegiatan apa pun dari lembaga-lembaga pemerintah, MPR, ataupun lembaga pemilu untuk melakukan persiapan dalam rangka perubahan jadwal pemilu dari jadwal yang sudah ditetapkan.

Ketiga, pemerintah saat ini sedang berkonsentrasi menangani pemulihan ekonomi nasional dan menuntaskan mitigasi Covid-19 sehingga tidak ada kehendak untuk mematangkan isu tersebut menjadi program nasional.

Keempat, tentunya kita sangat memahami bahwa Presiden Jokowi adalah figur pemimpin nasional yang berasal dari Jawa Tengah. Presiden sangat memahami salah satu filosofi sebagai pemimpin, yang dalam bahasa Jawa diungkapkan sebagai sabdo pandito ratu, tan keno wola-wali, yang artinya bahwa apa yang diucapkan oleh seorang pemimpin tidak akan berubah lagi. Larangan bagi para menterinya untuk tidak lagi menyuarakan isu perpanjangan jabatan presiden atau penundaan pemilu bisa meneguhkan sinyalemen ini.

Dengan demikian, dapat disimpulkan melalui argumentasi-argumentasi di atas bahwa isu penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden tidak akan pernah terjadi. Isu itu akan tetap tercatat sebagai isu yang akan melengkapi sejarah perkembangan demokrasi di Indonesia.

Oleh sebab itu, bersitegang melanjutkan pro dan kontra---bahkan sampai melakukan unjuk rasa di bulan suci---merupakan kegiatan yang sia-sia dan hanya akan menghabiskan energi kita. Sebab, sejatinya hal itu hanya akan mempermasalahkan sesuatu yang tidak akan pernah terjadi. 

***

Ulasan-ulasan di atas memperkuat argumen saya, yang sebutkan di atas bahwa seharusnya sejak awal Jokowi tidak menoleransi para menterinya mewacanakan penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden itu, sekalipun demi alasan demokrasi, hak menyatakan pendapat, hak asasi beraspirasi, dan lain-lain sejenisnya.

Karena wacana tersebut sama sekali tak ada gunanya untuk bangsa ini. Tak ada gunanya bagi demokrasi. Sama sekali tidak konstruktif, sebaliknya sangat destruktif. Bagi bangsa ini, dan juga bagi dia (Jokowi) sendiri. Sebagaimana terbukti sekarang.

Wiranto, dalam menulis bahwa Presiden Jokowi adalah figur pemimpin nasional yang berasal dari Jawa Tengah. Presiden yang sangat memahami salah satu filosofi sebagai pemimpin, yang dalam bahasa Jawa diungkapkan sebagai sabdo pandito ratu, tan keno wola-wali, yang artinya bahwa apa yang diucapkan oleh seorang pemimpin tidak akan berubah lagi.

Semoga saja hal tersebut sungguh benar.

Karena memang Presiden Jokowi sejak 2019 sudah berkali-kali mengucapkan (membuat pernyataan) bahwa ia tidak tertarik (menolak) untuk memperpanjang masa jabatannya, atau menjadi presiden tiga periode. Bahwa kita semua, termasuk dia, harus taat, tunduk, dan patuh kepada konstisuisi.

Hanya saja sampai pada pernyataan Jokwowi bahwa ia senantiasa taat, patuh dan tunduk pada konstisusi, sebagaimana juga pernah saya tulis, masih terbuka tafsir lain, yang masih menyisakan rasa curiga kepadanya bahwa bisa saja taat konstitusi itu, termasuk taat pada konstitusi hasil "amendemen kelima".

Jadi, andaikata terjadi eskalasi politik sedemikian rupa, hingga amendemen konstitusi itu benar-benar terjadi. Yang menentukan bahwa pemilu dapat ditunda, masa jabatan presiden dapat diperpanjang, dan presiden dapat dipilih sampai tiga periode. Maka saat itu berlakulah konstitusi atau "UUD 1945 hasil amendenem kelima".

Pada saat itu, andai saja sampai Jokowi tergoda untuk memperpanjang masa jabatan presidennya, atau ikut lagi untuk ketiga kali, pilpres 2024 -- demi bisa menjadi presiden untuk ketiga kalinya (presiden tiga periode),  maka jika ada yang menagih janjinya untuk taat, patuh, dan tunduk pada konstitusi, ia bisa berkilah bahwa ia tidak ingkar. Bahwa ia masih konsisten dengan ikrarnya itu, bahwa ia tetap taat, patuh, dan tunduk pada konstitusi. Yaitu "konstitusi hasil amendemen kelima" itu.

Semoga Jokowi bukan sosok seperti itu. Saya masih percaya Jokowi memang bukan sosok "hina" seperti itu. Tapi demi meyakinkan orang-orang yang masih curiga dan sinis kepadanya, maka tidak ada salahnya jika Jokowi membuat satu lagi pernyataan yang tegas dan yang yang tidak bisa ditafsirkan lain selain yang dinyatakan.

Misalnya, "Saya tegaskan saya menolak wacana penundaan pemilu 2024 dengan alasan apapun. Pemilu 2024 tetap dilaksanakan sesuai yang telah dijadwalkan, yaitu tanggal 14 Februari 2024. Saya menolak amendemen UUD 1945 dengan alasan apapun. Saya berjanji tidak akan mau memperpanjang masa jabatan presiden saya. Saya tidak akan mau menjadi presiden tiga periode. Saya hanya menjadi presiden sampai dengan tanggal 20 Oktober 2024, saat di mana presiden baru pengganti saya resmi dilantik."

Dengan perintah Presiden Jokowi untuk menghentikan wacana penundaan Pemilu 2024, perpanjangan masa jabatan presiden, dan presiden tiga periode itu, maka seharusnya bukan hanya para menterinya saja yang memantuhi perintah tersebut, tetapi juga semua elemen masyarakat pendukung wacana tersebut.

Demikian juga, para penentang wacana tersebut, supaya berhenti melakukan berbagai pernyataan dan aksi (unjuk rasa) yang berkaiatan dengan wacana tersebut, karena mubazir dan sudah tidak relevan lagi. (dht).

Baca juga:

Jokowi Digoda Wacana Penundaan Pemilu 2024

Presiden Tiga Periode

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun