Kukatakan, aku telah mati mungkin lebih dari seribu hari--ditubuhku sejak belatung-belatung cemas gerogoti sembilan puluh sembilan bentuk matahari, dari dini hari ke dini hari.
Tak ada melati, tak ada serimpi, tak ada kamboja, apalagi kembang tujuh rupa.
Inori-inori pun beku di mulut-mulut sekelilingku, seperti berhala-berhala batu mengacuhkan kesakitanku.
Aku mati di kedalaman sepi tak terukur yang melampaui bahasa-bahasa puisi, yang tak dikenali ilmu-ilmu filologi.
Entah mengapa seorang pun tak menyadari. Mereka masih mengajakku bicara, seolah menganggap kematianku sebuah fiksi.
Padahal, aku benar-benar telah mati mungkin lebih dari seribu hari.
Adakah kematian lain selain kesepian?
Jika benar ada, itu tak lain bernapas tanpa punya harapan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI