Pengalaman di Amerika Latin juga menawarkan pelajaran penting. Meskipun banyak negara di kawasan ini menerapkan apa yang disebut "ambang batas pembubaran partai," studi menunjukkan bahwa kebijakan ini justru cenderung meningkatkan volatilitas elektoral, bukannya menstabilkan sistem kepartaian (Kouba, 2021).
Kondisi yang bertentangan dari Amerika Latin, di mana ambang batas justru kontraproduktif, berfungsi sebagai peringatan keras. Hal tersebut menegaskan bahwa setiap desain institusional harus peka terhadap konteks sosio-politik yang unik.
Oleh karena itu, reformasi di Indonesia harus didorong oleh tantangan spesifiknya terkait politik uang, masyarakatnya yang multietnis dan multireligius, serta sejarahnya sendiri, bukan hanya meniru model internasional.
Mandat Konstitusional dan Prinsip Reformasi
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 116/PUU-XXI/2023 menjadi titik tolak krusial bagi reformasi undang-undang pemilu. MK menyatakan bahwa ketentuan ambang batas parlemen 4% adalah "konstitusional bersyarat" dan menuntut pembentuk undang-undang untuk mengubahnya berdasarkan metode dan argumen yang memadai untuk Pemilu 2029 dan pemilu berikutnya.
Keputusan tersebut bukan sekadar perintah untuk mengubah angka, melainkan sebuah mandat konstitusional untuk melakukan rekayasa institusional yang lebih holistik dan berbasis prinsip.
MK secara tegas menggarisbawahi bahwa penetapan angka 4% tersebut tidak didasarkan pada rasionalitas yang jelas dan telah menimbulkan disproporsionalitas yang menciderai kedaulatan rakyat dan keadilan pemilu.
Putusan ini mengangkat diskusi dari kompromi politik menjadi keharusan konstitusional. Dengan menekankan "rasionalitas," "proporsionalitas," dan "kedaulatan rakyat," MK secara implisit menuntut agar setiap PT di masa depan dibenarkan oleh penalaran yang kuat dan harus memprioritaskan prinsip-prinsip demokrasi, bukan hanya kepentingan politik sesaat.
Oleh karena itu, putusan tersebut memberikan jendela unik bagi reformasi sistemik, bukan dangkal. Mandat ini memungkinkan pembuat kebijakan untuk mengatasi masalah struktural yang lebih dalam dalam sistem pemilu, dengan menjadikan pengurangan "suara terbuang" sebagai prioritas konstitusional.
Berdasarkan putusan MK dan telaah mendalam terhadap dinamika ambang batas parlemen, revisi Undang-Undang Pemilu harus berlandaskan pada beberapa prinsip fundamental. Pertama, prinsip proporsionalitas yang bertujuan untuk mengurangi seminimal mungkin "suara terbuang" agar setiap suara pemilih memiliki nilai yang setara.
Selanjutnya, penyederhanaan partai politik yang rasional, yang harus dicapai tanpa mengorbankan representasi yang adil dan hak konstitusional warga negara. Selain itu, diperlukan keberlanjutan sistem, di mana norma ambang batas harus didesain untuk digunakan secara berkelanjutan, menciptakan kepastian hukum dan prediktibilitas.