Ada aroma yang tak mudah dilupakan dari secangkir kopi: hangat, tajam, dan selalu membawa pulang kenangan. Setiap tegukan punya cerita, dan cerita kali ini bermula dari sebuah hadiah sederhana yang datang dari dunia literasi - kopi Komeng, kopi yang saya kenal lewat sosok yang tak asing di dunia tulis-menulis: Kang Maman Suherman.
Saya pertama kali mencicipinya pada tahun 2022. Saat itu, saya baru saja mengenal Kang Maman, seorang penulis, notulen, sekaligus publik figur yang begitu dekat dengan pegiat literasi.
Di media sosial, beliau bukan hanya sekadar berbagi kata, tapi juga berbagi semangat dan kebaikan. Setiap Jumat, Kang Maman rutin mengadakan kegiatan berbagi buku karya-karyanya secara gratis untuk para pecinta literasi di seluruh Indonesia.
Saya termasuk yang sering ikut dan syukurnya, sering pula terpilih menjadi penerima hadiah. Tapi yang membuat momen itu berkesan bukan hanya bukunya, melainkan paket kecil yang kadang datang bersamanya: kopi Komeng, kaos, tumbler, dan produk UMKM lainnya.
Dari semua hadiah itu, kopi selalu jadi yang paling saya tunggu. Ada tiga varian yang pernah saya coba: house blend, arabica, dan robusta.
Setelah mencicipi semuanya, saya paling cocok dengan robusta - kuat, berani, dan tidak terlalu asam di lidah. Menyusul di posisi kedua adalah house blend, sementara arabica terasa agak berat bagi saya. Pahit dan asamnya menyengat.
Kopi Komeng ini punya kekhasan tersendiri. Rasanya tajam, aromanya menenangkan, tapi ampasnya lumayan banyak.
Jadi, agar lebih nyaman di tenggorokan, biasanya saya saring dulu setelah diseduh.
Menikmatinya dalam keadaan hangat adalah waktu terbaik, karena ketika sudah dingin, rasa asamnya cenderung lebih kuat dan meninggalkan sensasi kurang nyaman di mulut.
Meski begitu, saya tetap menikmati setiap tegukan. Mungkin karena kopi ini datang bukan sekadar sebagai minuman, tapi sebagai bentuk perhatian.
Sebuah simbol sederhana dari hubungan manusia yang terjalin lewat kata dan rasa.
Dari literasi, saya mendapat teman baru; dari teman, saya mendapat secangkir kopi; dan dari secangkir kopi, saya belajar tentang makna berbagi.
Awal Mula Saya Jatuh Cinta pada Kopi Hitam
Kebiasaan saya minum kopi tanpa gula punya cerita sendiri. Seperti yang pernah saya tulis di artikel sebelumnya (Aroma Kopi Lampung dan Cerita yang Tak Pernah Usai), semua berawal dari seseorang yang begitu berarti dalam hidup saya: Papa Gatot Arifianto, orang tua angkat saya yang juga seorang aktivis dan jurnalis.
Beliau pernah berkata, "Kopi hitam tanpa gula itu surga kecil yang bisa kau seduh kapan saja." Awalnya saya hanya tersenyum mendengarnya, tapi kini saya benar-benar paham maksudnya.
Dulu, saat pertama mencoba kopi tanpa gula, rasanya pahit sekali. Lidah saya protes, tenggorokan pun agak kaget.
Tapi perlahan, saya mulai terbiasa. Dan anehnya, semakin lama, pahit itu justru terasa nikmat. Ada kejujuran rasa yang tak bisa ditutupi manis gula.
Dari situ saya belajar, ternyata kenikmatan sejati kadang datang tanpa perlu tambahan apa pun, cukup apa adanya.
Kopi hitam tanpa gula juga lebih bersahabat bagi tubuh. Tidak membuat lambung terasa berat, tidak memicu kembung, dan yang paling penting, memberi ketenangan.
Kini, setiap kali menyesap kopi, saya seperti sedang berbicara pelan dengan diri sendiri: tentang waktu, perjalanan, dan rasa syukur yang perlahan diseduh bersama uap panasnya.
Tentang Komeng dan Rasa yang Menggairahkan
Kopi Komeng atau lengkapnya KOpi MENGgairahkan adalah brand yang dimiliki oleh komedian Komeng, yang kini juga menjabat sebagai anggota DPD RI.
Ya, sosok dengan wajah ikonik yang sempat viral di surat suara itu. Tapi di balik kesan lucunya, kopi ini ternyata cukup serius dalam urusan rasa.
Saya tidak tahu pasti apakah kopi ini murni 100% biji kopi tanpa campuran, karena komposisinya tidak tercantum pada kemasan.
Namun sejauh pengalaman saya, kopi ini aman dan nyaman di lambung, dengan karakter robusta yang tegas.
Ada rasa khas house blend Garut yang kuat, meninggalkan sensasi hangat dan kering di ujung lidah, seperti aroma kayu panggang yang perlahan memudar.
Meski sederhana, ada semangat tersendiri di baliknya. Seolah-olah kopi ini mewarisi kepribadian sang pemilik: menghibur, membumi, dan tetap berenergi meski tanpa banyak kata.
Saya sendiri sudah hampir dua bulan ini jeda dari kopi. Ada dua alasan: pertama, saya ingin memastikan diri tidak ketergantungan - bisa begadang tanpa harus bergantung pada kafein.
Kedua, saya sedang menjaga kesehatan gigi. Tapi jujur, setiap kali mencium aroma kopi yang diseduh orang lain, ada rasa rindu yang mengintip.
Kopi, bagi saya, bukan hanya soal rasa. Ia tentang perjalanan hidup, tentang pertemuan, dan tentang momen kecil yang kadang tampak sepele tapi ternyata membekas.
Dari Papa Gatot, saya belajar bahwa kopi hitam mengajarkan kejujuran.
Dari Kang Maman, saya belajar bahwa berbagi bisa dilakukan dengan cara yang hangat, bahkan lewat secangkir kopi.
Dan dari Komeng, saya belajar bahwa tawa dan semangat bisa hadir bahkan dalam hal yang sesederhana bubuk kopi.
Setiap kali saya menatap cangkir kopi Komeng itu, saya tahu: ada banyak cerita yang terseduh di dalamnya - tentang teman, guru, dan tentang hidup yang terus berjalan, sehangat aroma kopi yang baru diseduh.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI