Mohon tunggu...
Disisi Saidi Fatah
Disisi Saidi Fatah Mohon Tunggu... Blogger

Cendekia Al Azzam - Suka mengabadikan perjalanan melalui tulisan untuk dikenang di kemudian hari | Suka Buku dan Film

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal

Aroma Kopi Lampung dan Cerita yang Tak Pernah Usai

7 Oktober 2025   08:53 Diperbarui: 7 Oktober 2025   08:53 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kopi Bubuk Cap Jempol, robusta khas Lampung yang legendaris. Aroma kuat, cita rasa autentik, & jadi kebanggaan kopi lokal. (Sumber: tokokopi.darrell)

Di setiap pagi yang masih malas beranjak, aroma kopi selalu jadi alasan untuk membuka hari dengan lebih sabar. Kadang dari dapur yang ramai oleh suara wajan dan sendok, kadang dari meja kecil di pojok kamar, tempat secangkir kopi sachet menjadi teman memulai hari.

Kopi, dalam bentuk paling sederhananya, bukan sekadar minuman. Ia adalah kebiasaan, pengingat waktu, bahkan kenangan yang berulang setiap kali air panas disiramkan.

Sebagian orang memuja kopi premium dengan alat seduh yang rumit, tapi sebagian lain, seperti saya, menemukan kenyamanan pada kopi sachet lokal yang dijual di warung-warung pinggir jalan. Rasanya mungkin tak sekompleks biji kopi single origin, tapi punya kejujuran rasa yang sulit ditolak. Dari kesederhanaannya, saya menemukan kehangatan, kopi yang diseduh bukan untuk dipamerkan di sosial media, melainkan untuk dinikmati diam-diam.

Kopi dari Rumah dan Ingatan

Saya tumbuh dengan aroma Kopi Bubuk Cap Jempol khas Lampung. Di rumah, kopi ini seakan sudah jadi bagian dari perabotan dapur; selalu ada, tak tergantikan. Mama paling suka kopi ini, katanya karena rasanya pas dan tidak bikin perut perih. Dari sekian banyak merek yang kami coba, hanya kopi Cap Jempol yang terus bertahan di meja makan.

Saya pertama kali mengenal kopi waktu masih SMA. Saat itu, kopi yang saya beli tentu saja kopi sachet nasional yang sudah bercampur gula dan mudah ditemukan di warung mana pun. Rasanya manis, praktis, dan mungkin itu satu-satunya kopi yang saya tahu kala itu.

Namun seiring waktu, saya bertemu seseorang yang perlahan memperkenalkan saya pada rasa kopi yang lebih jujur: kopi hitam tanpa gula. Dari berbagai merek yang saya coba, hanya satu yang akhirnya bertahan hingga sekarang; Kopi Bubuk Cap Jempol khas Lampung.

Kopi ini terbuat dari biji robusta pilihan yang dipadukan dengan sedikit gula aren dan biji jagung, menciptakan rasa khas yang tidak terlalu pekat, tapi tetap berkarakter. Pahitnya lembut, tapi cukup untuk meninggalkan kesan yang dalam di lidah dan ingatan.

Saya pribadi lebih suka minum kopi tanpa gula. Maka, setiap kali menyeduh Cap Jempol, saya biarkan pahitnya menari di lidah. Ada sensasi “menggigit” yang tak bikin kapok, malah bikin ingin menyeruput lagi. Mungkin karena di balik rasa pahit itu ada cerita tentang rumah - tentang pagi yang hangat, obrolan ringan dengan Mama, atau sekadar suara televisi yang menemani.

Kopi ini bukan cuma tentang rasa, tapi tentang waktu yang terus berputar bersama aroma yang tak berubah. Seperti kenangan, kopi Cap Jempol menyimpan jejak masa kecil dan kedekatan keluarga yang sederhana tapi dalam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun