Di dunia kerja, kemampuan berbicara memang sering dianggap modal penting. Orang yang tahu cara menyusun kata dengan rapi, bisa membaca situasi, dan terdengar ramah biasanya cepat diterima di lingkungan manapun. Tapi, tidak semua “ramah” berarti tulus. Ada juga yang setiap kalimatnya seperti berlapis gula: terdengar lembut di luar, tapi menyisakan rasa tidak nyaman di hati orang lain.
Fenomena itu dikenal sebagai sugar coating; kemampuan membungkus sesuatu yang biasa saja menjadi seolah luar biasa. Di awal mungkin tampak wajar, seperti bentuk sopan santun atau upaya menjaga suasana kerja tetap harmonis. Tapi ketika dilakukan berlebihan demi kepentingan pribadi, batas antara profesionalitas dan kepura-puraan pun mengabur.
Aku pernah bertemu orang-orang seperti ini ketika dulu bekerja di sebuah pabrik di Bogor. Tidak hanya satu atau dua, bahkan banyak. Ada yang pandai sekali memainkan nada bicara di depan atasan: selalu penuh pujian, selalu tampak loyal, dan selalu setuju terhadap apa pun yang dikatakan pimpinan. Namun, ketika atasan tidak di tempat, semua berubah. Nada suaranya jadi ketus, ucapannya sinis, bahkan sering menjelekkan rekan kerja lain.
Jujur saja, suasana seperti itu bikin tidak nyaman. Rasanya seperti hidup di lingkungan kerja yang penuh lapisan topeng. Orang menjadi hati-hati berbicara, takut salah langkah, karena tidak tahu mana kata yang tulus dan mana yang sekadar pencitraan.
Budaya Manis yang Menipu
Dalam sistem kerja modern, sugar coating sering dianggap strategi “aman”. Banyak yang meyakini, dengan bersikap manis di setiap kesempatan, peluang untuk naik jabatan atau mendapat pengakuan akan lebih besar. Padahal, itu seperti membangun rumah di atas pasir: tampak rapi di luar, tapi rapuh di dalam.
Ketika pujian palsu menjadi bahasa sehari-hari, nilai kerja keras dan integritas perlahan hilang. Orang lebih sibuk memoles citra daripada meningkatkan kemampuan. Kantor berubah jadi arena pertunjukan, siapa yang paling bisa menyanjung, dia yang lebih dulu terlihat “berprestasi”.
Aku sempat melihat sendiri dampaknya di pabrik dulu. Beberapa orang yang rajin menjilat malah tampak menonjol di mata atasan. Mereka yang bekerja sungguh-sungguh justru sering terabaikan. Ada rasa tidak adil, tapi juga pelajaran besar: ternyata tidak semua yang terdengar lembut itu baik. Kadang, di balik senyum manis ada niat licik yang tersembunyi.
Masalahnya, budaya seperti ini menular. Orang yang awalnya jujur dan apa adanya bisa tergoda ikut-ikutan. Kalau tidak berpura-pura, merasa tertinggal. Kalau bicara jujur, dianggap terlalu keras. Lama-lama, kantor kehilangan ruhnya sebagai tempat kerja dan berubah jadi panggung drama yang melelahkan.
Dan ketika semua orang mulai memainkan peran, siapa yang masih bisa dipercaya?