Dunia pesantren memiliki tradisi luhur yang tak lekang oleh waktu: gotong royong, atau dalam istilah pesantren disebut khidmat. Para santri dengan semangat kebersamaan yang tinggi terbiasa bahu-membahu mengerjakan banyak hal di lingkungan pesantren; dari bersih-bersih, memasak, hingga membantu pembangunan. Niatnya tulus, sarat nilai pendidikan karakter, dan patut diapresiasi karena menumbuhkan ketulusan, kerja keras, serta rasa memiliki.
Namun, semangat khidmat ini tidak boleh kebablasan, apalagi ketika menyentuh ranah teknis yang berisiko tinggi seperti pekerjaan konstruksi.
Tragedi ambruknya bangunan musala di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur, menjadi tamparan keras bagi kita semua. Peristiwa itu membuka mata akan praktik yang mungkin dianggap lumrah, tetapi sejatinya sangat berbahaya: melibatkan santri tanpa keahlian konstruksi sebagai tenaga utama dalam proyek pembangunan.
Bayangkan, para santri yang datang untuk menimba ilmu agama tiba-tiba harus memegang alat pengecoran, merakit besi, atau menaikkan material bangunan tanpa pemahaman tentang beban struktur, kekuatan beton, atau standar keselamatan kerja. Di titik inilah niat baik bersentuhan dengan risiko yang sangat besar.
Antara Niat Baik dan Kelalaian Manusia
Kita tentu meyakini bahwa segala sesuatu terjadi atas izin Allah. Namun, tidak setiap musibah bisa diserahkan sepenuhnya pada takdir. Dalam ajaran agama, manusia diajarkan untuk berikhtiar sebaik mungkin, termasuk dalam menjaga keselamatan diri dan orang lain.
Dalam konteks pembangunan, ilmu pengetahuan telah membuktikan, sebuah gedung bisa berdiri kokoh berabad-abad lamanya bila mengikuti standar konstruksi yang tepat. Sebaliknya, kelalaian sekecil apa pun dapat berujung maut.
Runtuhnya musala Ponpes Al Khoziny yang ramai diperbincangkan karena tiang penyangganya tampak kecil dan rapuh, kemungkinan besar bukan semata ujian takdir, melainkan juga akibat kelalaian manusia.
Para ahli teknik sipil menilai bahwa pembangunan musala tersebut tidak terencana dan tak memenuhi kaidah teknis. Itulah yang disebut sebagai kegagalan konstruksi - bukan karena kehendak Tuhan semata, melainkan karena kesalahan manusia yang bisa dihindari.
Dalam liputan BBC News, seorang santri mengungkapkan bahwa beberapa santri yang tidak memiliki pengetahuan tentang konstruksi bangunan, dilibatkan dalam proses pengecoran bangunan di Pondok Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur, yang runtuh.