Mohon tunggu...
Disisi Saidi Fatah
Disisi Saidi Fatah Mohon Tunggu... Blogger

Cendekia Al Azzam - Suka mengabadikan perjalanan melalui tulisan untuk dikenang di kemudian hari | Suka Buku dan Film

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dari Khidmat ke Kelalaian: Catatan Sosial atas Tragedi Ponpes Al-Khoziny

5 Oktober 2025   09:17 Diperbarui: 5 Oktober 2025   09:17 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelukan duka di lokasi runtuhnya mushala Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo - simbol kepedihan dan solidaritas sesama. (Sumber: BBC/fb)

Pernyataan ini seharusnya menjadi alarm keras bagi semua pesantren. Melibatkan santri untuk membantu pembangunan boleh saja, tetapi perannya harus jelas - sebatas tenaga pendukung ringan yang diawasi ketat, bukan sebagai pekerja inti konstruksi.

Perlu dipahami, pembangunan gedung, terutama yang melibatkan penambahan lantai seperti di Sidoarjo bukan urusan coba-coba atau sekadar mengandalkan “feeling” tukang. Di balik setiap bangunan yang kokoh, ada ilmu dan perhitungan matang: mulai dari kekuatan pondasi, dimensi kolom dan balok, hingga mutu material yang digunakan.

Apakah pondasi yang awalnya hanya dirancang untuk satu lantai sanggup menopang empat lantai? Apakah tiang penyangga yang disebut netizen “kurus kering” itu memiliki ukuran dan tulangan besi sesuai beban di atasnya? Apakah beton yang digunakan sudah matang sempurna sebelum ditambah beban baru? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini bukan urusan santri atau tukang biasa, melainkan ranah para ahli.

Jika pesantren melibatkan santri dalam tahap pengecoran tanpa pendampingan tenaga profesional, maka mereka sejatinya sedang mempertaruhkan nyawa para santri sendiri.

Profesionalisme dan Tanggung Jawab Keselamatan

Pesan ini berlaku universal, bukan hanya untuk Pondok Pesantren Al Khoziny, tetapi untuk semua lembaga pendidikan yang merencanakan pembangunan. Jangan pernah menafikan peran profesional. Pesantren wajib menggandeng kontraktor resmi yang memiliki tenaga ahli di bidang teknik sipil. Biaya untuk jasa profesional bukanlah pemborosan, melainkan investasi keselamatan.

Santri bisa tetap berkhidmat, tetapi batasi perannya pada hal-hal non-teknis seperti membersihkan area proyek, memindahkan material ringan, atau menyiapkan konsumsi pekerja. Sementara itu, urusan pengecoran beton, perhitungan struktur, dan pemasangan tulangan besi harus diserahkan sepenuhnya kepada tenaga ahli. Jangan sampai semangat berhemat justru berujung pada kehilangan nyawa.

Pengamat pendidikan Itje Chodidjah menyoroti janji pemerintah yang baru akan membuat aturan khusus soal pembangunan pesantren. Ia menegaskan:

“Kenapa pemerintah baru akan berjanji membuat regulasi? Regulasi-regulasi pembangunan kan sudah ada di dalam aturan. Nah, ini kan kita jadi seperti tambal sulam - kalau ada kecelakaan baru kita repot.”

Pernyataan itu begitu menohok. Sebab faktanya, Indonesia sudah memiliki berbagai aturan tentang keamanan dan standar konstruksi - mulai dari izin mendirikan bangunan (IMB), analisis struktur, hingga standar mutu material. Semua itu berlaku untuk siapa pun dan bangunan apa pun, termasuk pesantren.

Yang kurang bukanlah aturannya, melainkan kesadaran, pengawasan, dan ketegasan dalam penerapannya. Kementerian Agama sendiri mengakui bahwa banyak pesantren dibangun tanpa prosedur formal. Hal ini harus segera diubah. Regulasi yang sudah ada harus dijalankan secara disiplin, dan pengawasan perlu diperkuat agar pembangunan pesantren tidak lagi serampangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun