Apa jadinya jika di sebuah rapat penting, seorang pejabat publik menyebut guru dan dosen sebagai "beban negara"? Pernyataan itu seperti petir di siang bolong. Ribuan pendidik dan jutaan orang tua tersentak. Wajah-wajah yang selama ini kita kenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, kini disebut sebagai beban. Tapi, benarkah demikian?
Sejujurnya, terlepas dari apakah kalimat itu diucapkan secara utuh, dipotong, atau salah tafsir, polemik ini membuka mata kita pada satu hal penting. Ada semacam jurang pemisah antara bagaimana negara memandang anggaran untuk pendidikan, dan bagaimana kita sebagai masyarakat menghargai peran para pendidik.
Jujur, bukankah kita berasal dari didikan seorang guru? Hampir semua dari kita, entah itu seorang menteri, pengusaha sukses, atau seniman ternama, pernah duduk di bangku sekolah dan kuliah. Di sana, kita diajari membaca, menulis, berpikir, berempati, dan menemukan passion kita. Lalu, siapa yang berada di depan kelas, memegang spidol dan buku, mengajari kita semua itu? Bukankah seorang guru dan dosen?
Ironis bukan? Sosok-sosok yang berjasa membentuk para pemimpin dan ahli di negeri ini, justru terkesan dianggap remeh.
Bukan Sekadar Angka di Laporan Keuangan
Pernyataan tentang "beban" sering kali muncul dalam konteks ekonomi dan anggaran. Memang benar gaji guru dan dosen adalah bagian besar dari pengeluaran APBN. Namun, bukan beban, bukankah gaji guru dan dosen adalah yang paling kecil? Faktanya memang demikian! Bisakah kita melihatnya hanya dari sisi itu?
Mari kita ubah perspektifnya. Setiap rupiah yang kita alokasikan untuk guru dan dosen bukanlah biaya, melainkan investasi terpenting. Ini adalah investasi untuk kecerdasan, karakter, dan masa depan bangsa. Sebuah bangsa yang pintar dan berdaya saing hanya bisa lahir dari sistem pendidikan yang kuat, yang didukung oleh para pendidik yang kompeten dan sejahtera.
Ketika seorang guru tidak perlu lagi memikirkan bagaimana caranya menutupi kebutuhan hidup, dia bisa fokus sepenuhnya untuk mengajar. Ketika seorang dosen merasa dihargai, dia akan semakin termotivasi untuk melakukan riset-riset inovatif yang bisa memajukan ilmu pengetahuan. Itu bukan beban, itu adalah modal.
Membangun Narasi Baru
Jika narasi "beban" terdengar menyakitkan, maka mari kita bangun narasi baru yang lebih manusiawi dan bermartabat. Daripada menyebut mereka sebagai "beban", mari kita sebut mereka sebagai "arsitek peradaban," "pilar bangsa," atau "investor masa depan."