Dunia maya, dengan segala kemudahan dan kecepatannya, telah mengubah banyak aspek kehidupan kita. Salah satunya adalah cara kita berinteraksi dan berkenalan. Dulu, untuk mengenal seseorang, kita mungkin butuh pertemuan tatap muka, obrolan panjang di telepon, atau bahkan surat-menyurat. Prosesnya lambat, namun penuh makna. Kini, dengan sekali sentuh pada layar, kita bisa terhubung dengan siapa saja di belahan bumi manapun. Namun, di tengah kecepatan itu, ada satu hal penting yang seolah terlupa: etika.
Fenomena yang bertebaran di media sosial belakangan ini menunjukkan ironi yang mencolok. Seseorang yang baru saja kita terima pertemanan atau bahkan yang belum kita konfirmasi, sudah berani mengirimkan pesan langsung (DM) dengan pertanyaan yang begitu to the point dan personal. "Rumahnya di mana?" "Kerja di mana?" "Send WA dong." Pertanyaan-pertanyaan ini bukan hanya membuat kita terkejut, tetapi juga merasa tidak nyaman. Mengapa interaksi yang seharusnya dibangun dari sapaan dan perkenalan ringan, kini langsung melompat ke tahap interogasi layaknya petugas sensus?
Bayangkan skenario ini: Anda sedang berjalan-jalan di sebuah pusat perbelanjaan. Tiba-tiba, ada orang asing yang menghampiri dan langsung bertanya, "Mbak, rumahnya di mana?" atau "Boleh minta nomor teleponnya?" Respon kita pasti akan sama: kaget, curiga, dan mungkin langsung menghindar. Prinsip yang sama berlaku di media sosial. Meskipun jarak fisik tidak ada, batasan personal tetap harus dihormati. Sayangnya, banyak orang yang seolah-olah menganggap media sosial adalah ruang tanpa etika. Mereka merasa bebas untuk menanyakan apa saja, secepat kilat, tanpa memedulikan perasaan lawan bicaranya.
Belajar Sabar dalam Interaksi Digital
Di era serba cepat ini, banyak orang tergoda untuk mempercepat segalanya — termasuk proses perkenalan di media sosial. Baru saja terhubung, sudah langsung bertanya soal alamat, pekerjaan, atau bahkan meminta nomor kontak. Padahal, setiap akun di media sosial membawa narasi personal yang dibangun lewat unggahan, cerita, dan interaksi.
Sayangnya, masih banyak yang melewatkan langkah sederhana seperti menyapa di kolom komentar atau menunjukkan ketertarikan pada apa yang dibagikan. Mereka langsung masuk ke pesan pribadi, seolah-olah waktu mereka terlalu berharga untuk sekadar menulis "Halo" atau meninggalkan komentar ringan. Padahal, menyapa dengan santun di ruang publik digital adalah bentuk etika dasar—tanda bahwa kita menghargai keberadaan dan privasi orang lain.
Interaksi yang dimulai dengan ketertarikan tulus dan proses yang wajar akan terasa lebih manusiawi. Di dunia maya, seperti halnya di dunia nyata, membangun hubungan tetap butuh kesabaran, empati, dan rasa hormat.
Jangan Perlakukan Media Sosial Seperti Aplikasi Ojek Online
Salah satu kesalahan umum dalam berinteraksi di media sosial adalah memperlakukannya seperti aplikasi ojek online — langsung ingin tahu “titik jemput” dan “tujuan akhir” tanpa basa-basi. Saat memesan ojek, kita memang cukup memasukkan lokasi dan tujuan, lalu koneksi pun terjalin secara instan. Tapi media sosial tidak bekerja seperti itu. Hubungan antar manusia bukan transaksi sekali klik.
Media sosial adalah ruang untuk membangun jejaring, bukan sekadar mengekstraksi informasi pribadi secara cepat. Di sini, "titik jemput" yang sebenarnya adalah ketertarikan yang tulus terhadap apa yang seseorang bagikan — sebuah foto, tulisan, cerita. Dan "titik antar"-nya adalah hubungan yang bermakna, yang dibangun melalui interaksi yang sopan dan penuh empati.