Pernah gak sih kamu ngerasa kayak lagi jalan di lorong gelap, cuma dikasih senter kecil yang baterainya setengah mati? Nah, kurang lebih itulah rasanya PDKT menurut aku. Kayak… kita lagi nyoba deketin seseorang, tapi nggak tahu ujungnya ke mana. Bisa jadi bahagia karena jadian, bisa juga malah jadi asing kayak dua orang yang gak pernah kenal.
Aku pernah ada di fase itu — fase deg-degan setiap lihat notifikasi masuk, berharap itu dari dia. Fase mikir keras: dia balas chat pakai emoji senyum, artinya apa ya? Suka juga gak ya? Atau cuma ramah aja?
Dulu sih kita nyebutnya “gebetan”. Tapi sekarang, anak-anak Gen Z lebih akrab bilang “crush”. Kedengerannya lebih manis, ya? Tapi rasa bingungnya tetap sama.
PDKT: Seru tapi Bikin Stres
Ada masanya aku PDKT sama seseorang, dia temen satu sekolah. Awalnya nyambung banget, sering ngobrol, bercanda, bahkan kadang dia suka cerita hal-hal pribadi. Dari situ aku mulai baper — dan ya, GeeR tingkat dewa. Rasanya kayak: "Yakin deh, dia juga punya rasa."
Tapi eh, makin lama kok malah makin menjauh? Komunikasi mulai hambar, jarang balas, dan akhirnya… lost contact. Nggak ada penjelasan, nggak ada pamit. Cuma… selesai. Gitu aja.
Mungkin di situlah salah satu jebakan PDKT: kita merasa udah deket, tapi ternyata cuma kita yang merasa begitu. Kita lupa kalau komunikasi intens belum tentu tanda suka. Bisa aja dia cuma nyaman, tapi gak ada niat bawa itu ke arah hubungan yang lebih.
Batas Tipis Antara “Serius” dan “Santai”
PDKT itu tricky banget. Kalau terlalu bersemangat, takut dibilang lebay. Tapi kalau terlalu santai, nanti dikira nggak niat. Di situ letak dilema terbesarnya. Kita harus peka ngatur intensitas, tapi juga butuh kejelasan. Sayangnya, nggak semua orang mau atau bisa kasih kejelasan.
Ada juga tipe orang yang emang cuma pengen ditemani ngobrol, biar hari-harinya gak sepi. Gak niat jadian, apalagi nikah. Dan jujur aja, itu nyakitin banget kalau kita udah kadung berharap.
Lalu, Apa Resep Antigagal PDKT? Wah, kalau ditanya resep antigagal, jujur aku juga masih trial and error sih. Tapi dari pengalaman (dan patah hati berkali-kali), aku belajar beberapa hal:
1. Jangan buru-buru baper. Ini susah banget, tapi penting. Respon manis bukan jaminan dia suka. Kadang orang emang baik aja, tanpa maksud lebih.
2. Tanya arah dan tujuan. Kalau udah mulai deket, penting buat tahu: ini kita mau ke mana? Jangan takut dibilang terlalu serius. Kalau memang niatnya baik, harusnya bisa diomongin.
3. Lihat konsistensi. Bukan cuma sekadar perhatian di awal, tapi juga konsisten dalam jangka waktu. Kalau dia mulai tarik-ulur, mending mikir dua kali deh.
4. Tetap punya hidup sendiri. Jangan semua energi dicurahkan buat dia. Biar kalau gagal, gak sakit-sakit banget.
5. Siap untuk segala kemungkinan. Termasuk kemungkinan “cuma dianggap teman”.
PDKT itu seperti membuka buku yang belum jelas judul dan akhirnya. Seru, penuh kejutan, tapi juga rawan bikin baper.
Makanya, penting banget untuk sadar: seasyik apa pun masa pendekatan, jangan sampai kita lupa menjaga hati sendiri. Karena hubungan yang sehat bukan cuma soal chemistry di awal, tapi soal dua orang yang sama-sama tahu ke mana arah langkah mereka. Bukan yang satu jalan, yang satu nunggu kepastian.
Pada akhirnya, yang bikin PDKT berhasil bukan sekadar chat panjang tiap malam atau kode-kode manis yang bikin senyum-senyum sendiri, tapi keseriusan dua hati yang saling ingin menjemput masa depan bareng-bareng.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI