Mohon tunggu...
Disisi Saidi Fatah
Disisi Saidi Fatah Mohon Tunggu... Blogger

Cendekia Al Azzam - Penyuka warna biru yang demen kopi hitam tanpa gula | suka mengabadikan perjalanan melalui tulisan untuk dikenang di kemudian hari | Suka Buku dan Film

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menjadi Guru di Era yang Berubah: Antara Akal, Adab, dan Tekanan

27 Juli 2025   14:50 Diperbarui: 27 Juli 2025   14:22 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Guru di balik papan tulis, menanamkan adab dan akal kepada muridnya --- sebuah pengabdian tulus di era yang menantang.  (sumber: edoo.id)

Guru bukan hanya pengajar, tetapi pendidik yang mengemban amanah besar: mencerdaskan dan membentuk karakter anak bangsa. Ia tidak hanya bertugas membuat siswa cerdas secara kognitif, tetapi juga mengantarkan mereka menjadi pribadi yang beradab, tangguh, dan punya arah hidup yang baik.

Namun, di tengah tantangan zaman yang bergerak cepat dan kompleks, peran guru sering kali dipersempit hanya sebatas 'mengajar'. Apresiasi sosial melemah, kepercayaan publik goyah, dan tekanan dari berbagai arah --- orang tua, sekolah, hingga sistem pendidikan itu sendiri --- kian menumpuk. Tak sedikit guru yang kehilangan semangat, merasa sendiri, dan terjebak dalam rutinitas mengajar tanpa daya untuk benar-benar mendidik.

Padahal, mendidik adalah proses yang tidak bisa otomatis dan instan. Dibutuhkan ketulusan, kesabaran, dan kepekaan. Setiap siswa punya latar belakang berbeda. Ada yang datang dengan semangat tinggi, ada pula yang terseret beban rumah tangga, konflik internal, atau kesulitan ekonomi. Guru adalah jembatan penghubung antara dunia ilmu dan realitas anak-anak ini.

Di sinilah pentingnya kolaborasi antara guru dan orang tua. Tidak bisa lagi pendidikan hanya dibebankan sepenuhnya pada sekolah. Orang tua harus memosisikan diri sebagai mitra, bukan hakim yang selalu menyalahkan. Saat ada masalah, komunikasikan. Bangun empati. Sebab anak-anak tumbuh dari sinergi rumah dan sekolah.

Sayangnya, kita hidup di era di mana pendidikan semakin 'bermetrik'. Nilai, skor, ranking --- semuanya jadi tolok ukur utama. Akibatnya, aspek moral, etika, dan spiritual seperti tersingkir ke pinggir. Bahkan ketika guru menanamkan kedisiplinan, ia bisa dianggap 'terlalu keras' dan berujung ke laporan hukum.

Fenomena ini menyedihkan. Ketika mendidik dianggap pelanggaran, kepercayaan pun tergerus. Anak-anak jadi ragu terhadap figur otoritas. Mereka tidak lagi melihat guru sebagai sosok yang perlu dihormati, melainkan sekadar fasilitator belajar. Padahal, pendidikan yang sejati adalah proses batiniah --- menyentuh hati, bukan hanya otak.

Belajar dari tradisi klasik, kita tahu bahwa ilmu tak cukup hanya dikejar, tapi juga harus dimuliakan. Dalam kitab Ta'lim al-Muta'allim, disebutkan enam syarat menuntut ilmu: kecerdasan, semangat, kesabaran, bekal, bimbingan guru, dan waktu panjang. Tidak ada yang instan. Dan tidak ada satu pun syarat yang menghilangkan peran guru.

Teknologi dan internet memang memberi akses tak terbatas pada informasi. Tapi tetap saja, Google tak bisa menggantikan guru. Sebab guru bukan sekadar sumber pengetahuan, tetapi pembentuk watak. Nilai, kejujuran, sopan santun, dan tanggung jawab --- semua itu lahir dari keteladanan, bukan dari video tutorial.

Untuk itu, mari kita rawat kembali semangat keberkahan dalam pendidikan. Jangan ukur keberhasilan hanya dari angka. Tapi lihatlah prosesnya: apakah anak-anak menjadi lebih baik? Apakah mereka punya empati, punya sikap, dan tahu mana yang benar dan salah?

Dan satu hal lagi yang perlu kita bahas: Guru hari ini tidak hanya dituntut menguasai materi pelajaran, tetapi juga memahami dinamika digital, kesehatan mental siswa, bahkan isu-isu sosial terbaru. Ia dituntut untuk selalu adaptif, cepat belajar hal baru, dan tak boleh tertinggal dari perkembangan zaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun