Mohon tunggu...
Disisi Saidi Fatah
Disisi Saidi Fatah Mohon Tunggu... Blogger

Cendekia Al Azzam - Penyuka warna biru yang demen kopi hitam tanpa gula | suka mengabadikan perjalanan melalui tulisan untuk dikenang di kemudian hari | Suka Buku dan Film

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Resensi Buku "1984" George Orwell: Ketika Kebebasan Dikubur Dalam Diam

24 Juni 2025   09:28 Diperbarui: 24 Juni 2025   09:28 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku 1984 karya George Orwell yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka. (Sumber: novelibrary_/ig)

Sebuah Dunia Tanpa Kebebasan: Distopia yang Menggetarkan

Membaca 1984 karya George Orwell seperti ditarik paksa masuk ke dalam dunia yang mencekam, sunyi dari suara kebenaran, dan dijejali pengawasan tanpa henti. Buku ini bukan sekadar novel fiksi, melainkan naskah peringatan yang nyaring tentang bahaya absolutisme kekuasaan.

Orwell menulis novel ini pada 1949, tak lama setelah Perang Dunia II. Ia meramu kegelisahan terhadap rezim totaliter, propaganda, dan penyalahgunaan kekuasaan menjadi karya yang masih relevan bahkan di abad ke-21. 1984 bukan hanya sebuah cerita tentang dunia yang salah, tapi tentang betapa lemahnya manusia saat kebenaran dipelintir dan kebebasan dihapus dari kamus kehidupan.

Tokoh utama novel ini adalah Winston Smith, seorang pegawai Partai yang tinggal di negara fiksi bernama Oceania. Negara ini dipimpin oleh satu kekuasaan tunggal yang absolut: Big Brother. Setiap warga negara diawasi melalui telescreen, alat perekam dan pemantau yang tak pernah mati. Tak hanya gerak tubuh, ekspresi wajah pun bisa membuat seseorang dituduh memiliki “crime-thought” - pikiran berbahaya terhadap Partai.

Bukan hanya tindakan, bahkan niat dan pikiran pun adalah barang terlarang. Di sinilah Orwell mengenalkan istilah “thoughtcrime” dan “doublethink” - dua konsep penting dalam dunia 1984 yang menggambarkan betapa dalamnya penetrasi penguasa terhadap kebebasan manusia. Fakta dikaburkan, sejarah dimanipulasi, dan bahasa dikerangkeng agar rakyat tak mampu membayangkan kebebasan. Jika rakyat tidak bisa berpikir tentang kebebasan, maka mereka pun tidak bisa memperjuangkannya.

Winston dan Upaya Kecilnya untuk Merdeka

Winston adalah perwujudan manusia biasa yang mulai sadar bahwa ada yang salah dalam sistem yang selama ini ia jalani. Dalam kesunyian pikirannya, ia menyimpan keraguan terhadap Partai dan diam-diam mencatat pemikirannya dalam buku harian - sebuah tindakan kecil yang bisa mengantarkannya pada hukuman mati.

Kehidupan Winston mulai berubah ketika ia bertemu dengan Julia. Keduanya menjalin hubungan cinta yang bukan hanya soal romansa, tapi juga bentuk perlawanan terhadap negara yang melarang emosi dan hasrat pribadi. Namun, di dunia seperti Oceania, cinta adalah tindakan subversif. Hubungan mereka harus dijaga dalam sembunyi, dalam hutan-hutan atau sudut tersembunyi bangunan bobrok. Tapi bahkan dalam persembunyian, bahaya tetap mengintai.

Narasi yang Mengiris dan Menggetarkan

Gaya bahasa Orwell dalam novel ini cenderung berat, penuh narasi panjang dan minim dialog ringan. Di beberapa bagian awal, pembaca mungkin merasa lambat dan melelahkan. Namun itulah kekuatan 1984 - ia tidak berusaha menghibur, tapi menggugah. Orwell menulis dengan ketelitian yang tajam, menyusun dunia fiksinya dengan detail menakutkan. Kata demi kata seperti menampar kesadaran pembaca bahwa kebebasan adalah sesuatu yang rapuh.

Salah satu kutipan paling berkesan dalam buku ini adalah:

“Kebebasan adalah kebebasan untuk mengatakan bahwa dua tambah dua sama dengan empat. Jika fakta itu kuat, semua akan menyakitinya.”

- halaman 97.

Kutipan ini menyiratkan bahwa dalam dunia 1984, bahkan kebenaran paling mendasar bisa dipelintir. Jika negara mengklaim bahwa dua tambah dua sama dengan lima, maka semua orang harus menerima itu atau hilang dari sejarah.

Meski ditulis lebih dari 70 tahun lalu, 1984 terasa sangat aktual. Dunia modern kini mengenal pengawasan digital, manipulasi media, dan algoritma yang menyaring informasi sesuai kepentingan kekuasaan tertentu. Orwell seolah telah menulis masa depan dalam bentuk satire gelap yang menyeramkan. 1984 mengingatkan kita bahwa kebebasan tidak selalu hilang dengan letupan, tapi bisa memudar perlahan saat kita berhenti bertanya dan hanya menerima.

1984 adalah novel yang menguras emosi dan menguji ketahanan mental pembacanya. Ia bukan bacaan ringan, tapi sebuah karya monumental yang penting untuk direnungkan. Bukan sekadar fiksi, ini adalah peringatan. George Orwell mengajak kita menyadari bahwa tanpa kebebasan berpikir, kita bukanlah manusia seutuhnya.

Sebuah novel yang getir, gelap, dan menggugah. 1984 layak dibaca siapa saja yang ingin tahu apa yang bisa terjadi ketika kekuasaan tak lagi punya batas, dan rakyat kehilangan suaranya.

Rating dari aku, 5/5. Layak dibaca? Pasti. Tapi pastikan hati dan pikiranmu siap. Jika kamu menyukai bacaan yang menantang dan membuka mata, 1984 bukan hanya sekadar novel - ia adalah cermin tajam dunia yang mungkin sedang kita tuju.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun