Simbiosis adalah film dokumenter yang tayang pada 2021 melalui platform digital (kanal YouTube) NU Online. Diproduksi oleh GA Picture dengan tim produksi; Galih Cahyo Nugroho, Akmal Dwi Pramudya, Ahmad Suhendri, Suhadi Adit Prastowo, dan Mahatma Yudha Prayitna. Film ini diikutsertakan dalam lomba Film Pendek NU Online x BRGM tahun 2021.
Film dokumenter ini membuka cakrawala tentang kondisi pesisir Rembang yang memesona di permukaan, tapi menyimpan luka di kedalaman. Garis pantai sepanjang 63 km yang dulu menjadi simbol kemakmuran dan sumber penghidupan, kini perlahan terkikis - secara harfiah dan ekologis. Dengan pendekatan visual dan naratif yang tenang tapi menusuk, dokumenter ini mengajak kita menyelami realitas nelayan, pasir putih, dan air laut yang tak lagi sebening harapan.
Rembang adalah rumah bagi hampir 20 ribu nelayan. Perikanan, garam, dan wisata bahari seharusnya menjadikan wilayah ini sebagai poros ekonomi maritim. Namun, harapan itu tercemar oleh tumpukan plastik. Sekitar 86 ribu ton sampah plastik mencemari laut setiap tahun - menyelusup hingga ke dasar, bahkan masuk ke tubuh ikan dan biota laut dalam bentuk mikroplastik. Ironisnya, ikan itu kembali masuk ke tubuh manusia. Ini bukan hanya krisis lingkungan, tetapi juga ancaman kesehatan yang tersembunyi dalam piring makan kita.
Dokumenter ini menyorot kebiasaan masyarakat yang masih membuang sampah sembarangan ke laut. Namun, film ini tidak menyalahkan, melainkan mengajak kita merenung: perubahan tidak bisa instan, tapi harus dimulai dari kesadaran kecil. Plastik sekali pakai memang praktis, tapi menjadi "bom waktu" yang merusak ekosistem dan mewariskan krisis bagi generasi mendatang.
Di sisi lain, hutan mangrove yang seharusnya menjadi pelindung garis pantai dari abrasi, justru semakin sempit akibat eksploitasi dan alih fungsi lahan. Dalam diam, pohon-pohon mangrove yang hilang turut mempercepat laju abrasi, menyedot daratan sedikit demi sedikit. Tahun 2019 mencatat abrasi hingga 1,5 meter di pesisir, menghancurkan lahan dan infrastruktur.
Namun, dokumenter ini tidak hanya menyampaikan ancaman. Ia juga menunjukkan harapan. Peran masyarakat lokal dalam melestarikan mangrove menjadi titik balik: penanaman kembali, penjagaan lahan, dan edukasi lingkungan menjadi jalan pulang bagi alam yang mulai menjauh.
Yang membuat dokumenter ini kuat adalah narasinya yang tidak menggurui. Ia tidak meledakkan fakta, tapi menyajikannya dengan kelembutan yang menyentuh. Lewat gambar yang bersahaja dan data yang kuat, film ini menyampaikan pesan: alam bukan musuh, tapi cermin dari pilihan-pilihan kita. Bila kita terus merusaknya, maka kerusakan itu akan kembali menghantam hidup kita sendiri.
Film ini adalah alarm halus - mengajak penonton berpikir ulang soal konsumsi plastik, pentingnya menjaga hutan mangrove, dan dampak kecil dari kebiasaan sehari-hari. Tanpa perlu narasi keras atau musik mencekam, dokumenter ini membuktikan bahwa kesadaran bisa tumbuh dari kejernihan informasi dan empati.
Film dokumenter tentang lingkungan pesisir Rembang ini tidak hanya menyentuh isu lokal, tetapi menampilkan potret nasional. Lewat visual yang sederhana dan narasi yang jujur, ia menyampaikan krisis ekologis yang nyata, menyentuh, dan mendesak. Tapi lebih dari itu, ia menawarkan harapan - bahwa perubahan bisa dimulai dari langkah kecil, dari tangan siapa saja.
Rating: 9/10 dari aku. Sebuah dokumenter yang menyuarakan alam dengan bisikan yang justru menggema paling jauh.