Aku benar-benar meresap hening di dalam senyap sunyiku
Aku juga meredam hiruk pikuk pikiranku
Bukan hanya untuk memberi makna pada seruputan kopiku
Tetapi juga untuk memperdalam rasa syukurku...
Atas hadirnya ia di hadapanku...
Setelah melewati musim kemarau basah
Setelah dipanen oleh tangan-tangan penuh harapan dalam doa
Setelah melalui beragam cara pengolahan
Bolehkah bila aku kemudian mengeksplorasi spektrum perasaanku kala menikmatinya?
Menciumi baunya sebelum kuseduh dengan penuh cinta?
Ya, Â fragrance atau aroma kopi memang menguarkan banyak variasi bau yang menggoda
Dan aku merasa seperti berpetualang di dalam naungan hutan belantara tatkala menciuminya
Bagaikan menemukan harta karun yang begitu melimpah dari Sang Pencipta
Mendapatkan keharuman dari bau kayu-kayu hutan yang segar, dan juga bau buah-buahan
Mendapatkan keharuman dari bau rumput yang wangi, dan juga bau bunga yang manis
Bahkan juga mendapatkan keharuman dari bau rempah-rempah dan bau tanah yang begitu khas
Hingga membuatku membungkuk takzim saat menciuminya...
Inikah yang dinamakan di Bumi seperti di dalam Surga?
Saat Alam Semesta menyuguhkan beragam keharuman hanya dari satu kebun kopi saja?
Setelah diolah dari tangan para petani kopi dengan beragam cara?
Dan aku masih meresap seluruh hening di dalam senyap sunyiku
Saat warna jingga milik senja kemudian menghilang di batas pandanganku
Secara bergantian akhirnya kuseduh kopi-kopi itu dengan sepenuh hatiku
Setelah aku menjerang air hingga mencapai suhu 100 derajat di atas tungku
Aku pun menuangkannya perlahan mengikuti hati ini menggerakkan tanganku
Aroma baru kemudian menguar perlahan di antara kepulan asap kopiku yang membubung
Oh, biarkan aku kembali menciuminya sebelum menyesapnya dengan segenap rasa hatiku
Seteguk demi seteguk untuk semakin memperdalam rasa syukurku
Usai mengendus dan menyeruputnya dengan kuat, hingga terlempar ke seluruh langit-langit mulut
Untuk membuat segenap aroma dan rasa berpadu menjadi satu...
Seruputan kopi pertamaku pun melayangkan ingatan akan kopinya Paklik Purnadi
Kopi hitam yang diminum dengan gula Jawa terpisah....
Saat ia duduk di kursi kayu seraya melepas lelah, membiarkan keringatnya dibawa angin semilir
Selain kenikmatan, katanya adalah untuk menghemat penggunaan gula pasir demi kelima anaknya...
Yang dua di antaranya adalah temanku semasa kecil
Ah, kopi tanpa gula itu ternyata terlalu pahit saat aku mencobanya kala itu
Kemudian kugigit gula merah sedikit demi sedikit seperti yang dilakukan Paklik Purnadi
Menyesap rasa pahit dan manisnya secara bergantian...
Yang ternyata, tak habis-habisnya melahirkan sensasi rasa baru di dalam keseimbangannya
Membuatku lebih menghargai cara leluhurku dalam menikmati kopi
Pada seruputan kopi kedua, kupejamkan mataku...
Ingatanku pun kembali melayang-layang pada masa yang telah lalu
Saat aku berkenalan dengan black coffee dari seorang teman Inggrisku di Surabaya
Black coffee adalah kopi hitam yang dinikmatinya benar-benar tanpa tambahan gula
Seperti sesajen di tanah Jawa yang melambangkan kekuatan, keteguhan, dan juga rasa syukur
Pahitnya memang sungguh menyentuh rasa yang tak bisa kujelaskan
Tatkala perlahan-lahan melesap menembus ruang gelap di antara rasa sepiku
Ya, sejak saat itu pahitnya kopi menjadi pengingat bahwa hidup tak selalu manis
Seperti Paklik Purnadi yang mungkin menyembunyikan getir di balik kepulan asap kopinya
Atau seperti air mataku yang selalu tertahan di dalam egoku
Karena aku terlalu sering menipu diri, agar semua tampak baik-baik saja
Aku benar-benar meresap hening di dalam senyap sunyiku
Aku juga meredam hiruk pikuk pikiranku
Mencoba menerima kenyataan hidup dengan apa adanya dan lebih tulus
Seiring dengan tarian asap kopiku yang meliuk indah membubung dengan misterius
Dan sebelum aku menyeruput kembali hitamnya kopiku, untuk yang ketiga dan seterusnya...
Yang nyatanya lebih jujur dengan beragam aroma dan rasanya
Akhirnya kucoba membiarkan air mata itu menetes perlahan-lahan di pipiku
Membiarkan kejujuran melepaskan beban di hatiku satu per satu
Ya, hidup memang penuh warna dan tak semua harus tampak baik-baik saja...
Karena di sanalah ternyata letak keindahannya...
Seperti beragam aroma dan rasa, dalam cangkir-cangkir kopiku...
Bandungan, 30 September 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI