Membongkar Ketidakadilan Struktural
Dari uraian di atas, jelas bahwa kopi sachet dan rokok bukan sekadar produk konsumsi harian. Keduanya adalah pintu masuk untuk memahami bagaimana negara, kapitalisme global, dan narasi kesehatan bekerja membentuk kebijakan yang tidak adil. Kopi sachet dibiarkan tumbuh meski berbahaya, sementara rokok ditekan habis-habisan meski menopang fiskal negara.
Ketimpangan ini menunjukkan bahwa isu kesehatan publik tidak bisa dipisahkan dari kepentingan ekonomi-politik. Bahaya tidak diukur secara konsisten, tetapi dipilih-pilih sesuai dengan siapa yang berkuasa dalam menentukan narasi.Â
Kapitalisme global, melalui lobi korporasi dan filantropi, mampu menutupi bahaya gula, sementara tekanan internasional menghantam rokok.
Akibatnya, rakyat kecil menjadi korban ganda. Mereka mengonsumsi kopi sachet karena murah dan mudah, padahal risikonya besar. Mereka merokok sebagai bentuk hiburan murah, tetapi dihukum dengan cukai tinggi dan stigma sosial. Dalam kedua kasus, rakyat kecil tetap menjadi pihak yang paling dirugikan.
Jika negara sungguh peduli pada kesehatan, konsistensi kebijakan harus ditegakkan. Gula harus diperlakukan sama seriusnya dengan nikotin. Cukai minuman berpemanis perlu dipertimbangkan, dan edukasi publik soal bahaya gula harus digalakkan. Tanpa itu, wacana kesehatan hanya akan menjadi alat legitimasi bagi kepentingan tertentu.
Lebih jauh, perlu ada keberanian untuk menantang standar ganda yang dibentuk oleh kekuatan global. Indonesia tidak boleh hanya menjadi pasar konsumsi yang tunduk pada narasi internasional. Kepentingan kesehatan rakyat harus diprioritaskan, bukan kepentingan kapitalisme global.
Jelas bahwa kesehatan publik bukanlah ranah yang murni ilmiah, melainkan medan pertempuran kepentingan. Kopi sachet dan rokok hanya contoh kecil dari bagaimana narasi dan regulasi bisa dimanipulasi.Â
Dengan membongkar ketidakadilan struktural ini, kita bisa mulai merumuskan kebijakan yang lebih adil dan berpihak pada rakyat.
Pada akhirnya, perjuangan melawan standar ganda ini bukan hanya soal melindungi kesehatan, tetapi juga soal melindungi kedaulatan.Â
Kedaulatan untuk menentukan sendiri siapa yang harus diprioritaskan, bahaya apa yang harus dihadapi, dan bagaimana rakyat kecil tidak lagi dijadikan sapi perah di balik retorika kesehatan publik.***