Kopi sachet, dengan harga seribu hingga dua ribu rupiah per bungkus, telah menjadi bagian penting dari budaya konsumsi masyarakat.Â
Praktis, mudah diseduh, dan memberi rasa manis yang menenangkan, produk ini menempel erat pada aktivitas sehari-hari: dari pekerja pabrik yang butuh tenaga, sopir angkot yang butuh konsentrasi, hingga mahasiswa yang mengejar deadline.Â
Namun, di balik kepraktisan itu, kopi sachet menyimpan risiko kesehatan serius yang jarang dibicarakan. Kandungan gula dalam kopi sachet umumnya sangat tinggi, sering kali mencapai 20-25 gram per sajian.Â
Padahal, WHO merekomendasikan konsumsi gula tambahan harian tidak lebih dari 25 gram. Artinya, satu gelas kopi sachet bisa langsung memenuhi atau bahkan melampaui kebutuhan gula harian tubuh. Jika dikonsumsi 2-3 kali sehari, maka risiko diabetes, obesitas, dan penyakit jantung meningkat tajam.
Ironisnya, meski bahaya gula dan kandungan kimia lain sudah terbukti secara ilmiah, kopi sachet tidak diperlakukan sebagai produk berbahaya. Tidak ada label peringatan bergambar penyakit pada kemasannya. Tidak ada cukai khusus seperti halnya cukai rokok.Â
Bahkan, industri kopi instan bebas beriklan secara masif di televisi dan media sosial, menggandeng selebritas untuk membangun citra modern, energik, dan menyenangkan.
Lebih jauh, kopi sachet justru dilekatkan dengan nilai-nilai positif. Iklan menggambarkannya sebagai simbol persahabatan, kehangatan keluarga, bahkan produktivitas kerja.Â
Narasi ini membuat masyarakat menormalisasi konsumsi kopi instan tanpa rasa bersalah. Dampak kesehatannya nyaris tak pernah dibicarakan dalam wacana publik. Seolah-olah bahaya gula tidak relevan dibandingkan bahaya nikotin.
Salah satu alasan mengapa kopi sachet lolos dari regulasi ketat adalah dominasi korporasi multinasional yang menguasai industri ini. Perusahaan-perusahaan besar dengan modal raksasa dan jaringan distribusi global memiliki kekuatan lobi yang sangat besar.Â
Mereka mampu membentuk citra positif, memengaruhi regulasi, dan memastikan bahwa produk mereka tidak disentuh kebijakan fiskal yang memberatkan.
Negara pun tampak "ramah" terhadap industri kopi sachet. Tidak ada tekanan untuk membatasi iklan, tidak ada wacana serius tentang cukai gula, dan bahkan tidak ada upaya masif untuk mengedukasi masyarakat soal bahaya konsumsi berlebihan.Â