Dampaknya, masyarakat menjadi tidak seimbang dalam menilai risiko. Konsumsi kopi sachet dianggap normal dan bahkan "keren", sementara merokok dianggap perilaku bodoh dan memalukan.Â
Padahal, diabetes dan penyakit jantung akibat konsumsi gula berlebih jauh lebih sulit dikendalikan secara medis dan menelan biaya pengobatan yang sangat besar. Stigma ini membentuk persepsi publik yang keliru tentang apa itu bahaya kesehatan.
Bias regulasi dan narasi ini menunjukkan bahwa kesehatan publik bukan sekadar urusan medis. Ini adalah arena politik, di mana isu-isu tertentu diprioritaskan karena ada kekuatan besar yang mendorongnya.Â
Bahaya rokok terus ditonjolkan karena ada konsensus global yang menekannya, sedangkan bahaya gula diredam karena industri minuman berpemanis dikuasai korporasi global dengan daya lobi kuat.
Jika negara sungguh-sungguh peduli pada kesehatan rakyat, seharusnya konsistensi diterapkan. Cukai minuman berpemanis atau kopi sachet mestinya diberlakukan sama kerasnya dengan cukai rokok.Â
Kampanye publik tentang bahaya gula semestinya juga dilakukan sama masifnya dengan kampanye antirokok. Tapi, kenyataan menunjukkan sebaliknya: kopi sachet ditolerir, rokok dihajar habis-habisan.
Ketimpangan narasi kesehatan inilah bentuk ketidakadilan struktural ketiga. Bukan lahir dari data ilmiah semata, melainkan hasil dari kontestasi kepentingan.Â
Mana bahaya yang diperbesar dan mana yang dikecilkan mencerminkan siapa yang punya kekuatan dalam mengendalikan narasi kesehatan global dan nasional.
Kapitalisme Global dan Lobi Korporasi
Untuk memahami mengapa kopi sachet dibiarkan dan rokok ditekan, kita perlu melihat struktur kapitalisme global.Â
Industri kopi sachet dikuasai perusahaan multinasional besar yang beroperasi lintas negara. Mereka tidak hanya menjual produk, tetapi juga membangun citra melalui iklan, sponsor acara, hingga program tanggung jawab sosial perusahaan. Dengan modal dan jaringan global, mereka memiliki posisi tawar yang sangat kuat terhadap negara.