Pertanyaan "membuang makanan, membuang siapa?" menemukan jawabannya: kita sedang membuang para pekerja yang menopang kehidupan kita sehari-hari.
Siapa yang Lapar? Membaca Dimensi Keadilan
Sampah makanan adalah cermin dari ketidakadilan distribusi. Di satu sisi, masyarakat kelas menengah ke atas membuang makanan berlebihan. Di sisi lain, jutaan warga di daerah terpencil atau miskin kota berjuang melawan kelaparan. Pertanyaan "membuang makanan, membuang siapa?" paling jelas dijawab di sini: kita membuang mereka yang lapar.
Di Indonesia, masalah rawan pangan dan stunting masih menjadi momok serius. Anak-anak di NTT, Papua, dan sebagian Jawa Tengah menderita gizi buruk, sementara makanan berlimpah terbuang di kota-kota besar.
Artinya, bukan ketersediaan pangan yang kurang, tetapi akses yang timpang. Makanan dibuang bukan karena tidak ada yang butuh, melainkan karena tidak ada sistem yang menghubungkan kelebihan dengan kekurangan.
Bank makanan memang mulai berkembang di beberapa kota, tetapi skalanya masih kecil. Sebagian besar makanan tetap berakhir di TPA, bercampur dengan sampah plastik, sehingga tidak bisa lagi dimanfaatkan.
Padahal, jika ada infrastruktur redistribusi yang kuat, makanan sisa bisa menyelamatkan jutaan perut lapar. Dengan kata lain, pemborosan makanan adalah kegagalan politik, bukan hanya persoalan etika individu.
Lebih jauh, kelaparan bukan sekadar kekurangan kalori, tetapi juga kekurangan keadilan. Hak atas pangan dijamin dalam UUD 1945 dan berbagai perjanjian internasional. Namun, hak ini dirampas ketika makanan melimpah hanya dinikmati segelintir orang, sementara yang lain tidak mendapat akses.
Mereka yang lapar adalah korban pembuangan sistemik: dikeluarkan dari rantai pangan karena miskin atau terpinggirkan.
Dari perspektif keadilan sosial, pemborosan pangan adalah kejahatan. Mengabaikan prinsip solidaritas dan mempertebal jurang kesenjangan. Ketika segelintir orang membuang makanan, mereka sesungguhnya sedang "membuang" orang lain dari hak dasar hidupnya. Dengan demikian, sampah makanan bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga pelanggaran hak asasi manusia.
Persoalan ini juga harus dibaca dalam konteks global. Negara-negara kaya membuang lebih banyak makanan dibanding negara miskin. Namun, dampak ekologisnya dirasakan bersama.