Realitasnya, petani Indonesia masih hidup dalam kondisi rentan. Banyak di antara mereka yang tidak bisa menikmati hasil panen sendiri karena harga jatuh atau produk ditolak pasar.
Ketika hasil panen mereka dibuang hanya karena tidak memenuhi standar visual, itu bukan sekadar kerugian ekonomi, tetapi juga pelecehan terhadap martabat kerja. Dengan demikian, pemborosan pangan adalah wujud eksploitasi yang dilegalkan oleh sistem pasar.
Lebih parah lagi, sistem pangan global mendorong standar ketat yang merugikan petani kecil. Produk yang "tidak layak pasar" dianggap sampah meski masih bergizi.
Hal ini memperlihatkan bahwa pemborosan makanan bukanlah kecelakaan, melainkan konsekuensi logis dari logika kapitalisme pangan. Mereka yang membuang sebenarnya sedang menunjukkan ketidakpedulian pada pekerja di hulu.
Di tingkat rumah tangga, ada dimensi kelas yang perlu diperhatikan. Keluarga berdaya beli tinggi cenderung lebih sering membuang makanan karena tidak merasakan beban langsung dari pemborosan.Â
Sementara itu, keluarga miskin berjuang untuk sekadar makan. Dengan kata lain, pemborosan pangan adalah cermin kesenjangan sosial: kelompok kaya membuang, kelompok miskin menanggung lapar.
Bagi pekerja di sektor pangan, makanan yang terbuang berarti kerja mereka tidak dihargai. Bayangkan seorang nelayan yang berangkat melaut berhari-hari, hanya untuk melihat sebagian ikannya dibuang di pasar karena dianggap tidak segar.
Situasi ini bukan hanya menyakitkan, tetapi juga merusak motivasi kerja. Pemborosan pangan merusak siklus sosial-ekonomi dari hulu ke hilir.
Selain aspek ekonomi, ada aspek psikologis yang sering terabaikan. Masyarakat yang terbiasa membuang makanan akan cenderung menyepelekan kerja manusia di baliknya.
Mereka lupa bahwa ada penderitaan dan usaha keras yang terhapus bersama sisa nasi di piring. Hilangnya kesadaran ini memperlebar jurang antara konsumen urban dan produsen pangan di pedesaan.
Oleh karena itu, membuang makanan tidak bisa lagi dianggap sepele. Itu adalah tindakan politis yang merendahkan martabat pekerja, memperkuat kesenjangan, dan menormalisasi ketidakadilan.