*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao
Tepatnya di tanggal 29 Agustus 2025, lembaga DPR RI memasuki usia ke-80, sebuah usia yang menandai panjangnya perjalanan lembaga legislatif ini dalam sejarah demokrasi Indonesia.
Selama delapan dekade, DPR RI telah menjadi arena perumusan kebijakan, perdebatan politik, sekaligus sorotan publik yang tak pernah padam. Di atas kertas, lembaga ini mengemban mandat luhur yakni memperjuangkan aspirasi rakyat, menyuarakan kepentingan bersama, dan memastikan arah pembangunan nasional berjalan sesuai cita-cita konstitusi.
Namun, momentum perayaan HUT DPR RI ke-80 ini menjadi ajang refleksi atas berbagai kegaduhan yang kerap mencoreng citra lembaga parlemen terhormat. Di tengah seruan efisiensi anggaran negara, justru tersiar kabar mengenai kenaikan gaji anggota DPR yang memicu gelombang kritik publik. Situasi ini menimbulkan pertanyaan tajam: Sejauh mana DPR benar-benar peka terhadap kondisi ekonomi rakyat yang sedang terhimpit?
Sebuah ironi yang membuat banyak pihak mengernyitkan dahi. Terdengar suara rakyat menggema di jalanan luas dengan hawa panas membakar tubuh serta dengan nada getir bertanya mengapa di saat ekonomi rakyat tersendat, para wakil rakyat justru memperoleh kado istimewa berupa penambahan penghasilan.Â
Kontras inilah yang menghadirkan gugatan moral dan politik berwujud demonstrasi: apakah lembaga yang bersorak merayakan ulang tahun benar-benar mendengar jeritan rakyat yang diwakilinya?
Masyarakat mempertanyakan logika kebijakan ini: mengapa justru di tengah perlambatan ekonomi, pengangguran yang meningkat, dan harga kebutuhan pokok yang melambung, pemerintah dan DPR memilih menaikkan gaji elite politik?Â
Suara kontra pun berdatangan, mulai dari akademisi, aktivis, mahasiswa, hingga masyarakat biasa di media sosial, yang menilai langkah ini tidak memiliki kepekaan sosial. Kekecewaan ini menguatkan kesan bahwa kebijakan anggaran lebih mengutamakan kenyamanan elite dibanding memenuhi kebutuhan mendesak rakyat banyak.