Mohon tunggu...
Christanto Panglaksana
Christanto Panglaksana Mohon Tunggu... Penulis

Warga pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membuang Makanan, Membuang Siapa? Menggugat Tirani Limbah Pangan

23 September 2025   09:26 Diperbarui: 23 September 2025   09:26 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi buang makanan atau limbah makanan. (Kompas.com/Dok. Shutterstock/nito)

Karena itu, IDAFLW harus dihidupkan kembali di ruang keluarga, sekolah, warung makan, hingga ruang rapat pemerintah. Kesadaran harus merembes ke seluruh lapisan sosial.

Di sinilah letak tantangan kritisnya: bagaimana mengubah peringatan menjadi tindakan, dan bagaimana menjadikan simbol internasional sebagai gerakan nasional.

Kita perlu membuktikan bahwa kita tidak hanya ikut-ikutan menggaungkan kampanye global, tetapi juga serius menjawab persoalan yang sudah nyata di depan mata. Setiap peringatan yang berhenti pada simbol adalah pengkhianatan pada mereka yang lapar.

Momen 29 September menunjukkan bahwa membuang makanan tidak pernah netral. Ini adalah tindakan yang sarat konsekuensi sosial, ekologis, dan politik. 

Pertanyaan "membuang makanan, membuang siapa?" menemukan relevansinya di sini: kita membuang lebih dari sekadar sisa makanan; kita membuang begitu banyak insan dan masa depan yang seharusnya bisa kita selamatkan.

Potret Angka: Fakta Sampah Makanan di Indonesia

Data yang dirilis GoodStats berdasarkan laporan KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) menunjukkan bahwa timbunan sampah makanan di Indonesia sangat signifikan dalam lima tahun terakhir.

Tahun 2020, sampah makanan mencapai sekitar 11 juta ton, lalu sedikit naik di 2021. Pada 2022, jumlahnya melonjak drastis hingga lebih dari 15 juta ton, bahkan menembus 17 juta ton pada 2023, sebelum turun menjadi 12,9 juta ton pada 2024. Angka-angka ini bukan sekadar statistik; ini adalah potret kegagalan sistem pangan nasional.

Angka yang tinggi itu menyiratkan bahwa sebagian besar sampah nasional berasal dari makanan. Artinya, makanan yang seharusnya menjadi sumber kehidupan justru menjadi sumber masalah.

Lonjakan besar pada 2022--2023 tidak bisa dipisahkan dari pola konsumsi masyarakat yang meningkat pascapandemi, lemahnya sistem penyimpanan, serta kebiasaan membeli berlebih. Meski turun pada 2024, jumlahnya tetap di kisaran belasan juta ton, menunjukkan masalah struktural belum terselesaikan.

Fenomena ini bukan hanya soal sampah di dapur rumah tangga, melainkan rantai panjang dari hulu ke hilir. Di tingkat produksi, hasil panen sering rusak karena minim infrastruktur penyimpanan dingin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun