Mohon tunggu...
Christanto Panglaksana
Christanto Panglaksana Mohon Tunggu... Penulis

Warga pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Stimulus 8+4, Jalan Terjal Visi Pro-Rakyat Pemerintahan Prabowo

13 September 2025   12:04 Diperbarui: 13 September 2025   23:08 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto saat konferensi pers di Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (12/9/2025).(KOMPAS.com/ISNA RIFKA SRI RAHAYU) 

Pergeseran Paradigma Fiskal

Sejarah kebijakan fiskal Indonesia pasca-reformasi sering kali dipersonifikasikan pada sosok menteri keuangan. Sri Mulyani Indrawati, dengan reputasi globalnya, menjadi wajah yang paling lekat dengan era disiplin fiskal. 

Ia berulang kali disebut sebagai teknokrat yang menjaga stabilitas makroekonomi, memperketat defisit, serta merawat kredibilitas Indonesia di mata pasar global. 

Reputasi Sri Mulyani nyaris tanpa cela di forum internasional, tapi di dalam negeri ia kerap dituding lebih loyal pada rating lembaga keuangan dunia ketimbang realitas rakyat yang kian terjepit.

Pendekatan fiskal ala Sri Mulyani, yang prudent dan akuntabel di atas kertas, sebenarnya menyimpan dilema besar. Di satu sisi, disiplin fiskal mencegah Indonesia terjerembab dalam krisis utang seperti 1998. 

Namun, di sisi lain, itu menciptakan kesan bahwa APBN adalah dokumen yang lebih didedikasikan bagi kreditor global daripada instrumen untuk kesejahteraan rakyat. 

Rasionalitas pasar dan investor sering kali diperlakukan sebagai ukuran tunggal, sehingga aspirasi domestik cenderung terpinggirkan.

Dalam konteks itulah kehadiran Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan membawa nuansa baru. Purbaya dikenal dengan pandangan bahwa kebijakan fiskal seharusnya tidak semata menjadi ajang menjaga kepercayaan eksternal, melainkan alat untuk membangun kemandirian dan kesejahteraan dalam negeri. 

Pandangan ini bukan hal baru, tetapi jarang muncul ke permukaan karena keberanian semacam itu sering dianggap "tidak ramah pasar."

Pergeseran paradigma ini dapat dibaca sebagai upaya memulihkan fungsi asli fiskal: memobilisasi sumber daya bagi kepentingan rakyat. 

Bukan berarti mengabaikan stabilitas makro, melainkan menyeimbangkannya dengan urgensi sosial yang nyata: pengangguran, pekerja informal tanpa perlindungan, dan kelas menengah rapuh yang mudah jatuh miskin. 

Gagasan semacam ini memang terdengar ideal, tetapi praktiknya akan menghadapi jalan terjal penuh resistensi dari kekuatan-kekuatan yang pro status quo.

Stimulus "8+4" menjadi manifestasi konkret dari paradigma baru tersebut. Alih-alih hanya berfokus pada disiplin angka-angka, stimulus ini diarahkan untuk menjawab problem sehari-hari rakyat. 

Ada dimensi politik di baliknya: menandai bahwa APBN bukan sekadar angka, melainkan pernyataan keberpihakan. Namun, politik fiskal semacam ini segera diuji, karena setiap langkah populis akan diukur oleh kapasitas anggaran yang terbatas dan ekspektasi pasar yang keras kepala.

Pergeseran ini juga merefleksikan perubahan gaya kepemimpinan. Jika selama ini narasi ekonomi selalu dibingkai dalam bahasa teknokrat yang sulit dipahami rakyat, maka kini coba dikomunikasikan dengan bahasa yang lebih populis. 

BPJS untuk ojol, magang untuk fresh graduate, bansos pangan, semuanya mudah dipahami, tapi juga mudah menimbulkan harapan besar. Persoalannya, apakah negara mampu menanggung harapan itu?

Maka, stimulus "8+4" tidak bisa dibaca sebagai kebijakan teknis belaka. Itu adalah ekspresi politik-ekonomi yang mencoba menggeser orientasi fiskal dari patuh pada kapitalisme global ke arah keberpihakan domestik. Tetapi, jalan terjal sudah menanti di setiap persimpangan.

Stimulus "8+4" sebagai Wujud Konkret Visi Pro-Rakyat

Isi stimulus "8+4" menyodorkan sebuah pesan: rakyat kecil kini diakui sebagai subjek utama kebijakan fiskal. Program BPJS Ketenagakerjaan dengan 50% iuran ditanggung pemerintah bagi driver ojol adalah bukti paling jelas. Pekerja informal, yang selama ini tidak pernah masuk dalam radar jaminan sosial formal, kini mendapat perhatian negara. 

Kebijakan ini kecil secara nominal, tetapi besar secara simbolik, karena menyatakan bahwa negara tidak lagi menutup mata pada sektor ekonomi digital yang menopang jutaan keluarga.

Program magang berbayar untuk lulusan baru juga memiliki resonansi sosial. Indonesia menghadapi problem struktural berupa tingginya pengangguran terbuka di kalangan sarjana. Dengan memberikan ruang transisi berupa magang berbayar, pemerintah ingin membuka jembatan ke dunia kerja. 

Namun, langkah ini juga menimbulkan dilema: apakah magang akan menjadi pintu masuk karier, atau sekadar kedok baru untuk eksploitasi tenaga kerja murah? Pertanyaan ini menuntut jawaban berupa regulasi ketat.

Insentif pajak, khususnya PPh 21 DTP untuk sektor padat karya, memperlihatkan upaya menjaga daya tahan industri sekaligus melindungi lapangan kerja. Namun, kebijakan ini rawan dipelintir. Apakah insentif benar-benar dinikmati pekerja, atau justru berhenti di kas perusahaan? Tanpa mekanisme evaluasi yang transparan, kebijakan ini bisa menjadi subsidi terselubung bagi pemilik modal, bukan bagi pekerja.

Bantuan pangan, yang dilanjutkan beberapa bulan ke depan, mempertegas peran bansos sebagai instrumen penyangga sosial. Namun, ini juga rawan kritik. Bansos mudah dipolitisasi, rawan salah sasaran, dan menciptakan ketergantungan. 

Meski begitu, dalam kondisi daya beli lemah, bansos tetap menjadi pilihan pragmatis yang sulit ditolak. Inilah wajah ambivalensi kebijakan: antara kebutuhan mendesak dan risiko jangka panjang.

Program perumahan atau renovasi rumah dalam skema BPJS Ketenagakerjaan mencerminkan orientasi jangka panjang. Perlindungan sosial dipadukan dengan akses terhadap kebutuhan dasar. 

Namun, kompleksitas birokrasi dan keterbatasan sumber daya bisa menghambat implementasi. Jika gagal, ia hanya akan menjadi janji manis yang menambah sinisme publik.

Praktis, stimulus "8+4" menampilkan wajah ganda. Di satu sisi, ia adalah terobosan berani yang menjawab problem konkret rakyat. Di sisi lain, ia menyimpan risiko implementasi, birokrasi, dan distorsi. Keduanya berjalan beriringan, sehingga yang menentukan bukan sekadar niat, melainkan tata kelola.

Maka, esensi stimulus "8+4" tidak hanya pada daftar programnya, tetapi pada pernyataan ideologis: bahwa fiskal bukan lagi sekadar angka dan tabel, melainkan alat perjuangan politik untuk membangun keberpihakan. Namun, sebagaimana setiap ideologi, ujian sesungguhnya selalu ada di medan praktik.

Tantangan Struktural: Ruang Fiskal yang Sempit

Pertanyaan paling mendasar setiap kali stimulus diumumkan adalah: dari mana sumber dananya? Ruang fiskal Indonesia sudah lama diketahui sempit. Penerimaan pajak stagnan di bawah 12% dari PDB, jauh tertinggal dari rata-rata negara berkembang yang mencapai 15-20%. 

Sementara itu, belanja rutin menyedot lebih dari separuh APBN, mulai dari gaji ASN, subsidi energi, hingga pembayaran utang. Kondisi ini menjadikan setiap tambahan program baru berisiko memperbesar defisit.

Masalah penerimaan pajak bukan sekadar soal target, melainkan juga soal keadilan. Selama ini, beban perpajakan justru lebih banyak ditanggung kelompok UMKM dan masyarakat kelas menengah bawah. 

Sementara itu, korporasi besar masih leluasa melakukan penghindaran pajak melalui berbagai skema transfer pricing. Ketimpangan ini menjadikan ruang fiskal yang terbatas semakin terasa tidak adil.

Selain itu, beban pembayaran bunga dan cicilan utang makin menekan ruang gerak fiskal. Meskipun rasio utang terhadap PDB dijaga di bawah 40%, nominal pembayaran bunga tetap sangat besar. 

Angka itu bukan sekadar statistik, melainkan beban nyata yang mengurangi kemampuan negara membiayai program sosial. Dengan kondisi demikian, stimulus pro-rakyat berisiko menjadi "janji tanpa isi" bila tidak diikuti reformasi perpajakan.

Persoalan daya serap anggaran juga tidak kalah penting. Banyak program gagal bukan karena kurang dana, melainkan karena birokrasi lamban, koordinasi antar-instansi lemah, dan regulasi terlalu rumit. 

Sering kali, pemerintah terjebak pada dilema: mempercepat belanja dengan risiko korupsi, atau menahan belanja demi akuntabilitas tapi kehilangan momentum. Stimulus "8+4" hanya bisa efektif bila birokrasi menemukan keseimbangan baru antara kecepatan dan integritas.

Ketidakpastian global memperberat situasi. Fluktuasi harga komoditas, gejolak geopolitik, hingga perlambatan ekonomi dunia menekan penerimaan negara dari ekspor dan pajak.

Dengan sumber daya terbatas, kebutuhan belanja meningkat, terutama untuk jaring pengaman sosial. Ini menempatkan kebijakan fiskal dalam posisi rapuh: terhimpit antara kebutuhan domestik dan realitas eksternal.

Keterbatasan ruang fiskal memperlihatkan bahwa keberanian politik harus diikuti kecermatan teknis. Niat baik tanpa perhitungan yang matang bisa berujung pada krisis kredibilitas. 

Oleh karena itu, stimulus "8+4" sekaligus menjadi ujian apakah pemerintah mampu menata ulang sumber penerimaan, memperbaiki kepatuhan pajak, dan mengurangi kebocoran. Tanpa langkah itu, stimulus hanya akan menjadi retorika tanpa daya tahan.

Masalah utama bukan sekadar pada ada atau tidaknya program pro-rakyat, tetapi bagaimana keberlanjutannya dijaga. Ruang fiskal yang sempit mengingatkan bahwa setiap rupiah harus dialokasikan dengan cermat. Dalam situasi demikian, stimulus "8+4" akan lebih menentukan sebagai indikator kemampuan pemerintah menavigasi keterbatasan, bukan sekadar simbol niat baik.

Risiko Kapitalisme Global dan Tekanan Eksternal

Setiap kebijakan fiskal di negara berkembang tidak pernah berdiri di ruang hampa. Ia selalu berada di bawah bayang-bayang kapitalisme global. Lembaga-lembaga internasional seperti IMF, Bank Dunia, atau lembaga pemeringkat kredit menjadi kekuatan tak kasat mata yang mengawasi arah kebijakan fiskal suatu negara. 

Untuk Indonesia, stimulus "8+4" yang pro-rakyat mungkin tampak logis secara domestik, tetapi di mata pasar internasional bisa ditafsirkan sebagai langkah yang berisiko, karena dianggap berpotensi memperlebar defisit atau melemahkan disiplin fiskal.

Tekanan ini hadir dalam berbagai bentuk. Lembaga pemeringkat global bisa menurunkan rating utang Indonesia bila menilai kebijakan fiskal terlalu ekspansif. Dampaknya langsung: biaya pinjaman internasional meningkat, investor asing menahan diri, dan nilai tukar rupiah tertekan. 

Situasi semacam ini memperlihatkan betapa sempit ruang manuver pemerintah. Niat berpihak pada rakyat selalu berisiko dipatahkan oleh mekanisme disiplin kapitalisme global yang tidak pernah mengenal belas kasihan.

Selain tekanan finansial, globalisasi juga menciptakan dilema dalam kebijakan industri. Insentif pajak bagi sektor padat karya, misalnya, dapat dipandang sebagai bentuk proteksi oleh mitra dagang. Namun, tanpa insentif, industri domestik rawan kolaps dalam persaingan bebas yang ditopang modal besar. 

Inilah paradoksnya: untuk menyelamatkan lapangan kerja rakyat, pemerintah harus melawan logika liberalisasi pasar. Tetapi melawan logika ini berarti berisiko menghadapi sanksi atau tekanan diplomatik dari aktor-aktor global.

Ketergantungan pada impor pangan dan energi memperparah kerentanan. Bansos pangan yang tampak sederhana di dalam negeri ternyata sangat bergantung pada harga beras atau gandum internasional. Bila harga melonjak akibat gejolak geopolitik atau perubahan iklim, maka beban fiskal pemerintah ikut meningkat. 

Dengan kata lain, program domestik yang pro-rakyat tetap ditentukan oleh harga yang dikendalikan mekanisme pasar global. Ini memperlihatkan betapa rapuhnya kedaulatan fiskal dalam dunia yang terhubung.

Lebih jauh, kapitalisme global juga bekerja melalui mekanisme persepsi. Investor internasional sering kali lebih menilai "komitmen" suatu negara terhadap disiplin fiskal ketimbang substansi kebijakan sosialnya. 

Akibatnya, langkah-langkah progresif yang berpihak pada rakyat justru bisa dipersepsikan sebagai "signal negatif." Pemerintah bisa terjebak dalam posisi serba salah: bila tunduk pada logika pasar, ia mengorbankan rakyat; bila berpihak pada rakyat, ia menghadapi risiko turbulensi pasar.

Dalam konteks ini, stimulus "8+4" adalah ujian berlapis. Ini bukan hanya ujian teknis untuk melihat seberapa efektif birokrasi bekerja, tetapi juga ujian geopolitik: apakah Indonesia bisa menjaga kedaulatan fiskal di bawah tekanan global? Pertanyaan ini lebih dalam daripada sekadar perhitungan defisit, karena menyangkut relasi antara negara, pasar, dan rakyat.

Dengan demikian, risiko kapitalisme global harus dipahami sebagai konteks struktural yang membatasi ruang gerak pemerintah. Prabowo dan Purbaya tidak hanya berhadapan dengan angka-angka APBN, tetapi juga dengan rezim global yang cenderung mengutamakan stabilitas kapital daripada keadilan sosial. Karena itu, stimulus "8+4" menjadi semacam deklarasi perlawanan kecil terhadap hegemoni global, meski dengan konsekuensi yang tidak ringan.

Implementasi dan Risiko Moral Hazard

Salah satu persoalan klasik dalam setiap kebijakan publik di Indonesia adalah implementasi. Stimulus yang tampak mulia di atas kertas sering kali gagal di lapangan. 

Program BPJS dengan subsidi 50% untuk ojol, misalnya, bisa menjadi bumerang bila data penerima tidak akurat. Apakah semua driver ojol terdaftar resmi dan hanya terafiliasi pada satu platform? Bagaimana dengan mereka yang bekerja paruh waktu? Tanpa sistem pendataan yang valid dan terintegrasi, niat baik ini rawan bocor ke tangan yang tidak berhak.

Risiko moral hazard muncul di hampir semua program. Dalam program magang berbayar, perusahaan bisa tergoda untuk memanfaatkan skema ini sebagai sumber tenaga kerja murah. Alih-alih menjadi jembatan karier, magang bisa berubah menjadi perangkap eksploitasi. 

Fresh graduate hanya akan berpindah dari satu program magang ke program magang lain tanpa kepastian pekerjaan tetap yang bisa menjadi biang frustrasi sosial baru. Karena itu, pemerintah harus memiliki instrumen pengawasan ketat agar perusahaan tidak menjadikan program ini sebagai pintu masuk legalisasi upah rendah.

Bantuan pangan pun tidak luput dari masalah implementasi. Selama ini, penyaluran bansos sering kali bermasalah karena data penerima tidak mutakhir. Banyak rumah tangga miskin yang terlewat, sementara mereka yang mampu justru masuk daftar. 

Birokrasi distribusi juga rawan dimanipulasi oleh elite lokal untuk kepentingan politik praktis. Tanpa reformasi data sosial yang berkelanjutan, bansos pangan hanya akan menjadi simbol kegagalan negara dalam menyentuh yang paling rentan.

Insentif pajak juga sarat potensi penyalahgunaan. Banyak perusahaan besar yang pandai memanfaatkan celah kebijakan untuk memperoleh keringanan tanpa benar-benar menyalurkan manfaat ke pekerja. 

Risiko ini menimbulkan pertanyaan fundamental: apakah stimulus fiskal yang pro-rakyat benar-benar sampai ke rakyat, atau justru berhenti di level elite ekonomi? Tanpa mekanisme evaluasi yang transparan, kebijakan insentif hanya memperdalam ketimpangan.

Persoalan implementasi juga terkait erat dengan kapasitas birokrasi. Aparat pelaksana di daerah sering kali tidak siap dengan kompleksitas program baru. Koordinasi antar-instansi berjalan lambat, regulasi tumpang tindih, dan sistem pengawasan minim. 

Akibatnya, banyak program berhenti pada tahap administrasi tanpa pernah menyentuh kebutuhan nyata rakyat. Implementasi, dengan demikian, adalah medan perang utama yang menentukan apakah stimulus "8+4" sukses atau gagal.

Selain itu, faktor budaya birokrasi juga memainkan peran besar. Budaya kerja yang masih sarat dengan korupsi dan patronase menjadikan setiap program berisiko diselewengkan. 

Program yang niatnya mulia bisa dipelintir menjadi ajang rente baru bagi birokrat. Dalam konteks inilah, integritas birokrasi menjadi sama pentingnya dengan kecerdasan teknokratis dalam merancang kebijakan.

Maka, tantangan utama stimulus "8+4" bukan pada visi atau niat politik, melainkan pada eksekusi di lapangan. Tanpa tata kelola yang baik, kebijakan pro-rakyat akan gagal memberi dampak. Jalan menuju fiskal yang berpihak pada rakyat harus melewati rintangan birokrasi yang berliku, penuh jebakan moral hazard, dan rawan manipulasi kepentingan.

Antara Popularitas Politik dan Ketahanan Fiskal

Tidak bisa dipungkiri, stimulus "8+4" juga sarat dimensi politik. Program-program seperti bansos pangan, subsidi BPJS, dan magang berbayar memiliki daya tarik populis yang besar. Ia menciptakan kesan bahwa pemerintah hadir di tengah rakyat, memahami penderitaan, dan memberikan solusi konkret. Popularitas politik bisa meningkat tajam melalui kebijakan semacam ini.

Namun, populisme fiskal memiliki sisi gelap. Ia sering bertentangan dengan prinsip ketahanan fiskal jangka panjang. Bila APBN tidak mampu menopangnya secara berkelanjutan, kebijakan ini bisa menjadi bumerang. Rakyat akan merasakan kekecewaan mendalam ketika janji-janji populis tidak lagi bisa ditunaikan karena keterbatasan anggaran.

Dilema ini bukan hal baru dalam politik Indonesia. Banyak kebijakan populer di masa lalu akhirnya berujung pada beban fiskal yang berat. Subsidi energi adalah contoh klasik. Ia memberi popularitas instan, tetapi menciptakan ketergantungan yang sulit dihentikan. 

Pertanyaan besarnya kemudian adalah: apakah stimulus "8+4" akan menjadi instrumen reformasi struktural, atau sekadar alat populis yang memperbesar defisit tanpa solusi jangka panjang?

Ketahanan fiskal menuntut reformasi pajak progresif, pemberantasan korupsi, dan efisiensi birokrasi. Tanpa itu, stimulus hanya akan mengandalkan utang baru untuk membiayai program lama. 

Dalam jangka panjang, utang yang menumpuk akan mengekang fleksibilitas fiskal, membuat pemerintah kehilangan ruang manuver, dan memaksa rakyat menanggung beban.

Memang tidak ada kebijakan pro-rakyat yang sepenuhnya steril dari kepentingan politik. Tapi, politik justru sering menjadi dan diperlukan sebagai pintu masuk untuk memperjuangkan agenda rakyat. 

Maka, pertanyaannya bukan lagi apakah stimulus pro-rakyat memiliki muatan politik, tetapi apakah politik itu diarahkan untuk reformasi berkelanjutan atau sekadar kepentingan sesaat.

Itu menunjukkan bahwa stimulus "8+4" adalah ujian ganda. Bukan hanya soal apakah rakyat terbantu, tetapi juga apakah APBN tetap tangguh. Popularitas bisa diraih dengan cepat, tetapi legitimasi jangka panjang hanya bisa dibangun dengan ketahanan fiskal yang kokoh.

Jalan Terjal Menuju Fiskal Berdaulat

Pada akhirnya, stimulus "8+4" bukan sekadar kebijakan ekonomi, melainkan simbol pertarungan ide. Pertarungan antara paradigma fiskal pro-rakyat dengan framing disiplin kapitalisme global; antara keberanian politik dengan keterbatasan ruang fiskal; antara visi mulia dengan birokrasi rapuh; antara populisme sesaat dengan reformasi struktural.

Jalan menuju fiskal berdaulat sungguh terjal dan licin. Dari dalam negeri, pemerintah harus menghadapi birokrasi lamban, korupsi merajalela, dan penerimaan pajak yang timpang. Dari luar negeri, tekanan lembaga keuangan internasional dan mekanisme pasar global terus mengekang ruang kebijakan. Kedua sisi ini menciptakan himpitan yang sulit ditembus tanpa keberanian politik yang konsisten.

Namun, jalan terjal bukan alasan untuk mundur. Justru di situlah keberanian pemerintah diuji. Apakah stimulus "8+4" hanya akan menjadi episode populis yang cepat dilupakan, ataukah menjadi batu loncatan menuju reformasi fiskal yang lebih adil dan berdaulat? Jawaban ini bergantung pada konsistensi politik dan kemampuan teknokrasi.

Fiskal berdaulat berarti berani merumuskan kebijakan yang berpihak pada rakyat meski tidak selalu sesuai dengan selera pasar global. Ia menuntut keberanian untuk menolak dikte dari lembaga internasional, sembari membangun sistem perpajakan yang progresif, transparan, dan adil. Selain itu, juga menuntut keberanian melawan praktik rente yang menggerogoti birokrasi.

Perjuangan menuju fiskal berdaulat tidak akan selesai dalam satu periode pemerintahan. Namun, setiap langkah yang diambil, termasuk stimulus "8+4", adalah bagian dari perjalanan panjang itu. Ini bisa menjadi momentum kecil yang membuka jalan, atau sekadar catatan kaki yang tak berarti. Semuanya bergantung pada keseriusan untuk mengawal niat baik hingga ke ranah implementasi.

Di tengah tekanan kapitalisme global, fiskal berdaulat bukan sekadar soal angka. Itu adalah soal keberanian sebuah negara untuk menentukan nasibnya sendiri, memilih berpihak pada rakyatnya, dan menolak tunduk pada logika pasar yang buta sosial. Jalan ini memang terjal, tetapi justru di sanalah nilai perjuangan diuji.

Dengan demikian, stimulus "8+4" menjadi lebih dari sekadar kebijakan. Ini adalah cermin dari pilihan politik-ekonomi yang diambil pemerintahan Prabowo: apakah sekadar menjadi pengikut disiplin global, atau berusaha membuka jalan baru menuju kedaulatan fiskal yang sejati.***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun