Risiko Kapitalisme Global dan Tekanan Eksternal
Setiap kebijakan fiskal di negara berkembang tidak pernah berdiri di ruang hampa. Ia selalu berada di bawah bayang-bayang kapitalisme global. Lembaga-lembaga internasional seperti IMF, Bank Dunia, atau lembaga pemeringkat kredit menjadi kekuatan tak kasat mata yang mengawasi arah kebijakan fiskal suatu negara.Â
Untuk Indonesia, stimulus "8+4" yang pro-rakyat mungkin tampak logis secara domestik, tetapi di mata pasar internasional bisa ditafsirkan sebagai langkah yang berisiko, karena dianggap berpotensi memperlebar defisit atau melemahkan disiplin fiskal.
Tekanan ini hadir dalam berbagai bentuk. Lembaga pemeringkat global bisa menurunkan rating utang Indonesia bila menilai kebijakan fiskal terlalu ekspansif. Dampaknya langsung: biaya pinjaman internasional meningkat, investor asing menahan diri, dan nilai tukar rupiah tertekan.Â
Situasi semacam ini memperlihatkan betapa sempit ruang manuver pemerintah. Niat berpihak pada rakyat selalu berisiko dipatahkan oleh mekanisme disiplin kapitalisme global yang tidak pernah mengenal belas kasihan.
Selain tekanan finansial, globalisasi juga menciptakan dilema dalam kebijakan industri. Insentif pajak bagi sektor padat karya, misalnya, dapat dipandang sebagai bentuk proteksi oleh mitra dagang. Namun, tanpa insentif, industri domestik rawan kolaps dalam persaingan bebas yang ditopang modal besar.Â
Inilah paradoksnya: untuk menyelamatkan lapangan kerja rakyat, pemerintah harus melawan logika liberalisasi pasar. Tetapi melawan logika ini berarti berisiko menghadapi sanksi atau tekanan diplomatik dari aktor-aktor global.
Ketergantungan pada impor pangan dan energi memperparah kerentanan. Bansos pangan yang tampak sederhana di dalam negeri ternyata sangat bergantung pada harga beras atau gandum internasional. Bila harga melonjak akibat gejolak geopolitik atau perubahan iklim, maka beban fiskal pemerintah ikut meningkat.Â
Dengan kata lain, program domestik yang pro-rakyat tetap ditentukan oleh harga yang dikendalikan mekanisme pasar global. Ini memperlihatkan betapa rapuhnya kedaulatan fiskal dalam dunia yang terhubung.
Lebih jauh, kapitalisme global juga bekerja melalui mekanisme persepsi. Investor internasional sering kali lebih menilai "komitmen" suatu negara terhadap disiplin fiskal ketimbang substansi kebijakan sosialnya.Â
Akibatnya, langkah-langkah progresif yang berpihak pada rakyat justru bisa dipersepsikan sebagai "signal negatif." Pemerintah bisa terjebak dalam posisi serba salah: bila tunduk pada logika pasar, ia mengorbankan rakyat; bila berpihak pada rakyat, ia menghadapi risiko turbulensi pasar.